Pendidikan dasar tidak hanya bertujuan membekali siswa dengan keterampilan akademik, tetapi juga membentuk karakter dan identitas budaya. Pembentukan karakter menjadi aspek penting karena melalui nilai-nilai seperti tanggung jawab, disiplin, gotong royong, dan empati, siswa dapat tumbuh menjadi individu yang berintegritas dan berkepribadian kuat. Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, guru berperan sebagai fasilitator yang mendorong pembelajaran kontekstual, berpusat pada peserta didik, serta menyesuaikan proses belajar dengan potensi dan kebutuhan siswa (Kemendikbudristek, 2022). Kurikulum ini menekankan pengembangan Profil Pelajar Pancasila yang beriman, mandiri, gotong royong, bernalar kritis, kreatif, dan berkebinekaan global. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter, nilai kemanusiaan, dan kemampuan berpikir reflektif. Salah satu pendekatan yang sejalan dengan prinsip tersebut adalah etnopedagogi, yakni pemanfaatan kearifan lokal sebagai sumber belajar yang mengaitkan nilai budaya dengan ilmu pengetahuan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berkarakter (Anggraisa et al., 2020)

Matematika sering kali dianggap sebagai pelajaran yang abstrak dan terpisah dari kehidupan sehari-hari. Padahal, matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam melatih cara berpikir logis, sistematis, kritis, dan kreatif. Melalui pembelajaran matematika, siswa belajar mengenali pola, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan berdasarkan penalaran yang rasional (Bishop, 2013). Dalam konteks pendidikan dasar, matematika tidak hanya berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berhitung, tetapi juga untuk menumbuhkan kecakapan berpikir yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak aktivitas budaya dan sosial yang sebenarnya mengandung unsur matematika, seperti pengukuran, perhitungan, pola, dan perbandingan, yang dapat dijadikan konteks pembelajaran (Rosa & Orey, 2016). Oleh karena itu, tradisi Semana Santa dapat dimanfaatkan untuk menjembatani pembelajaran matematika dengan nilai budaya, sehingga siswa mampu melihat relevansi antara ilmu pengetahuan dengan kehidupan nyata.

Di Larantuka, Flores Timur, tradisi Semana Santa telah menjadi warisan budaya religius yang hidup selama berabad-abad. Prosesi ini tidak hanya sarat nilai spiritual, tetapi juga merefleksikan solidaritas sosial, disiplin, dan kebersamaan. Dalam konteks pendidikan, Semana Santa dapat dijadikan media pembelajaran yang bermakna, khususnya pada mata pelajaran matematika. Dengan menginternalisasikan nilai-nilai Semana Santa, guru dapat membantu siswa memahami konsep matematika melalui pengalaman nyata, sekaligus menanamkan karakter positif. Semana Santa di Larantuka bermula pada abad ke-16 dengan kedatangan misionaris Portugis yang memperkenalkan devosi kepada Bunda Maria dan Yesus Kristus. Patung Tuan Ma dan Tuan Ana menjadi simbol utama dalam perayaan ini, yang hingga kini tetap dijaga dengan penuh hormat (Larantuka Diocese, 2020). Prosesi berlangsung selama Pekan Suci menjelang Paskah, melibatkan doa, nyanyian, dan perarakan patung suci di sepanjang jalan kota.

Gambar 1. Prosesi Semana Santa
(Sumber: https://kemenag.go.id/feature/tradisi-semana-santa-dan-kerajaan-katolik-di-larantuka-tulisan-1-OQlWH)

Tradisi ini tidak hanya meneguhkan identitas religius masyarakat Larantuka, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain, Religiusitas, melalui doa dan refleksi spiritual, Disiplin, karena prosesi diatur secara ketat dengan aturan yang diwariskan turun-temurun, Gotong royong, tercermin dari partisipasi masyarakat dalam menyiapkan altar, menjaga patung, hingga mengiringi doa, Identitas budaya, yang menjadi warisan leluhur dan membangun kebanggaan lokal (Geertz, 2018). Nilai-nilai ini dapat diinternalisasikan dalam pembelajaran matematika sehingga siswa tidak hanya menguasai keterampilan numerasi, tetapi juga meneladani makna dari tradisi Semana Santa.

