Teori yang Mendasari Pembelajaran dengan Teknologi Digital
Teori yang Mendasari Pembelajaran dengan Teknologi Digital
Ubaidah, S.Pd., M.Pd
Pada era sekarang ini, teknologi tidak dapat diabaikan dan tidak dapat dijadikan pilihan. Nyatanya, teknologi telah merambah di segala sektor kehidupan. Dalam aspek pendidikan, peranan teknologi yang saat ini begitu terasa adalah beralihnya sistem pembelajaran konvensional menjadi sistem pembelajaran digital. Meskipun perkembangan teknologi merupakan hal yang pesat dalam kehidupan, kedudukannya dalam dunia pendidikan serta peranannya masih terpengaruh dengan teori-teori dalam pendidikan, seperti teori-teori pembelajaran.
Belajar, menurut Merriam, Caffarella, dan Baumgartner (2007, p. 277) adalah “suatu proses yang menyatukan pengaruh dan pengalaman kognitif, emosional dan lingkungan untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan pada pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pandangan seseorang”. Darling Hammond, Autin, Orcutt, dan Rosso (2001) mengkategorikan lingkup pembelajaran sebagai berikut:
- Otak berperan dalam pembelajaran: Otak berfungsi untuk memproses stimulus eksternal. Otak berperan sebagai pengelola informasi yang diperoleh baik secara visual, aural, visual, maupun taktil.
- Lingkungan belajar: Lingkungan belajar menjadi sarana pembentuk stimulus atau rangsangan. Oleh karena itu lingkungan yang relevan dengan konteks pembelajaran akan membuat individu semakin berkembang.
- Pembelajaran didasarkan asosiasi: adanya keterkaitan atau hubungan informasi baru dengan apa yang sudah dimiliki sebelumnya.
- Pembelajaran terkadi dalam konteks sosial dan budaya: budaya menjadi unsur luar namun melekat dalam diri peserta didik, dimana budaya ini mempengaruhi tata cara belajar, bersikap, bahkan berkomunikasi peserta didik di dalam kelas.
Teori belajar adalah penjelasan tentang apa yang terjadi ketika pembelajaran berlangsung dan apa yang mempengaruhi perkembangannya (Strong & Hutchins, 2009). Ini menghubungkan perubahan kinerja yang dapat diamati dengan apa yang dianggap telah membawa perubahan (Driscoll, 2000).
Strong dan Hutchins (2009) mengutip Hills (2002) menegaskan bahwa nilai teori pembelajaran ada dua: mereka menyediakan (a) kerangka konseptual untuk menafsirkan apa yang kita amati dan (b) posisi untuk menemukan solusi. Dalam pendidikan, teori pembelajaran penting untuk menginformasikan pengajaran yang efektif (Driscoll, 2000) dan terkait erat dengan teori instruksional yang berfokus pada cara efektif penataan pengajaran untuk memfasilitasi pembelajaran (Dunaway, 2011).
Dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam desain instruksional, Ellis dan Goodyear (2010) menyatakan bahwa instruktur yang memiliki pemahaman tentang bagaimana siswa belajar lebih mampu membuat pilihan berdasarkan informasi sehubungan dengan jenis teknologi yang akan digunakan dan integrasinya ke dalam kurikulum. Kebutuhan untuk mengadopsi teori belajar untuk desain pedagogis yang baik dijabarkan lebih lanjut oleh Mayes dan de Freitas (2013) yang mengemukakan bahwa perlu adanya pedoman tentang bagaimana menilai apakah proses belajar dan mengajar akan benar-benar mencapai hasil belajar yang diinginkan. Mereka menunjukkan bahwa hasil yang diinginkan pertama-tama harus didefinisikan, diikuti oleh pedagogi yang dipandu oleh teori belajar dan asumsi yang mendasarinya dalam pemilihan kegiatan yang memungkinkan siswa mencapai hasil belajar.
Otak memiliki struktur tiga serangkai: (a) otak bagian bawah, (b) limbik tengah dan (c) neokorteks atau otak berpikir. Teori otak kiri dan otak kanan menyebutkan bahwa otak kiri dikategorikan sebagai logis, analitis, objektif, berorientasi matematis dan mampu memproses bahasa. Sedangkan otak kanan dikategorikan sebagai artistik, kreatif, subjektif dan mampu mengolah bentuk dan pola. Oleh karena itu, agar siswa memaksimalkan pembelajaran mereka sesuai dengan preferensi otak kiri/otak kanan mereka, guru disarankan untuk memastikan bahwa pembelajaran yang diberikan dapat menyeimbangkan penggunaan dari otak kiri dan otak kanan.
