Internalisasi Nilai-Nilai Piil Pesenggiri dalam Pembelajaran Pendidikan Pancasila sebagai Upaya Pembentukan Karakter Siswa Sekolah Dasar
Setiap masyarakat memiliki falsafah hidup yang menuntun cara berpikir, bersikap, dan berperilaku. Falsafah itu lahir dari pengalaman panjang, diwariskan lintas generasi, dan menjadi penopang jati diri di tengah perubahan zaman. Bagi masyarakat Lampung, falsafah tersebut terwujud dalam Piil Pesenggiri. Piil pesenggiri merupakan pandangan atau pedoman hidup bagi masyarakat Lampung. Ini juga dikenal sebagai falsafah pegangan hidup atas norma dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terlihat dalam pola tingkah laku dan pola pergaulan hidup mereka, baik sesama kelompok mereka maupun terhadap kelompok lain. Makna Piil Pesenggiri juga sering diartikan sebagai tanda atau simbol “harga diri” bagi pribumi Lampung (Fitriani, 2013).
Nilai Piil Pesenggiri tumbuh bersama tatanan sosial masyarakat adat Lampung sejak masa tradisional. Prinsip falsafah ini diperankan sejak era tradisional sebagai pedoman etika sosial, menjaga kehormatan individu serta harmoni antar kelompok. Seiring modernisasi, pergeseran nilai terjadi, tetapi Piil Pesenggiri tetap berfungsi sebagai warisan budaya yang membentuk jati diri Lampung (Fachruddin, 2007). Piil Pesenggiri hidup dalam dua sistem adat utama yaitu Saibatin (pesisir) yang menekankan hierarki dan gelar keturunan bangsawan, serta Pepadun (pedalaman) yang menonjolkan musyawarah dan pemberian gelar adat sebagai simbol status sosial dan tanggung jawab moral (Fernanda & Samsuri, 2020).
Masuknya Islam ke Lampung pada abad ke-16 hingga ke-17, semakin memperkuat nilai-nilai Piil Pesenggiri, terutama nemui nyimah dan sakai sambayan semakin diperkuat karena sejalan dengan ajaran moral Islam tentang keramahtamahan dan solidaritas. Tradisi ini kemudian melekat sebagai landasan moral dan norma sosial masyarakat Lampung hingga era kolonial dan kemerdekaan (Deni Eko Setiawan et al., 2019). Sejak itu, falsafah ini berfungsi sebagai norma sosial yang efektif untuk menyelesaikan konflik dan menjaga kerukunan, bahkan sebelum hadirnya hukum formal.(Utama, 2019). Meski masuk era modern dan globalisasi, nilai-nilai ini tetap bertahan sebagai identitas budaya dan kerangka etik kolektif, meski tantangan seperti urbanisasi dan individualisme membuat penerapannya di generasi muda semakin menurun.
Pandangan hidup merupakan pendapat dan pertimbangan terhadap dunia yang dianggap baik dalam hidup. Piil Pesenggiri ini didampingi oleh empat unsur lain yaitu disebut “Juluk Adek (mengandung arti suka dengan nama baik dan gelar yang terhormat), Nemui Nyimah (mengandung arti suka menerima dan memberi dalam suasana suka dan duka.), Nengah Nyappur (mengandung arti suka bergaul dan bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah), dan Sakai Sambayan (mengandung arti suka menolong dan bergotong royong dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan).
Table 1. Implementasi Nilai-Nilai Piil Pesenggiri
Nilai-Nilai Piil Pesenggiri | Implementasi di Masyarakat Lampung | Implementasi di Pendidikan Sekolah Dasar |
Juluk Adek |
|
|
Nemui Nyimah |
|
|
Nengah Nyappur |
|
|
Sakai Sambayan |
|
|
Dengan dasar historis yang kuat dan nilai-nilai budaya yang melekat, Piil Pesenggiri tidak berhenti menjadi simbol budaya. Ia diaktualisasikan dalam aspek kehidupan masyarakat Lampung, termasuk pendidikan karakter, guna memastikan falsafah ini tetap hidup dan relevan dalam menghadapi perubahan zaman. Nilai-nilai tersebut telah mengakar sejak masa tradisional, diperkaya oleh pengaruh Islam, hingga tetap bertahan di tengah arus modernisasi. Agar tidak sekadar menjadi warisan simbolik, Piil Pesenggiri kemudian diintegrasikan ke dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pembentukan karakter, hingga peranannya dalam menghadapi tantangan globalisasi dan menjaga harmoni sosial. Bentuk integrasi inilah yang memastikan Piil Pesenggiri tetap hidup dan relevan dalam dinamika masyarakat Lampung masa kini yaitu Pendidikan dan Pembentukan Karakter.
