Seba Baduy dan Jejak Pendidikan dalam Kehidupan Modern
Di tengah derasnya arus globalisasi, kita menjadi saksi perubahan besar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak kini lebih akrab dengan layar gawai dibanding dengan tanah lapang tempat mereka bermain. Mereka fasih menggunakan teknologi, tetapi seringkali jauh dari nilai-nilai tradisi yang melekat pada akar budaya bangsa. Modernisasi memang membawa kemudahan, tetapi juga menghadirkan tantangan, bagaimana agar identitas kita tidak terkikis, dan bagaimana nilai luhur dari tradisi tetap hidup di tengah kehidupan serba instan. Di sinilah cerita dari sebuah komunitas adat di Banten hadir sebagai inspirasi penyeimbang, menghadirkan hikmah yang sederhana tetapi mendalam. Masyarakat Baduy, khususnya Baduy Luar, memiliki tradisi tahunan bernama Seba Baduy, sebuah ritual yang bukan hanya sarat nilai spiritual, tetapi juga menyimpan pelajaran yang bisa dihubungkan dengan pendidikan kita hari ini.
Seba Baduy adalah prosesi perjalanan panjang masyarakat adat Kanekes. Setiap tahun, ratusan warga Baduy berjalan kaki berhari-hari dari kampung mereka menuju pusat pemerintahan di Rangkasbitung, Pandeglang, hingga Serang (Holidah, sitti, Fitriani, 2025). Mereka membawa hasil bumi berupa beras, pisang, gula aren, dan palawija kemudian menyerahkannya kepada pemerintah daerah. Tidak ada pesta yang meriah, tidak ada hiasan megah. Semua dilakukan dengan sederhana, dalam ketulusan, keikhlasan, dan segenap doa bersama. Kata “seba” sendiri bermakna menghadap atau menyampaikan bakti (Amin, 2020). Dahulu tradisi ini telah dikenal sejak zaman Kesultanan Banten, sebagai wujud penghormatan rakyat kepada pemimpin daerah. Kini, tradisi itu tetap dijalankan, menjadi simbol hubungan harmonis antara manusia, alam, leluhur, dan negara. Seba Baduy dipahami bukan hanya sebagai ritual adat, tetapi juga puncak dari sistem religi Sunda Wiwitan yang wajib dilakukan karena merupakan pusaka leluhur. Upacara ini menjadi wujud syukur kepada Tuhan sekaligus penghormatan kepada pemerintah (bupati dan gubernur) yang secara informal dianggap sebagai pemimpin masyarakat Baduy (Rusnandar, 2013) (Firman Apriyanto et al., 2024).
Gambar 1. Seba Baduy (Sumber: PelitaBanten)
Nilai-nilai yang terkandung dalam Seba Baduy sungguh luas. Dari sisi spiritual, tradisi ini menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta dan leluhur. Dari sisi sosial, ia meneguhkan solidaritas internal sekaligus menjalin silaturahmi dengan masyarakat luar. Dari sisi politik, ia menjadi simbol keterbukaan masyarakat adat terhadap pemerintah tanpa kehilangan jati diri. Dari sisi ekologis, ia mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kelestarian alam sebagai penopang kehidupan (Subai et al., 2023). Dari perspektif komunikasi menunjukkan bahwa Seba Baduy sarat dengan aktivitas komunikasi simbolik: situasi komunikatif (tempat dan waktu upacara), peristiwa komunikatif (ungkapan syukur dan bakti kepada leluhur serta pemerintah), dan tindak komunikatif (verbal maupun non-verbal, seperti doa, serah terima hasil bumi, hingga sikap tubuh penuh hormat). Hal ini memperlihatkan bahwa Seba bukan sekadar ritual, melainkan juga panggung komunikasi budaya yang menghubungkan masyarakat adat dengan dunia luar. Semua nilai ini, jika direnungkan, tidak hanya relevan bagi masyarakat adat Baduy, tetapi juga bagi kita semua yang hidup di tengah modernitas (Amin, 2020).
