Pembelajaran matematika merupakan momen yang sangat ditakutkan bagi kebanyakan siswa SD.  Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Reza Lestari dalam jurnalnya “Student Perceptions of Mathematics Subjects (Case Study of Grade VI Students of SD Negeri 03 Gumay Ulu), menyebutkan bahwa guru matematika yang cenderung menggunakan pendekatan teacher centered dan tidak menyenangkan akan membuat siswa ketakutan, stress, bahkan enggan masuk sekolah (Reza Lestari et al., 2024) . Hal ini karena matematika dipandang sebagai pembelajaran yang rumit akan setiap penyelesaiannya juga pada setiap rumus yang diajarkan selalu berupa tulisan di papan tulis tanpa pengenalan konsep yang abstrak dan mudah dipahami siswa.

Matematika pada jenjang sekolah dasar menuntut 2 hal yakni pemahaman konsep dan pengalaman konkret. Menurut pakar kognitif anak, Jean Piaget. Siswa SD berada dalam tahap operasional konkret (Marinda Program Pascasarjana IAIN Jember Prodi PGMI, n.d.) . Dimana dalam membangun pengetahuan yang mudah dipahami dan bermakna harus berupa konsep yang konkret. Sebaliknya pada matematika, konsep seperti pola, bangun datar, dan luas sering berhenti pada angka di papan tulis dan tidak ditautkan pada objek yang dapat dilihat dan disentuh untuk menumbuhkan pengalaman siswa. Namun, berbeda dengan kain tapis, ketika anak melihat motif yang berulang ulang pada sehelai kain atau berusaha mencari garis simetris pada bentuk yang mereka kenal, secara tidak sadar mereka sedang membangun pengetahuannya sendiri untuk “memecahkan masalah” (Yudhi & Septiani, n.d.).

Pentingnya pembelajaran yang mendalam dan kontekstual akan membuat siswa terlibat secara penuh dalam materi dan membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini kontras dengan teori belajar constructivism (Andi Asrafiani Arafah et al., 2023). Salah satu cara yang tepat adalah dengan memasukkan budaya ke dalam materi pembelajaran, bukan karena keindahan. Tetapi, budaya pada kain tapis memberikan gaya visual yang dipahami oleh siswa sebelum simbol atau rumus diperkenalkan. Selain karena visualnya yang membantu, juga penting bagi guru untuk memanfaatkan budaya Indonesia ini untuk menumbuhkan rasa empati, nasionalisme, dan rasa ingin tahu anak (Sugara & Sugito, 2022). Dengan menekankan bahwa bentuk geometris matematika dapat hadir dalam benda-benda yang mereka temui. Sehingga dengan cara ini diharapkan siswa dapat menumbuhkan sikap menghargai keberagaman, keterampilan berpikir kritis dan keterampilan sosial budayanya sedari dini  (Loviana et al., 2020).

Kerangka dari teknik belajar ini disebut sebagai etnomatematika. Dimana guru akan mengkaji dan menggunakan praktik berhitung, mengukur, dan memodelkan matematika melalui berbagai budaya agar siswa dapat belajar dengan konkret dalam mengidentifikasi dan menganalisis dalam kehidupan sehari-hari (Bimantara, 2024). Melalui pendekatan ini, siswa bukan hanya belajar matematika dengan lebih menyenangkan tetapi juga berkesan dalam mengenal tradisi, nilai-nilai dan budaya masyarakat. Kesadaran akan budaya dari jenjang SD mampu membantu siswa mengenali identitasnya ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Dan pada akhirnya, integrasi budaya melalui aktivitas matematika ini akan menguatkan siswa dari sisi kognitif dan sisi karakter (Niken Sulfayanti, 2022). Yang terpenting adalah topik pembelajaran matematika tidak lagi menjadi pelajaran yang dianggap “rumit” dan “abstrak” (Yudhi & Septiani, n.d.).

Indonesia memiliki beragam kain tradisional yang menjadi warisan budaya tak ternilai, mulai dari batik, songket, hingga tenun ikat. Di antara kekayaan tekstil Nusantara tersebut. Lampung memiliki kebanggaan tersendiri melalui kain tapis. Kain Tapis merupakan kain tradisional yang sudah berumur puluhan tahun, tepatnya berasal dari Lampung, Sumatra. Dibuat melalui tenunan yang rumit dan teknik bordir dari benang kapas. Biasa dihias dengan sulaman benang perak atau emas. Kain ini terkenal karena motifnya yang beragam dan indah yang terinspirasi dari alam terutama flora & fauna, kehidupan sehari-hari serta warisan turun temurun dari adat suku Lampung. Kain tapis ini biasanya digunakan oleh kaum perempuan sebagai rok terutama dalam adat-adat Lampung seperti pernikahan, upacara resmi formal lainnya yang dipercaya sebagai simbol kesucian, penghargaan dan kewibawaan  (Agustiawan et al., 2022).

Gambar 1. Jenis Motif Kain Tapis
(Sumber: https://wanasiji.wordpress.com/2016/08/07/kain-tapis-lampung/)

Gambar 2. Jenis Motif Kain Tapis
(Sumber: https://azzuralhi.wordpress.com/2011/01/08/kain-tapis-lampung-1/)

Kain tapis memiliki jejak sejarah yang kaya dan mendalam. Berdasarkan penelitian Van der Hoop, seorang penulis dan sejarawan pada zaman kerajaan belanda (Azani, 2021). Masyarakat Lampung telah mahir menenun kain brokat istimewa yang dikenal sebagai nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad ke-2 Masehi. Kedua karya tenun tradisional ini menampilkan beragam motif yang sarat makna, mulai dari pola kait dan konci, pohon kehidupan, hingga representasi arwah leluhur, berbagai satwa, matahari, bulan, serta bunga melati. Seiring berjalannya waktu, warisan kerajinan ini berevolusi menjadi kain tradisional lampung yang kita kenal saat ini sebagai kain tapis (Prasatyo Nugroho et al., n.d.).

