Menjadi manusia tanpa belajar IPA sejak dini?
Oleh: Fransiska Astri
Apa definisi Ilmu Pengetahuan Alam yang berkembang di masyarakat saat ini? Apakah sekedar bermakna “Ilmu yang mempelajari tentang alam dan kehidupan”? Atau lebih dikenal lagi dengan “Ilmu tentang nama-nama hewan, serta tumbuhan beserta nama latinnya” yang membosankan dan sulit untuk dipelajari?. Berbicara tentang mata pelajaran IPA hal yang perlu diingat adalah data yang disampaikan Programme for International Student Assessment (PISA) yang berada dibawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa kemampuan anak Indonesia di bidang bahasa, matematika dan sains atau IPA berada pada peringkat 69 dari 76 negara di dunia yang bergabung dalam PISA. Kesimpulan yang diambil umumnya akan mengatakan bahwa IPA, dan Matematika telah menjadi beban berat bagi anak-anak sekolah dasar di Indonesia. Tingkat pencapaian yang rendah bisa jadi menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia tidak mampu disandingkan dengan anak-anak sekolah dasar di Negara lain dalam kemampuannya memahami pelajaran ini. Dari informasi tersebut, tepatlah bila masyarakat umumnya berpendapat bahwa IPA adalah salah satu mata pelajaran yang paling tidak disenangi dan sulit dipelajari.
Pada akhir tahun 2012, muncul isu penggabungan mata pelajaran IPA dan IPS dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan PKn. Hal tersebut diputuskan akibat rangking PISA yang rendah, banyaknya tawuran yang terjadi di beberapa sekolah di Indonesia, serta kasus pelecehan seksual yang terjadi akibat pergaulan bebas di sosial media. Permasalahan-permasalahan tersebut dianggap berakar dari pembelajaran IPA yang tidak menunjukkan hasil yang baik, serta kurangnya pembelajaran yang terkait dengan sikap, mental, dan akhlak. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Khairil Anwar kepada okezone.com kamis (27/9/2012) mengatakan bahwa hasil diskusi yang berkembang di kementerian memutuskan bahwa pelajaran di sekolah tingkat dasar akan lebih ditekankan kepada bagaimana membentuk anak yang disiplin, jujur dan bersih. Ia juga menambahkan bahwa Penghapusan mata pelajaran IPA dan IPS ini juga sebagai akibat pengurangan jam belajar karena pelajaran pembentukan sikap ini tidak lagi terkait dengan transfer ilmu sains. Namun tepatkah pendapat tersebut?.
Beberapa informasi tersebut menunjukkan betapa dangkalnya IPA atau sains dipahami. Mata pelajaran IPA hanya dianggap sebagai mata pelajaran yang hanya menginstruksi siswa menghafalkan semua fakta, konsep, hukum tentang kehidupan yang ada di bumi. Jika memang pemahaman semua orang mengenai mata pelajaran IPA hanya sebatas itu, maka wajar sajalah bila mata pelajaran IPA harus dihapuskan, atau secara halus diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Karena dengan menghafal tidak ada hasil belajar yang didapatkan kecuali ingatan jangka pendek yang seringkali tidak dapat digunakan untuk membuat solusi pada saat individu dihadapkan pada suatu permasalahan.
IPA pada hakikatnya terbagi menjadi 3 hal yaitu produk, proses, dan sikap. Produk IPA berkaitan dengan fakta, hukum, dan teori yang berkembang di ranah IPA, proses berkaitan dengan bagaimana suatu konsep dipahami melalui serangkaian kegiatan saintifik, dan sikap adalah perilaku-perilaku yang ditumbuhkan pada saat siswa melaksanakan proses-proses saintifik. Berdasarkan hakikatnya, tujuan pembelajaran IPA bukanlah sekedar usaha untuk membuat siswa menguasai konten materi, karena penguasaan konten hanyalah sepertiga tujuan pembelajaran IPA, namun yang terpenting adalah, melalui IPA anak-anak dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Dalam IPA, dikenal sebuah konsep bernama Literacy Science atau melek sains. Literasi sains ini didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan ilmiah agar dapat memahami proses kehidupan dan membantu membuat keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dan alam. Berfikir ilmiah bukan hanya tuntutan yang harus dimiliki oleh ilmuwan atau orang orang yang berkecimpung di dunia ke-IPA-an saja. Berfikir ilmiah adalah sudut pandang untuk menganalisis adanya fakta, masalah atau kecenderungan-kecenderungan perilaku masyarakat yang dapat mengganggu keseimbangan alam, dan membantu mencari dan menemukan solusi agar kepentingan masyarakat tidak terbatasi, namun kelestarian alam juga tetap terjaga. Jika kita pahami, pelajaran IPA sangat berkaitan dengan apa yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran IPA seharusnya bisa membantu siswa untuk menjelaskan hal-hal sederhana yang teramati dan dilakukan oleh siswa seperti seperti mengapa sarapan itu penting, mengapa olah raga itu penting, mengapa duduk berlama-lama di depan komputer itu tidak baik, mengapa sampah perlu dikelola, sampai pada pertanyaan sederhana namun penuh pertimbangan seperti “dengan cara apa sebaiknya mereka berangkat ke sekolah?”
IPA tidak hanya berkaitan dengan fakta yang menyebutkan bahwa tumbuhan berfotosintesis untuk mendapatkan makanan, manusia makan untuk mendapatkan energi, tangan tidak boleh basah ketika kita akan menyentuh alat elektronik, sampah organik dapat membusuk, atau gas beracun dari kendaraan dan pabrik dapat mengakibatkan pemanasan global. Lebih jauh dari itu, IPA menjelaskan mengenai proses yang terjadi di dalamnya, mengapa hal tersebut terjadi, bagaimana hal itu bias terjadi, sehingga ketika ada permasalahan seperti fakta bahwa dunia sedang menghadapi pemanasan global, anak-anak sejak dini sudah paham apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Liliasari, dosen pendidikan IPA di sekolah Pascasarjana UPI mengatakan bahwa literasi sains berimplikasi kepada kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi isu sains yang melandasi pengambilan keputusan lokal dan nasional. Dalam hal ini, tersirat bahwa pendidikan IPA juga bertanggung jawab dalam membentuk warga Negara yang bertanggung jawab atas keberlangsungan negaranya.
Pendidikan tidak dapat berlangsung dengan cara yang instant dan dalam waktu yang singkat. Pendidikan IPA harus dilaksanakan secara kontinu untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang menyeluruh. Di abad ke-21 ini, kita menghadapi sebuah tantangan global, tidak hanya dari segi perdagangan, namun juga teknologi dan pendidikan. Ketika Negara lain sudah matang dengan tujuannya, sudah berhasil memproduksi teknologi tinggi dari hasil pendidikan IPAnya, negara kita malah masih berkecimpung di dalam hal-hal yang sifatnya sangat mendasar seperti seperti perubahan kurikulum yang secara berkala masih terus berubah.
Dari penjabaran diatas, semoga dapat dipahami arti penting pembelajaran IPA semenjak dini, dan bahwa sebenarnya, pembelajran IPA sama sekali tidak terlepas dari pembentukan karakter manusia yang diharapkan oleh Negara, dan hal itu bisa diwujudkan, apabila ada perhatian dalam pengembangan pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia, sehingga pada setiap mata pelajaran, bukan hanya konten yang diunggulkan, namun juga dalam proses dan pengembangan sikapnya.
Comments :