Gambar 2. Warga Baduy (Sumber: Travelers Univers)
Ketika kita bicara pendidikan, Seba Baduy sesungguhnya dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan tradisi dengan pembelajaran yang kontekstual di sekolah. Pendidikan tidak selalu harus dipahami sebagai proses transfer pengetahuan dari buku ke kepala, tetapi juga bisa lahir dari pengalaman hidup dan kearifan lokal. Tradisi seperti Seba Baduy menawarkan potensi yang sangat besar karena melibatkan berbagai dimensi kehidupan sekaligus. Dengan mengamati dan mempelajari prosesi ini, siswa tidak hanya mengenal adat istiadat atau sejarah, tetapi juga belajar memahami nilai sosial, etika, dan hubungan manusia dengan alam secara langsung. Seba Baduy memungkinkan guru untuk menciptakan pengalaman belajar yang menyeluruh dan terpadu, di mana satu tradisi dapat menjadi titik tolak untuk pelajaran lintas disiplin ilmu. (Isnendes, 2016) (Suaidi Suaidi, 2024).
Gambar 3. Internalisasi Kearifan Lokal Seba Baduy pada Pembelajaran di Sekolah Dasar
Dalam pembelajaran, mengaitkan konsep akademik dengan kehidupan nyata membuat siswa lebih mudah memahami makna di balik setiap pelajaran. Salah satu contoh yang menarik adalah dengan menjadikan perjalanan panjang masyarakat Baduy sebagai konteks pembelajaran lintas bidang. Tradisi ini tidak hanya sarat nilai budaya, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep Matematika dan IPA secara konkret dan bermakna.
Mind map di atas menunjukkan keterkaitan antara tradisi perjalanan masyarakat Baduy dengan dua bidang ilmu, yaitu Matematika dan IPA. Dalam pembelajaran Matematika, konteks ini membantu siswa memahami konsep jarak, waktu tempuh, kecepatan rata-rata, dan berat hasil bumi melalui kegiatan yang aplikatif seperti merancang perjalanan fiktif dan menghitung logistiknya. Angka dan rumus pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar teori. Sementara dalam IPA, siswa diajak menelusuri ekosistem sepanjang jalur perjalanan, mengenali flora dan fauna lokal, mempelajari pertanian berkelanjutan, serta memahami adaptasi tubuh manusia terhadap aktivitas fisik yang berat. Melalui kegiatan ini, siswa menyadari bahwa sains tidak hanya ditemukan di laboratorium, tetapi juga hadir dalam kehidupan masyarakat tradisional yang hidup selaras dengan alam. Dengan demikian, pembelajaran berbasis budaya seperti ini mampu menumbuhkan pemahaman konseptual sekaligus membangun nilai-nilai ekologis dan kemanusiaan pada diri peserta didik.
Gambar 4. Siswa Belajar (Sumber: IDN Times)
Sementara itu, dalam IPS, Seba Baduy dapat menjadi sarana untuk mempelajari sejarah lokal, sistem sosial masyarakat adat, dan hubungan mereka dengan pemerintah. Anak-anak belajar tentang struktur sosial, solidaritas, dan gotong royong dalam masyarakat yang menjaga tradisi, sekaligus memahami nilai diplomasi budaya yang terjadi antara masyarakat adat dan dunia modern. Nilai-nilai kebersamaan, kepedulian sosial, dan penghormatan terhadap otoritas dapat dijadikan bahan diskusi yang memperkaya wawasan civics dan pendidikan karakter. Bahkan dalam pelajaran bahasa dan seni, siswa bisa mengekspresikan pengalaman mereka melalui cerita, puisi, atau ilustrasi perjalanan Seba, sehingga kreativitas mereka berkembang bersamaan dengan pemahaman budaya (Isnendes, 2016).
Tradisi Seba Baduy tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga pengalaman hidup yang mendalam, reflektif, dan bermakna. Anak-anak belajar bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral tidak terpisahkan, dan bahwa pembelajaran terbaik sering muncul ketika siswa dapat merasakan, mengamati, dan terlibat secara langsung. Integrasi Seba Baduy dalam pembelajaran memungkinkan pendidikan menjadi lebih hidup, memupuk rasa hormat pada budaya, menumbuhkan karakter, dan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak, peduli, dan berakar pada identitas bangsa (Firman Apriyanto et al., 2024).
