Menelusuri Fenomena Brain Rot di Balik 38 Jam Scroll TikTok Masyarakat Indonesia
Di tengah gemerlap layar smartphone yang tak pernah redup, sebuah fenomena kultural telah mengemuka di kalangan Generasi Z—”brain rot” atau yang kerap diterjemahkan secara lokal sebagai “pembusukan otak.” Berdasarkan pemahaman saya, istilah ini merujuk pada degradasi kognitif yang dirasakan akibat konsumsi berlebihan konten digital, khususnya media sosial yang mengutamakan stimulus jangka pendek dan kepuasan instan. Data terkini menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi salah satu episentrum fenomena ini, dengan pola konsumsi digital yang mengkhawatirkan dari segi durasi dan intensitas.
Seperti pepatah “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit,” demikian pula dengan dampak kumulatif scrolling tanpa henti—yang secara perlahan namun pasti dapat mengubah arsitektur kognitif kita. Pertanyaannya, sejauh mana fenomena ini telah merasuki kehidupan digital masyarakat Indonesia, dan siapa yang paling rentan terhadap dampaknya?
Demografi Konsumsi Digital: Generasi Muda di Garis Depan
Data demografis audiens iklan Meta di Indonesia menunjukkan pola yang tak mengejutkan namun tetap mengkhawatirkan. Kelompok usia 25-34 tahun mendominasi, dengan 20,0% laki-laki dan 17,7% perempuan. Disusul oleh kelompok 18-24 tahun yang mencakup 14,0% perempuan dan 13,1% laki-laki. Dominasi usia produktif ini mengindikasikan bahwa ekosistem digital Meta telah menjadi habitat utama bagi generasi yang sedang dalam fase kritis pengembangan karier dan identitas diri.
Yang menarik, terdapat ketimpangan gender yang signifikan di kelompok usia 35-44 tahun (9,3% perempuan versus 11,5% laki-laki) dan 45-54 tahun (3,9% perempuan versus 5,0% laki-laki). Fenomena ini mencerminkan kompleksitas akses dan literasi digital yang dipengaruhi faktor sosio-kultural di Indonesia.
Dari pengalaman yang relevan, kelompok usia 18-34 tahun juga merupakan segmen yang paling rentan terhadap fenomena brain rot, mengingat fase perkembangan otak yang masih berlangsung hingga usia 25 tahun. Paradoksnya, justru kelompok inilah yang menjadi target utama algoritma media sosial dengan model bisnis berbasis ekonomi perhatian.
Lubang Hitam Waktu: Ketika 38 Jam Menguap dalam Algoritma
Jika ada satu statistik yang mencengangkan dari data yang tersaji, itu adalah rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna TikTok Indonesia: 38 jam 26 menit per bulan. Mari kita kontekstualisasikan—angka ini setara dengan satu minggu kerja penuh, atau 20% dari total jam kerja satu bulan (asumsi 8 jam/hari, 22 hari kerja).
YouTube tidak jauh berbeda dengan 31 jam 28 menit, sementara WhatsApp mencatat 26 jam 13 menit. Instagram (16 jam 10 menit) dan Facebook (12 jam 56 menit) melengkapi konstelasi waktu yang “hilang” dalam dunia digital.
Tidakkah angka-angka ini membuat kita tertegun? Bayangkan jika waktu tersebut dialokasikan untuk membaca buku, belajar keterampilan baru, atau sekadar berinteraksi secara langsung dengan sesama. Seperti kata pepatah, “waktu adalah uang”—namun dalam konteks ini, waktu yang terbuang malah dibayar dengan mata uang kognitif kita sendiri.
Sebagai perbandingan hipotetis, dalam 38 jam seseorang dapat:
- Membaca 5-7 buku berukuran sedang
- Menyelesaikan kursus pemrograman dasar
- Belajar 500-700 kosakata bahasa asing
Namun alih-alih aktivitas bernilai tersebut, waktu itu justru terserap dalam gulungan konten algoritmik yang kerap bersifat repetitif dan kurang substantif.