Kemudian agama islam mulai masuk ke Lampung, yang semakin memperkaya khazanah kerajinan tapis secara signifikan. Meskipun elemen-elemen baru dari tradisi Islam memberikan pengaruhnya, nilai-nilai tradisional lama tetap dilestarikan. Proses akulturasi harmonis ini menciptakan perpaduan indah antara budaya lokal dengan unsur-unsur artistik dari luar, melahirkan karakteristik estetika yang unik. Beberapa kebudayaan yang memberikan kontribusi signifikan meliputi warisan Dongson dari daratan Asia, tradisi Hindu-Buddha, nilai-nilai Islam, serta sentuhan Eropa (Azani, 2021).

Bentuk Integrasi dalam Pembelajaran

Gambar 3. Penerapan Etnomatematika pada Siswa Kelas Rendah

Gambar 4. Representasi Bangun Datar pada Motif Tapis
(Sumber: https://www.shutterstock.com/id/search/lampung-motif)

Gambar 5. Penerapan Etnomatematika pada Siswa Kelas Tinggi

Dalam pembelajaran di kelas, siswa seringkali menghadapi tantangan ketika harus menghubungkan konsep-konsep matematika dengan pengalaman nyata mereka. Konsep-konsep abstrak ini umumnya menuntut siswa untuk berpikir kritis secara konseptual dan melakukan hal yang kompleks (Yudhi & Septiani, n.d.). Melalui aktivitas pembelajaran yang dirancang khusus, seperti permainan bingo bangun datar untuk kelas rendah dan analisis keliling & luas menggunakan motif tangram untuk kelas tinggi, siswa tidak hanya memperoleh pemahaman matematika yang lebih mendalam. Tetapi, mengembangkan apresiasi terhadap kekayaan budaya Indonesia. Pendekatan ini berhasil mengubah paradigma pembelajaran dari yang berpusat pada rumus dan angka menjadi eksplorasi visual yang menyenangkan dan bermakna (Bimantara, 2024).

Keberhasilan etnomatematika dengan kain tapis mendemonstrasikan bahwa pembelajaran matematika dapat sekaligus menjadi sarana pembentukan karakter, penanaman nilai budaya, dan pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan menghadirkan konteks budaya yang familiar, siswa membangun fondasi pemahaman matematika yang kuat sambil menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan nenek moyang mereka, menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga berkarakter dan berakar pada budaya.

Referensi

Agustiawan, S., Setiawan Kusmulyono, M., Budhi Setiawati, I., Putra, A., & Sulistya, D. (2022). ANALISIS PENINGKATAN KAPASITAS USAHA IKM KAIN TAPIS LAMPUNG STUDI KASUS LAGAWIFEST 2022 Oleh. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 10(2).

Andi Asrafiani Arafah, Sukriadi, S., & Auliaul Fitrah Samsuddin. (2023). Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme pada Pembelajaran Matematika. JURNAL PENDIDIKAN MIPA, 13(2), 358–366. https://doi.org/10.37630/jpm.v13i2.946

Bimantara, A. R. (2024). Peran Etnomatematika Dalam Pembelajaran Matematika. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, 4, 1252–1258.

Loviana, S., Merliza, P., Damayanti, A., Mahfud, M. K., & Islamuddin, A. M. (2020). Etnomatematika pada Kain Tapis dan Rumah Adat Lampung. Tapis : Jurnal Penelitian Ilmiah, 4(1), 94. https://doi.org/10.32332/tapis.v4i1.1956

Marinda Progam Pascasarjana IAIN Jember Prodi PGMI, L. (n.d.). TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET DAN PROBLEMATIKANYA PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR.

Niken Sulfayanti. (2022). Peran Etnomatematika dalam Pembelajaran terhadap Karakter Siswa. JURNAL PENDIDIKAN MIPA, 12(4), 1167–1174. https://doi.org/10.37630/jpm.v12i4.773

Prasatyo Nugroho, M., Cahyana dan Asep Miftahul Falah, A., Cahyana, A., Asep Miftahul Falah, dan, Seni Murni, J., & Seni Rupa dan Desain, F. (n.d.). Penelitian Antropologi Kajian Etnografi Visual Pada Kain Tapis Lampung.

Reza Lestari, Habibi, & Syaiful Bastari. (2024). Persepsi Siswa Terhadap Mata Pelajaran Matematika (Studi Kasus Siswa Kelas VI SD Negeri 03 Gumay Ulu). JURNAL ILMU PENDIDIKAN, 3(1), 21–28. https://doi.org/10.58222/jurip.v3i1.777

Sugara, U., & Sugito. (2022). Etnopedagogi: Gagasan dan Peluang Penerapannya di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 7(2), 93–104. https://doi.org/10.24832/jpnk.v7i2.2888

Yudhi, P., & Septiani, F. (n.d.). PEMBELAJARAN DENGAN ETNOMATEMATIKA DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA ABSTRAK.

Azani, M. A. (2021, December). Sejarah dan Keistimewaan Tapis Lampung Kain Tradisional Khas Masyarakat Lampung. From mijil.id: https://mijil.id/t/sejarah-dan-keistimewaan-tapis-lampung-kain-tradisional-khas-masyarakat-lampung/3569