Menanam Nilai, Menuai Karakter: Integrasi Nyi Pohaci dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Budaya Sunda menyimpan banyak kisah mitologis, dan salah satu yang paling berpengaruh adalah kisah Nyi Pohaci Sang Hyang Asri, Dewi Padi yang menjadi lambang kesuburan. Bagi sebagian orang, ia mungkin terdengar sekadar mitos kuno. Namun penelitian terbaru menunjukkan hal sebaliknya. Masih banyak masyarakat adat di berbagai wilayah Jawa Barat memandang Nyi Pohaci sebagai bagian dari kepercayaan hidup mereka. Padi tidak hanya dianggap sebagai sumber pangan, melainkan sebagai warisan sakral yang merekatkan manusia dengan alam. Kerusakan lingkungan bahkan dipahami sebagai bentuk keretakan “hubungan” dengan sang Dewi Padi, (Bahagia dkk., 2021). Menurut (Holil, 2020), cerita Nyi Pohaci tidak hanya hadir dalam bentuk folklor, tetapi juga terdokumentasi dalam manuskrip Sunda kuno. Dari penelitian ini terlihat bagaimana mitos Dewi Padi dipersepsikan sebagai kekuatan pelindung lingkungan dan sumber inspirasi masyarakat pedesaan di Jawa Barat. Bagi masyarakat adat, padi kini bukan hanya soal kebutuhan pangan, melainkan juga bagian dari keyakinan spiritual dan komitmen ekologis. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas di Kasepuhan Ciptagelar, dengan tradisi memperlakukan beras penuh hormat dan memiliki arti mengikis nilai keadilan dan kehormatan bersama, (Widianingsih dkk., 2023).
Gambar 1. Perayaan Seren Taun di Kasepuhan Sinar Resmi, Cisolok
(Sumber: Foto Dokumentasi KKN-PPM UGM Gunayuhi Sukabumi 2025)
Nilai yang dilekatkan pada sosok Nyi Pohaci Sang Hyang Asri tidak hanya hadir dalam keyakinan masyarakat, tetapi juga terwujud nyata melalui berbagai ritual adat yang masih dijalankan hingga kini. Salah satu yang paling menonjol adalah upacara Seren Taun, sebuah tradisi syukur panen yang sekaligus menjadi sarana pelestarian budaya Sunda. Salah satu contoh pelaksanaan Seren Taun dapat dilihat di Cigugur, Kuningan, penelitian(Apriyana dkk., 2025) menunjukkan bahwa Seren Taun melibatkan proses manajemen pengetahuan yang cukup kompleks. Pelestarian tradisi ini dilakukan melalui pemeliharaan keahlian para tetua adat, partisipasi generasi muda, pembentukan kepanitiaan khusus, serta pemanfaatan teknologi modern seperti media sosial dan dokumentasi digital. Hal ini menegaskan bahwa Seren Taun tidak hanya ritual adat, tetapi juga hasil kerja kolektif untuk menjaga kesinambungan budaya di tengah arus modernisasi. Sementara itu, di Kasepuhan Cisungsang, Lebak, Banten, penelitian (Septiyansah dkk., 2023) menjelaskan bahwa Seren Taun dijalankan melalui serangkaian tahapan ritual, antara lain Nibakeun Sri ka Bumi, Ngamitkeun Sri ti Bumi, Rasul Pare ti Leuit, serta pendataan jumlah anggota komunitas (cacah jiwa). Rangkaian tersebut bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan wujud penghormatan kepada leluhur, penguatan spiritual masyarakat, dan upaya konkret menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Melalui perspektif etnopedagogi, (Aradea Ferescky dkk., 2024) menekankan bahwa Seren Taun berfungsi sebagai sarana pendidikan budaya bagi generasi muda. Melalui keterlibatan dalam ritual ini, siswa dan anak-anak komunitas belajar mengenai identitas budaya, nilai moral, serta semangat gotong royong yang diwariskan leluhur.
Dengan demikian, Seren Taun bukan hanya tradisi agraris, melainkan juga media pembelajaran nilai karakter dan budaya lokal yang relevan hingga kini. Meski nilai dan ritual Nyi Pohaci masih hidup hingga kini, sejumlah tantangan muncul seiring perkembangan zaman. Pertama, dokumentasi tradisi belum sepenuhnya terkelola dengan baik dalam media modern. Akibatnya, pengetahuan yang sangat berharga berisiko hilang seiring berkurangnya ingatan generasi tua. Kedua, regenerasi budaya masih perlu diperkuat. Partisipasi generasi muda belum selalu konsisten, sementara modernisasi dan globalisasi kerap membuat tradisi dianggap kurang relevan (Apriyana dkk., 2025). Namun, justru dari tantangan inilah peluang terbuka. Dokumentasi yang lemah dan keterlibatan anak muda yang belum optimal dapat dijawab melalui jalur pendidikan formal. Kisah dan nilai Nyi Pohaci dapat masuk ke ruang kelas sebagai bagian dari pembelajaran lintas mata pelajaran. Dengan begitu, sekolah berfungsi bukan hanya sebagai tempat transfer ilmu akademik, tetapi juga sebagai sarana pelestarian budaya. (Apriyana dkk., 2025).
