MANUSIA (TIDAK) BERBUDAYA
Oleh: Ferry Doringin
Orang biasanya tersinggung ketika disebut ‘tidak berbudaya’. Konotasi ‘tidak berbudaya’ adalah orang yang berperadaban rendah atau kasar. Namun, bisa saja orang sengaja memilih ‘tidak berbudaya’ ketika melemparkan isu rendah dan kasar terkait SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), tanpa peduli dampak tindakannya pada generasi muda.
Beberapa waktu terakhir, gambar dan ucapan SARA cukup ramai muncul di media sosial dengan varian yang makin mengkhawatirkan. Misalnya, serangan SARA terhadap calon Gubernur tertentu yang bahkan dikaitkan dengan ancaman terjadinya lagi kekerasan seperti tahun 1998.
Gambar dan ucapan SARA ini bisa makin kencang berembus seiring makin dekatnya Pilkada. Orang bisa menghibur diri dengan mengatakan bahwa masyarakat sudah makin cerdas dan tidak akan gampang terpengaruh. Namun, isu SARA yang dihembuskan terus menerus bisa tertanam dalam alam bawah sadar orang muda dan anak-anak. Peran orangtua dan guru, terutama guru SD sangat penting dalam mendampingi siswa agar mendapatkan pemahaman yang benar.
Hal-hal bawah sadar
Isu SARA cukup sering dimainkan bila masyarakat menghadapi pemilu atau pilkada. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak juga menerima pesan tersebut karena media sosial dan saluran informasi terbuka sangat luas. Informasi itu sering tidak dipedulikan dan dianggap tidak perlu ditanggapi. Namun, dengan itu, bisa saja anak-anak menganggap bahwa informasi atau pandangan tersebut benar karena tidak di-counter oleh pihak lain.
Pandangan yang bagaikan memborbardir otak anak terus menerus bisa tersimpan di alam bawah sadarnya. Steve J. Cullich (2015 – dalam Futurelearn course) mengutip Edward T. Hall dan Robert Kohls yang menegaskan bahwa manusia cenderung membawa kemana saja hal-hal yang disimpan mereka secara tidak sadar. Bagaikan orang yang bepergian, ketika mengepak barang, sejumlah barang favorit pasti dibawa serta. Barang favorit itu dimasukkan ke dalam koper mereka.
Triandis (2002) mengatakan bahwa hal bawah sadar itu bukan budaya obyektif dalam arti apa yang diciptakan, melainkan budaya subyektif yang terkait dengan sikap, penilaian, dan pola pikir. Bila dibombardir dengan isu SARA secara berlebihan, orang akan melakukan labeling (stereotip) yang mendatangkan prasangka kepada pihak lain dan berlanjut pada sikap diskriminasi. Jadi, isu SARA melahirkan prasangka dan diskriminasi.
Seberapa kuat pengaruh bawah sadar terkait SARA itu mempengaruhi sikap seseorang? Hal itu tergantung pada situasi seseorang, entah ketika dia merasa tidak nyaman, merasa terancam, atau juga karena kepentingan tertentu (kepentingan persaingan, ingin memenangkan sesuatu).
Hall dan Kohls memberi ilustrasi mengenai ikan yang dikeluarkan dari air yang menjadi habitatnya. Orang yang masuk dalam budayanya dengan pola pikir, sikap, dan penilaian yang dibawanya, bagaikan ikan di dalam air. Dia akan merasakan nyaman, aman, bahagia, hidup-hidup, dan bebas. Berhadapan dengan pandangan berbeda, pola pikir berbeda dan sikap berbeda, orang itu akan merasa dikeluarkan dari habitatnya, merasa terancam, tidak nyaman, dan tidak bahagia.
Bila anak-anak kita disesaki dengan isu SARA yang melahirkan labeling, prasangka dan akhirnya diskriminasi, terhadap suku, agama, ras, dan golongan (bisa juga gender), maka dia akan menjadi gerah ketika berhadapan dengan budaya lain, dengan keanekaragaman, dan pola pikir yang tidak sesuai dengan apa yang digenggamnya.
Orang bisa menjadi sangat agresif dengan sesamanya, padahal akarnya hanyalah pandangan SARA yang terlanjur digenggamnya karena dibombardir terus menerus oleh orang yang (misalnya) ingin memenangkan pilkada. Karena itu, perlu ditanggapi dengan sangat hati-hati ketika orang melempar isu SARA untuk kepentingan sesaat karena bisa membangun rantai masalah prasangka dan diskriminasi yang tidak pernah putus dan bisa mengancam kesatuan dalam kebinekaan Indonesia yang kita cintai.
Manusia bukan ikan
Bila ikan diangkat dari air, ikan itu akan menjadi tidak nyaman, tidak aman dan akan mati (Hall and Kohls). Hal berbeda terjadi pada manusia yang justru berkembang sangat pesat ketika berada di antara budaya-budaya lain, di antara suku, agama, ras dan antar golongan yang lain. Manusia tidak berkembang bila terisolasi pada budaya sendiri atau hanya mau memenangkan budaya sendiri dan mengeliminasi budaya lain.
Sejarah mencatat bahwa peradaban berkembang ketika terjadi pertemuan antar budaya. Bandingkan masyarakat pantai yang biasanya lebih cepat maju dibandingkan masyarakat pegunungan karena pertemuan budaya; atau perantau yang biasanya cepat menjemput sukses dibandingkan bila dia hanya menjadi jago kandang.
Dalam sebuah kelas interkultural, seorang mahasiswa mengungkapkan ilustrasi pohon pisang yang beranak-pinak dengan tunas-tunas baru yang tumbuh di sekitarnya. Namun, perkembangan pohon pisang ada batasnya; pisang akan mencapai titik jenuh sehingga kelihatan gersang ketika tumbuhnya tunas baru tidak diapa-apakan. Petani yang pintar akan memindahkan anakan-anakan pisang itu ke tempat lain dan lihatlah betapa hebat produktif pisang itu setelah dipisahkan dari induknya.
Betapa penting pemahaman interkultural dan betapa penting penyadaran masyarakat sejak dini mengenai pentingnya menghargai kebhinekaan. Lawan isu-isu SARA dengan kisah hidup dalam kebersamaan, kisah pergaulan antar kelompok, antar agama, antar budaya yang justru makin memperkaya masyarakat.
Mahasiswa PGSD perlu terus memahami bahaya menyimpan pandangan keliru terkait SARA. Juga, pahami tugas mulia guru untuk meluruskan pemahaman anak didik yang seringkali begitu polos menyimpan informasi prasangka dan diskriminasi yang datang kepada mereka.*
Comments :