Menelaah Brain Rot: Di Balik Lelucon Generasi Z
Meski kerap digunakan sebagai gurauan, istilah “brain rot” sesungguhnya mencerminkan keresahan yang nyata. Dalam perspektif neurosains kognitif, konsumsi berlebihan konten fragmented dengan stimulus visual-auditori cepat dapat mempengaruhi jalur dopaminergik, sirkuit perhatian, dan kapasitas pemrosesan informasi otak.
Fenomena ini terkait erat dengan konsep “attentional erosion” atau erosi perhatian—kemampuan untuk fokus yang semakin terkikis akibat paparan terus-menerus terhadap konten yang didesain untuk memicu respons dopamin jangka pendek. TikTok, dengan algoritma yang sangat efisien dan format video singkat, menjadi platform paling potensial menciptakan siklus dopamin ini, sebagaimana tercermin dari statistik penggunaannya yang tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan pemahaman saya, apa yang dirasakan sebagai “otak leleh” sebenarnya merupakan manifestasi dari beberapa fenomena kognitif:
- Cognitive overload (kelebihan beban kognitif)
- Attentional fatigue (kelelahan perhatian)
- Context switching penalty (penalti peralihan konteks)
- Hedonic treadmill (treadmill hedonistik)
Seorang mahasiswa yang saya temui pernah menjelaskan pengalamannya: “Setelah scrolling TikTok selama dua jam, rasanya seperti otak saya menjadi bubur. Saat mencoba membaca buku teks, paragraf pertama saja terasa seperti mendaki gunung.” Deskripsi ini menggambarkan dengan jelas dampak kognitif jangka pendek yang dirasakan setelah konsumsi media sosial berlebihan.
Divide Digital Generasional: Siapa yang Paling Rentan?
Data demografis Meta menunjukkan bahwa fenomena konsumsi digital terkonsentrasi pada kelompok usia tertentu. Sementara generasi yang lebih muda mendominasi platform visual seperti TikTok dan Instagram, kelompok usia yang lebih tua cenderung menggunakan platform komunikasi seperti WhatsApp dengan intensitas lebih rendah.
Hal ini menciptakan divide (kesenjangan) generasional dalam konteks kerentanan terhadap brain rot. Para digital natives—mereka yang tumbuh dalam era digital—paradoksalnya justru paling berisiko mengalami dampak negatif, karena:
- Paparan lebih awal dan intens terhadap platform digital
- Belum matangnya mekanisme regulasi diri
- Kurangnya pengalaman era pre-digital sebagai pembanding
Fenomena ini mengingatkan pada ungkapan “seperti katak dalam air panas”—generasi yang tumbuh dalam ekosistem media sosial mungkin tidak menyadari perubahan gradual pada kapasitas kognitif mereka, hingga dampaknya menjadi signifikan.
Distraksi dan Disruption: Model Bisnis di Balik Brain Rot
Perlu dipahami bahwa fenomena brain rot bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari model bisnis platform digital. Dengan rata-rata 38 jam per bulan di TikTok, pengguna Indonesia telah menjadi “tambang emas perhatian” yang sangat menguntungkan bagi platform tersebut.
Ekonomi perhatian (attention economy) beroperasi berdasarkan prinsip sederhana: waktu yang kita habiskan di platform dimonetisasi melalui iklan. Semakin lama kita scroll, semakin banyak keuntungan yang dihasilkan. Tak heran jika algoritma dirancang untuk memaksimalkan engagement, bahkan jika itu berarti menciptakan konten yang semakin polarisasi, sensasional, atau superfisial.
Data demografis audiens iklan Meta menunjukkan bahwa segmen 25-34 tahun merupakan target primadona bagi pengiklan, dengan total 37,7% dari keseluruhan audiens. Segmen ini mewakili kombinasi ideal antara daya beli yang memadai dan keterlibatan digital yang intens—sebuah “jackpot” bagi ekosistem periklanan digital.