Cerita Nyi Pohaci tidak hanya penting sebagai bagian dari warisan budaya Sunda, tetapi juga dapat diintegrasikan dalam pembelajaran sekolah dasar. Melalui integrasi ini, siswa tidak hanya belajar tentang kisah mitologis, tetapi juga memperoleh nilai karakter, wawasan sosial, serta kesadaran lingkungan, di antaranya itu adalah:
No |
Mata Pelajaran |
Integrasi |
1 |
Bahasa Indonesia | Cerita Nyi Pohaci dapat dijadikan bahan bacaan sastra daerah. Guru bisa mengajak siswa membaca, lalu menuliskan kembali dengan bahasa mereka sendiri atau membuat ringkasan. Kegiatan ini melatih keterampilan membaca, menulis, dan berpikir kritis. |
2 |
Ilmu Pengetahuan Sosial | Dalam IPS, Nyi Pohaci dapat dikenalkan sebagai bagian dari kearifan lokal Sunda. Guru dapat mengaitkan dengan tradisi Seren Taun sebagai bentuk syukur masyarakat terhadap hasil panen, sehingga siswa memahami hubungan antara manusia, budaya, dan alam. |
3 |
Pendidikan Pancasila | Nilai gotong royong, rasa syukur, dan menjaga lingkungan dari cerita Nyi Pohaci dapat dikaitkan dengan sila ke-3 (Persatuan Indonesia) dan sila ke-5 (Keadilan Sosial). Dengan begitu, siswa belajar menghubungkan nilai Pancasila dengan kehidupan nyata. |
4 |
Ilmu Pengetahuan Alam | Guru dapat menggunakan kisah Dewi Padi untuk menjelaskan siklus tumbuhan dan ekosistem. Hal ini menjadi pintu masuk untuk memahami peran tanaman bagi kehidupan dan pentingnya keberlanjutan lingkungan. |
5 |
Seni Budaya | Siswa dapat diajak membuat drama sederhana, menggambar padi, atau menyanyikan lagu daerah yang terinspirasi dari Nyi Pohaci. Aktivitas ini menumbuhkan kreativitas sekaligus apresiasi terhadap budaya lokal. |
Melalui pendekatan ini, Nyi Pohaci tidak hanya menjadi bagian dari sejarah dan mitologi, tetapi juga sumber belajar lintas mata pelajaran yang kontekstual bagi siswa SD. Kisah Nyi Pohaci Sang Hyang Asri menunjukkan bahwa mitos tidak hanya hidup dalam dongeng, melainkan juga mewarnai praktik budaya dan sosial masyarakat Sunda hingga kini. Ia hadir dalam kepercayaan adat yang menekankan pentingnya padi sebagai simbol spiritual dan ekologis, dalam ritual Seren Taun yang mengajarkan syukur dan gotong royong, serta dalam nilai kepemimpinan adat yang menjaga keharmonisan dengan alam. Meski modernisasi menghadirkan tantangan berupa lemahnya dokumentasi dan kurangnya keterlibatan generasi muda, peluang besar terbuka melalui pendidikan. Dengan mengintegrasikan kisah Nyi Pohaci ke dalam pembelajaran sekolah dasa. Mulai dari literasi bahasa, IPS, Pancasila, IPA, hingga seni budaya. Warisan ini dapat terus hidup sekaligus membentuk generasi yang lebih sadar budaya, peduli lingkungan, dan berkarakter kuat.
Referensi
Apriyana, F., Khadijah, U. L. S., Rodiah, S., & Berliana, N. A. (2025). Manajemen pengetahuan dalam melestarikan tradisi Seren Taun di Cigugur Kuningan. Informatio: Journal of Library and Information Science, 5(1), 95–110. https://doi.org/10.24198/inf.v5i1.56060
Aradea Ferescky, Desy Safitri, & Sujarwo Sujarwo. (2024). Analisis Tradisi Seren Taun Sebagai Sarana Pelestarian Kebudayaan Sunda di Era Globalisasi.
Bahagia, B., Hudayana, B., Wibowo, R., & Rangkuti, Z. (2021). Nyi Pohaci Sang Hyang Sri Value in leader perspective of Cipatat Kolot Customary Societies. Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS, 8(1). https://doi.org/10.21831/hsjpi.v8i1.39241
Holil, M. (2020). Myths of Nyi Pohaci Sanghyang Sri on Sundanese Ethnic: Efforts to Reconstruct the Values of Environmental Conservation. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 469(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/469/1/012054
Septiyansah, A., Sugiana Fitrayadi, D., Yuni Lestari, R., Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, P., Keguruan dan Ilmu Pendidikan, F., Sultan Ageng Tirtayasa, U., Serang, K., & Banten, P. (2023). MOTEKAR: Jurnal Multidisiplin Teknologi dan Arsitektur Analisis Tradisi Ritual Adat Seren Taun Kasepuhan Cisungsang Dalam Upaya Pelestarian Budaya. 1(2), 32.
Widianingsih, I., McIntyre, J. J., Rakasiwi, U. S., Iskandar, G. H., & Wirawan, R. (2023). Indigenous Sundanese Leadership: Eco-Systemic Lessons on Zero Emissions: A conversation with Indigenous leaders in Ciptagelar, West Java. Systemic Practice and Action Research, 36(2), 321–353. https://doi.org/10.1007/s11213-022-09606-y
Comments :