Eksplorasi Nilai-Nilai Sekapur Sirih sebagai Warisan Budaya Riau dalam Pendidikan Sekolah Dasar
Indonesia kaya dengan warisan budaya yang penuh makna. Salah satunya adalah tradisi sekapur sirih dari masyarakat Melayu Riau. Tradisi ini biasanya hadir dalam prosesi penyambutan tamu, berupa sirih, pinang, kapur, gambir, dan bunga rampai yang disusun indah dalam wadah khusus (Rochayati & Alfianus Naka Dama, 2016). Sekapur sirih mengandung filosofi mendalam tentang sopan santun, keramahan, keikhlasan, kebersamaan, dan jati diri budaya (Ridha & Desfiarni, 2024). Bagi masyarakat Melayu, sekapur sirih bukan sekadar suguhan. Tamu yang menerimanya dianggap disambut dengan penuh hormat dan tata krama. Simbol ini menegaskan bahwa menghargai sesama merupakan ajaran utama dalam kehidupan sosial. Dalam konteks seni pertunjukan, tari sekapur sirih berkembang sebagai bentuk penyambutan tamu dengan gerak yang indah, sistematis, dan penuh makna. Tari ini memiliki struktur gerak awal, inti, dan akhir dengan 17 ragam gerak yang sarat nilai estetika serta simbol penghormatan (Ridha & Desfiarni, 2024).
Gambar 1. Tari Sekapur Sirih Jambi
Sumber: IG Sanggar Sinar Bulan @sanggar_sinarbulan. (2024, November 3).
Dalam perkembangannya, Sekapur Sirih diangkat menjadi tarian penyambutan yang terkenal dari Jambi. Tarian ini diciptakan oleh Firdaus Chatap pada tahun 1962 dan kemudian disusun ulang oleh OK Hendrik BBA pada 1967 (Rochayati & Alfianus Naka Dama, 2016)). Tarian ini berfungsi sebagai bentuk penghormatan kepada tamu kehormatan dan menggambarkan keanggunan gadis Jambi dalam berdandan. Ia memiliki 17 variasi gerak yang memanfaatkan garis lurus, diagonal, dan lengkung, serta memadukan tempo lambat hingga cepat (Ridha & Desfiarni, 2024). Filosofinya berpijak pada ungkapan “Alam Takambang Jadi Guru,” yang berarti alam sebagai sumber pembelajaran. Gerak tarinya terinspirasi dari unsur alam, sambil tetap memperhatikan nilai estetika dan norma sosial (Suryawti et al., 2018).
Seperti banyak tradisi lainnya, eksistensi sekapur sirih sempat mengalami pasang surut. Di Desa Sungai Pinang, misalnya, tari Sekapur Sirih menurun pada tahun 2004 akibat keterbatasan dana dan pengaruh modernisasi, tetapi kembali bangkit pada 2014 berkat dukungan masyarakat (Ridha & Desfiarni, 2024)). Kebangkitan tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga warisan budaya agar tetap lestari. Ketika sebuah tradisi dijaga dan diwariskan, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan terus hidup dan relevan lintas generasi.
Sekolah memiliki peran penting dalam menjaga agar nilai-nilai budaya seperti sekapur sirih tetap hidup di tengah perkembangan zaman. Pendidikan dasar bukan hanya tempat anak-anak belajar membaca dan berhitung, tetapi juga tempat mereka belajar menghargai budaya, sopan santun, dan kebersamaan. Tradisi ini dapat dijadikan media pembelajaran karakter yang menarik dan kontekstual.
Guru dapat mengaitkan sekapur sirih dengan berbagai mata pelajaran. Dalam PPKn, siswa dapat belajar tentang sikap menghormati guru dan teman. Dalam Bahasa Indonesia, mereka dapat menulis cerita sederhana tentang pengalaman menerima tamu. Sedangkan dalam Seni Budaya, siswa dapat berlatih menggambar bentuk sekapur sirih atau membuat miniatur sederhana dari bahan bekas (Rochayati & Alfianus Naka Dama, 2016). Salah satu kegiatan yang efektif dan menyenangkan adalah membuat poster tentang sekapur sirih. Melalui kegiatan ini, siswa menggambar wadah sirih beserta isinya, memberi keterangan tentang makna tiap komponen, serta menuliskan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Poster tersebut tidak hanya melatih kreativitas dan imajinasi, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga terhadap budaya daerah. Hasil karya yang dipajang di kelas dapat menjadi pengingat bagi seluruh siswa tentang pentingnya menjaga kesopanan dan melestarikan budaya lokal (Suryawti et al., 2018).
Pengenalan sekapur sirih dalam pembelajaran sekolah dasar memberikan banyak nilai positif bagi siswa. Tradisi ini mengajarkan nilai etika melalui sikap hormat kepada orang lain, nilai estetika melalui keindahan bentuk dan warna, serta nilai sosial melalui semangat kebersamaan. Ketiga nilai tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan karakter yang berupaya membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berbudaya. Selain itu, pembelajaran berbasis budaya menjadikan siswa memahami bahwa tradisi bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan sumber inspirasi dalam kehidupan modern. Melalui kegiatan yang sederhana seperti menggambar, membuat poster, atau mempraktikkan gerakan dasar tarian, anak-anak dapat terlibat langsung dalam proses pelestarian budaya. Kegiatan ini juga memperkuat rasa cinta tanah air dan kebanggaan terhadap identitas daerah.
Eksplorasi nilai-nilai sekapur sirih sebagai warisan budaya Riau dalam pendidikan sekolah dasar merupakan langkah penting dalam membangun karakter generasi muda yang berbudaya. Nilai sopan santun, keramahan, keikhlasan, dan kebersamaan tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga pedoman moral yang relevan di masa kini. Melalui pembelajaran kreatif yang mengaitkan budaya dengan kehidupan sehari-hari, sekolah berperan sebagai jembatan antara warisan leluhur dan kehidupan modern.
Menanamkan nilai-nilai budaya sejak dini akan membantu membentuk pribadi anak yang berkarakter kuat, menghargai tradisi, dan memiliki rasa bangga terhadap identitas bangsanya. Sekapur sirih bukan sekadar simbol penyambutan, tetapi cerminan filosofi hidup masyarakat Melayu yang menekankan kesantunan, keindahan, dan ketulusan dalam berhubungan dengan sesama.
Referensi
Ridha, H., & Desfiarni. (2024). THE EXISTENCE OF SEKAPUR BETEL DANCE IN SUNGAI PINANG VILLAGE HULU KUANTAN SUB- DISTRICT, KUANTAN SINGINGI REGENCY.
Rochayati, R., & Alfianus Naka Dama, T. (2016). JURNAL PENDIDIKAN SENI DAN SENI BUDAYA.
Suryawti, M., Estetika, :, Sekapur, T., Sebagai, S., Penyambutan……, T., & Suryawati, M. (2018). Titian: Jurnal Ilmu Humaniora ESTETIKA TARI SEKAPUR SIRIH SEBAGAI TARI PENYAMBUTAN TAMU DI KOTA JAMBI (Vol. 02, Issue 02). https://online-journal.unja.ac.id/index.php/titianE
Comments :