Gambar 5. Ritual Syukur (Sumber: VIVA.co.id)
Bagi generasi muda, mengenal Seba Baduy bukan hanya mengenal sebuah prosesi adat. Tetapi, kesempatan untuk belajar tentang kesederhanaan di tengah gaya hidup instan, tentang pentingnya menjaga keselarasan dengan alam di tengah krisis lingkungan global, dan tentang jati diri budaya yang menjadi kekuatan bangsa di tengah gempuran globalisasi. Seba Baduy mengajarkan bahwa hidup tidak selalu harus dipenuhi ambisi material, tetapi bisa bermakna dengan berbagi, bersyukur, dan menjaga kebersamaan. Dalam dunia pendidikan yang sering terjebak pada angka ujian dan prestasi akademis, nilai-nilai dari tradisi ini bisa menjadi pengingat bahwa tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh, cerdas, sekaligus berkarakter. Tentu saja, ada tantangan besar. Tradisi seperti Seba Baduy bisa saja perlahan terkikis jika tidak dikenalkan kepada generasi muda. Modernisasi yang begitu cepat berisiko membuat anak-anak hanya mengenal budaya global tanpa tahu akar budayanya sendiri. Di sinilah peran pendidikan menjadi penting. Guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar kurikulum, tetapi juga sebagai penjaga identitas budaya. Dengan menjadikan Seba Baduy sebagai bahan ajar kontekstual, guru membantu murid-muridnya mengenal warisan bangsanya sekaligus menghubungkannya dengan pengetahuan yang mereka pelajari di sekolah.
Pada akhirnya, Seba Baduy bukan sekadar ritual tahunan masyarakat adat Kanekes. Ia adalah perwujudan identitas, nilai luhur, dan kearifan lokal yang tetap relevan hingga kini. Tradisi ini adalah cermin kehidupan yang sederhana, tulus, dan penuh makna. Bila diintegrasikan dalam pembelajaran, Seba Baduy bukan hanya milik masyarakat Baduy, melainkan menjadi inspirasi seluruh bangsa. Dengan memahami dan merawat tradisi ini, generasi muda tidak hanya belajar menghormati budaya leluhur, tetapi juga belajar menjaga keseimbangan hidup. Ketika anak-anak kita belajar menghitung jarak Seba, mengenali tumbuhan yang mereka lalui, memahami sejarahnya, dan menghayati nilai kebersamaannya, mereka sebenarnya sedang belajar sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar matematika, IPA, atau IPS. Mereka belajar bagaimana menjadi manusia yang tidak tercerabut dari akar, manusia yang mampu menghormati masa lalu, menghadapi masa kini, dan membangun masa depan dengan lebih bijaksana. Seba Baduy adalah warisan, tetapi juga pelita yang bisa menuntun kita dalam kehidupan modern yang serba cepat. Dan jika kita berhasil menjadikannya bagian dari pendidikan, maka pesan dari Kanekes akan terus hidup, mengalir, dan memberi makna bagi generasi yang akan datang.
Gambar 6. Seren Taun Baduy (Sumber: ANTARA News)
Referensi
Amin, M. A. S. (2020). Communication Activities Seba Baduy Lebak Regency Banten. Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal) : Humanities and Social Sciences, 3(1), 73–80. https://doi.org/10.33258/birci.v3i1.720
Firman Apriyanto, Titi Julaeha, Susanti Susanti, Madhuri Purba, Eneng Liah Khoiriyah, & Iim Khairunnisa. (2024). The Analysis Of Seba Baduy Tradition As A Form Of Indigenous Community Existence. Sintaksis : Publikasi Para Ahli Bahasa Dan Sastra Inggris, 2(1), 119–126. https://doi.org/10.61132/sintaksis.v2i1.279
Holidah, sitti, Fitriani, H. L. (2025). SISTEM RELIGI DAN UPACARA KEAGAMAAN MASYARAKAT BADUY LUAR. 6(7), 651–645.
Isnendes, R. (2016). Upacara Seba Baduy: Sebuah Perjalanan Politik Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Seba Baduy Ceremony: a Political Journey of Sunda Wiwitan Traditional Community. Jurnal Masyarakat & Budaya, 18(2), 203–214. http://id.wikipedia.org/wiki/
Rusnandar, N. (2013). Seba : Puncak Ritual Masyarakat Baduy Seba : the Culmination of Baduy ’ S Religious Ritual. Patanjala, 5(1), 83–100.
Suaidi Suaidi. (2024). Harmoni Keutuhan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Menyingkap Perkembangan Pendidikan. Journal of Student Research, 2(2), 67–78. https://doi.org/10.55606/jsr.v2i2.2797
Subai, Hidayat, S., Jamaludin, U., & Leksono, S. (2023). MENGGALI KEARIFAN LOKAL UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN : STUDI ETNO-PEDAGOGI DI SUKU BADUY Subai Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Sholeh Hidayat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Ujang Jamaludin Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Suroso Mukti L. 17(4), 2886–2906.
Comments :