Menurut teori Piaget, pada tahap kelas rendah, siswa berada dalam fase operasional konkret. Guru perlu menggunakan simbol, benda nyata, dan aktivitas langsung dalam menjelaskan konsep matematika (Bishop, 2013). Integrasi Semana Santa dalam matematika dapat diarahkan pada analisis data, pecahan, dan perbandingan. Pada tahap ini, siswa berada pada fase operasional konkret. Artinya, mereka lebih mudah belajar melalui benda nyata, simbol sederhana, dan aktivitas langsung. Integrasi Semana Santa bisa diwujudkan dalam materi, Bilangan dan operasi hitung sederhana, misalnya menghitung jumlah lilin yang digunakan dalam prosesi atau menghitung langkah dalam perarakan. Geometri dasar, seperti mengenali bentuk altar, pola hiasan, atau simbol salib. Pengukuran waktu, dengan menghubungkan lamanya doa atau prosesi dengan jam dan menit. Melalui aktivitas tersebut, siswa tidak hanya belajar numerasi, tetapi juga menumbuhkan rasa religius, disiplin, dan kebersamaan. Sedangkan pada siswa kelas tinggi siswa mulai mampu berpikir lebih abstrak dan analitis, sehingga integrasi Semana Santa dapat diarahkan pada materi yang lebih kompleks, Pecahan dan perbandingan, misalnya membandingkan jumlah peserta laki-laki dan perempuan dalam prosesi atau membagi kelompok doa. Pengolahan data, seperti membuat tabel dan diagram dari jumlah peserta, lilin, atau altar. Skala dan peta, dengan mempelajari skala rute prosesi Semana Santa pada peta kota Larantuka. Kecepatan dan jarak, menghitung rata-rata waktu tempuh perarakan dari satu titik ke titik lain. Melalui pendekatan ini, siswa tidak hanya menguasai konsep matematika, tetapi juga menginternalisasi nilai religius, gotong royong, disiplin, serta kebanggaan terhadap budaya lokal.

Integrasi budaya lokal dalam pembelajaran, khususnya melalui tradisi Semana Santa, mampu menghadirkan pengalaman belajar yang lebih bermakna bagi siswa sekolah dasar. Dari sisi kognitif, siswa lebih mudah memahami konsep matematika karena dikaitkan dengan konteks nyata, misalnya menghitung lilin, mengolah data peserta prosesi, atau memahami skala peta prosesi. Pada ranah afektif, nilai religiusitas, disiplin, solidaritas, dan kepedulian sosial ditanamkan melalui pengalaman budaya yang sarat makna kebersamaan. Selain itu, aspek psikomotorik juga terlatih melalui aktivitas konkret seperti menggambar pola altar, membuat diagram, atau menyusun data prosesi, yang sekaligus menumbuhkan kreativitas dan kerja sama. Dari sisi kultural, pembelajaran ini menjaga serta memperkuat identitas budaya lokal, sehingga siswa merasa dekat dengan tradisi leluhur.Pendekatan ini bersifat holistik karena mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang. Melalui strategi ini, siswa tidak hanya berkembang dalam numerasi, tetapi juga tumbuh sebagai pribadi yang cerdas, berkarakter, religius, dan berbudaya. Sekolah pun berperan bukan hanya sebagai lembaga akademik, melainkan juga pusat pewarisan nilai budaya serta pembentuk profil pelajar Pancasila yang beriman, kritis, kreatif, dan beridentitas kuat.

Internalisasi nilai-nilai Semana Santa dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar merupakan strategi efektif untuk menghadirkan pembelajaran yang kontekstual, bermakna, dan berkarakter. Pada kelas rendah, guru dapat memanfaatkan simbol, pola, dan aktivitas sederhana yang berkaitan dengan prosesi, seperti menghitung lilin, mengenali bentuk altar, atau mengukur waktu doa. Pada kelas tinggi, siswa dapat diajak menganalisis data, mempelajari pecahan, memahami skala peta, hingga menghitung kecepatan prosesi. Selain meningkatkan keterampilan numerasi, integrasi ini menanamkan nilai religiusitas, disiplin, gotong royong, serta kebanggaan terhadap budaya lokal. Dengan demikian, sekolah dasar tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga pusat internalisasi nilai budaya yang memperkuat identitas bangsa. Implementasi etnopedagogi berbasis Semana Santa sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk generasi yang cerdas, berkarakter, dan berakar pada budaya bangsa. Oleh karena itu, pendekatan ini patut dikembangkan lebih luas dalam kurikulum, agar pembelajaran matematika benar-benar mampu mempersiapkan siswa menghadapi tantangan global tanpa kehilangan akar budaya lokalnya.

Referensi

Bishop, A. J. (2013). Mathematical enculturation: A cultural perspective on mathematics education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Larantuka Diocese. (2020). Tradisi Semana Santa di Larantuka. Flores Timur: Keuskupan Larantuka Press.

Anggraisa, A., Nurlidiya, E., Sativa, O., Kholiza, T., & Putri, N. (2020). Mengintegrasikan Kearifan Lokal Dalam Kurikulum Pendidikan. Mengintegrasikan Kearifan Lokal Dalam Kurikulum Pendidikan.

Geertz, C. (2018). INTERPRETATION OF Clifford Geertz.

Rosa, M., & Orey, C. (2016). Innovative Approaches in Ethnomathematics. In Current and Future Perspectives of Ethnomathematics as a Program. http://www.springer.com/series/14352