Integrasi nilai-nilai Piil Pesenggiri dalam pendidikan terlihat jelas dalam pembentukan karakter siswa melalui mata pelajaran seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), contohnya, nilai nemui nyimah dapat menumbuhkan sikap jujur, ramah, dan rendah hati dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan sekolah. Nilai nengah nyappur melatih siswa untuk terbiasa berdialog, bermusyawarah, serta menghargai pendapat orang lain. Sementara itu, sakai sambayan memperkuat semangat kerja sama, kepedulian sosial, dan gotong royong dalam kegiatan belajar. Terakhir, bejuluk beadek berfungsi membentuk integritas dan tanggung jawab siswa dalam menjalani peran sebagai pelajar dan anggota masyarakat. Penelitian Fernanda & Samsuri (2020) menunjukkan bahwa internalisasi nilai Piil Pesenggiri dalam pendidikan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, serta membangun karakter etis pada siswa (Fernanda & Samsuri, 2020).
Piil Pesenggiri bermanfaat untuk menjaga kehormatan dan martabat diri masyarakat Lampung agar selalu berperilaku terhormat. Selain itu, nilai-nilainya memperkuat solidaritas sosial melalui semangat gotong royong (sakai sambayan) dan toleransi (nengah nyappur) sehingga tercipta kerukunan dalam keberagaman (Nururi, 2024). Dalam pendidikan, Piil Pesenggiri bertujuan membentuk karakter generasi muda yang jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas melalui nilai nemui nyimah dan bejuluk beadek. Dengan demikian, Piil Pesenggiri tidak hanya berfungsi sebagai pedoman moral, tetapi juga sebagai fondasi etis yang menuntun masyarakat Lampung untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Piil Pesenggiri merupakan kearifan lokal dengan nilai luhur yang tetap relevan di tengah arus globalisasi. Falsafah ini bukan sekadar pedoman adat, melainkan juga panduan moral yang menjaga kehormatan, martabat, dan solidaritas masyarakat Lampung. Melalui perannya dalam pendidikan, kehidupan sosial, hingga penyelesaian konflik, Piil Pesenggiri terus hidup dan membentuk karakter masyarakat. Oleh karena itu, pelestarian dan revitalisasi nilai-nilainya penting agar generasi muda tidak kehilangan identitas budaya sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman. Piil Pesenggiri bukan hanya warisan leluhur, tetapi juga sumber inspirasi bagi penguatan pendidikan karakter, pembangunan sosial, dan keharmonisan bangsa.
Referensi
Deni Eko Setiawan, Hermanu Joebagio, & Susanto. (2019). Piil Pesenggiri : Kearifan Lokal Kultur Islam Lampung Sebagai Sumber Belajar Toleransi. Jurnal Ekonomi,Sosial & Humaniora, 1(04), 27–35.
Fachruddin, F. (2007). Falsafah Piil Pesenggiri Sebagai Kearifan Kota Lampung Teraktualisasi Melalui Pendidikan Non Formal. Perspektif Ilmu Pendidikan, 15(VIII), 71–75. https://doi.org/10.21009/pip.151.12
Fernanda, F. E., & Samsuri, S. (2020). Mempertahankan Piil Pesenggiri Sebagai Identitas Budaya Suku Lampung. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(2), 168–177. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n2.p168-177.2020
Fitriani. (2013). Konsepsi Piil Pesenggiri Menurut Masyarakat Adat Lampung Waykanan Di Kabupaten Waykanan. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Nomor 9).
Nururi, I. (2024). Tradisi dan Religi: Aksiologis Filsafat Hidup Piil Pesenggiri Masyarakat Suku Lampung sebagai Dasar Etika dan Relevansinya dengan Agama Islam. Bulletin of Asian Islamic Studies., 1(1), 24–35. https://attractivejournal.com/index.php/bais/article/view/744
Utama, F. (2019). Piil Pesenggiri Dalam Masyarakat Lampung : Antara Instrumen Bina Damai Atau Dalih Kekerasan. Inovasi Pembangunan : Jurnal Kelitbangan, 7(2), 117. https://doi.org/10.35450/jip.v7i2.130
Comments :