Teacher wellbeing memiliki berbagai manfaat positif diantaranya adalah dapat meningkatkan kualitas kehidupan kerja. Teacher wellbeing diambil dari konsep wellbeing didefinisikan sebagai evaluasi emosional guru terhadap pengalaman kehidupan yang berkaitan dengan kepuasan hidup, pemenuhan diri dan kebahagiaan (Diener et al., 2003, 2009). Teacher wellbeing memayungi berbagai konsep emosional dari perubahan suasana hati sampai penilaian global akan kepuasan hidup bahkan termasuk berbagai komponen stres sampai depresi (Diener, 1991; Diener et al., 2003). Teacher wellbeing terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi dimensi kognitif dan afektif. Kedua dimensi ini menjadi bagian dari keyakinan evaluatif tentang kehidupan guru (Oishi et al., 2012; Schimmack, 2001). Dimensi kognitif merujuk pada domain kepuasan yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, komunitas, kesehatan, keuangan, pekerjaan dan waktu luang (Tay & Diener, 2011). Sedangkan dimensi afektif lebih berkaitan dengan suasana hati dan emosi yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan (Lyubomirsky et al., 2005; Pavot et al., 2009). Teacher wellbeing perlu dieksplorasi karena berkaitan dengan tuntutan peningkatan profesionalisme, kinerja sekaligus peningkatan kesejahteraan yang saling berkaitan satu sama lain. Ketika guru merasa tidak wellbeing, maka akan lebih mudah memicu terjadinya stress yang memberikan dampak negatif pada kinerja, profesionalisme juga kesejahteraan dirinya (Setiasih & Jayanti, 2018). Kondisi psikologis guru terutama wellbeing akan berdampak pada peningkatan kinerja guru secara positif (Bakker & Oerlemans, 2011; Lyubomirsky et al., 2005; Wright et al., 2007; Wright & Cropanzano, 2000).Daftar PustakaBakker, A., & Oerlemans, W. G. M. (2011). Subjective well-being in organizations. January. https://doi.org/10.13140/2.1.1145.4723Diener, E. (1991). Subjective well-being. 0–8. https://doi.org/10.1016/j.socec.2009.12.001