Apakah kita sudah menjadi komoditas tanpa sadar? Pertanyaan ini layak direnungkan, terutama mengingat besarnya porsi waktu yang kita “investasikan” dalam platform-platform tersebut.
Memitigasi Brain Rot: Strategi Kognitif di Era Digital
Meski data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, kita tidak perlu bersikap teknofobi atau mengesampingkan seluruh aspek positif media sosial. Yang diperlukan adalah pendekatan yang lebih sadar dan terukur dalam konsumsi digital.
Beberapa strategi mitigasi brain rot yang dapat dipertimbangkan:
- Digital Detox Berkala Praktikkan “puasa digital” secara teratur, misalnya dengan menetapkan satu hari dalam seminggu bebas dari media sosial. Seperti ungkapan “berjalan-jalan menyegarkan pikiran,” begitu pula jeda dari stimulus digital dapat memberikan ruang bagi otak untuk pulih.
- Implementasi Batasan Waktu Manfaatkan fitur pembatasan waktu yang tersedia di sebagian besar smartphone modern. Mengatur limit 30 menit per aplikasi dapat menciptakan kesadaran tentang seberapa cepat waktu terbuang dalam scrolling.
- Kurasi Feed yang Lebih Berkualitas Algoritma belajar dari perilaku kita. Dengan secara sadar berinteraksi dengan konten yang lebih substantif dan edukatif, kita dapat “melatih” algoritma untuk menyajikan konten yang lebih berkualitas.
- Kultivasi Aktivitas “Deep Work” Alokasikan waktu khusus untuk pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi mendalam tanpa gangguan. Kemampuan untuk fokus adalah otot mental yang dapat dilatih melalui praktik konsisten.
- Rekoneksi dengan Aktivitas Analog Reduksi konsumsi digital seharusnya bukan hanya tentang “tidak melakukan” sesuatu, tetapi juga tentang menggantinya dengan aktivitas bermakna lain—membaca buku fisik, menulis jurnal, berkebun, atau sekadar berbincang langsung dengan orang terdekat.
Seperti falsafah jawa “ngono yo ngono, ning ojo ngono” (begitu ya begitu, tapi jangan terlalu begitu), penggunaan media sosial perlu diposisikan secara proporsional dalam hidup kita—bermanfaat sebagai alat, bukan mendominasi sebagai tujuan.
Kesimpulan: Menavigasi Masa Depan Kognitif Indonesia
Data konsumsi media sosial Indonesia menghadirkan gambaran yang mengkhawatirkan sekaligus menantang. Di satu sisi, tingginya penetrasi digital menunjukkan keterbukaan masyarakat terhadap teknologi dan potensi besar untuk literasi digital. Di sisi lain, pola konsumsi yang berlebihan menciptakan kerentanan terhadap fenomena brain rot yang dapat berdampak jangka panjang pada kapasitas kognitif kolektif bangsa.
Sebagai masyarakat, kita berada di persimpangan kritis. Pilihan kita hari ini—baik sebagai individu maupun komunitas—akan menentukan bagaimana teknologi digital membentuk lanskap kognitif generasi mendatang. Apakah kita akan menjadi “zombi digital” yang terus-menerus lapar akan dopamin dari scrolling tanpa akhir, atau pengguna yang sadar dan selektif dalam memperkaya pikiran melalui interaksi digital?
Mungkin jawaban terbaik terletak pada keseimbangan—mengintegrasikan teknologi digital secara bermakna dalam kehidupan, tanpa membiarkannya mengikis kapasitas kognitif kita yang paling berharga. Karena pada akhirnya, seperti kata pepatah, “pikiran yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat”—dan dalam konteks era digital, pikiran yang sehat juga membutuhkan diet digital yang seimbang.
Referensi
DataReportal. (2024). Digital 2024: Indonesia. Diakses dari https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia?rq=indonesia