Tiga bagian otak tidak beroperasi secara independen satu sama lain. Mereka telah membentuk interkoneksi yangmempengaruhi. Selama belajar, sementara otak bagian bawah sibuk menjalankan fungsi otomatis tubuh untuk bertahan hidup, otak limbik membuat hubungan emosional dengan pengalaman sebelumnya dan menciptakan memori dan respons emosional lainnya. Semakin dirangsang dan terhubung ketiga wilayah otak, semakin besar kapasitas untuk belajar.
Implikasi dari teori pembelajaran berbasis otak dalam pembelajaran yang didukung teknologi adalah bahwa untuk dapat menerima pembelajaran, lingkungan belajar harus tidak mengancam. Jika tidak, akan terjadi pergeseran dari otak berpikir ke otak limbik dan jika situasi dianggap mengancam, misalnya diintimidasi, dihina atau tidak berprestasi, siswa dapat kembali ke otak primitif, naluriah, yang diwujudkan dalam perilaku negatif seperti tidak fokus dalam belajar, tidak memperhatikan, menunjukkan minat yang kurang, dan bahkan tidak termotivasi. Demikian pula, jika tugas secara teknis atau kognitif terlalu sulit, dapat menyebabkan frustrasi dan kurangnya motivasi.
Pendidik berperan untuk mengurangi beban kognitif siswa, hal ini dapat digunakan dengan menggunakan jenis teknologi digital. Untuk memaksimalkan kapasitas ketiga otak untuk belajar, guru harus (a) menciptakan lingkungan belajar yang aman bagi siswanya; (b) merangsang otak limbik untuk menciptakan kesadaran emosional seperti menciptakan asosiasi yang akrab dengan pengalaman melalui cerita dan diskusi; dan (c) merangsang baik hemisfer kiri dan kanan neokorteks dengan aktivitas yang memerlukan analisis (penguraian) dan sintesis (peningkatan).
Teori behaviorisme berfokus pada studi tentang perilaku terbuka yang dapat diamati dan diukur. Teori ini berfokus pada pengaruh pengkondisian seperti pengkondisian operan, di mana penguatan perilaku stimulus-respons mengkondisikan individu untuk merespons. Penguatan adalah segala sesuatu yang memperkuat respons yang diinginkan, misalnya pujian, penghargaan atau nilai yang baik. Teori ini berfokus pada pola perilaku baru yang diulang-ulang hingga menjadi otomatis.
Konstruktivisme dan Sosial-Konstriktivisme
- Teori Kontruktivisme Piaget
Konstruktivisme Piaget (1955, 1972) juga dikenal sebagai konstruktivisme pribadi, yang menekankan mengenai individu dan konstruksi pengetahuan. Teori kognitif Piaget bercirikan pada pembentukan konsep pada seorang individu yang mengikuti serangkaian tahapan yang didefinisikan dengan jelas yang harus dialami oleh individu tersebut. Tahapan ini menggambarkan tahapan perkembangan intelektual yang normal, dari bayi hingga dewasa. Tahapan tersebut meliputi proses berpikir, penilaian, dan konstruksi pengetahuan. Empat tahap perkembangan kognitif (atau intelektual) adalah:
- Sensorimotor (Usia lahir-2). Pembelajaran ini ditandai dengan eksplorasi melalui kontak sensorik dan motorik langsung anak.
- Praoperasional (Usia 2-7). Pada tahap ini, anak mampu berpikir tentang hal-hal secara simbolis dan menggunakan bahasa, tetapi tidak dapat mengadopsi sudut pandang alternatif atau berpikir dari sudut pandang orang lain (karenanya ditandai dengan pemikiran egosentris).
- Operasional konkret (Usia 7-12). Anak mampu menunjukkan penalaran yang logis, konkrit dan mengadopsi sudut pandang alternatif (karenanya kurang egosentris).
- Operasional Formal (Usia 12-dewasa). Anak mampu berpikir logis dan abstrak, seperti konsep matematika.
- Teori Konstruktivisme Bruner
Teori Bruner (1960, 1966) mengusulkan bahwa anak-anak mengembangkan pengetahuan melalui tiga tahap yang didasarkan pada interaksi tiga model berbeda. Tiga model tersebut yakni, Aktif/Enactive (berbasis tindakan), ikonik (berbasis gambar) dan simbolis (berbasis bahasa). Setiap tahap perkembangan kognitif dicirikan oleh cara yang berbeda dalam menginternalisasi representasi lingkungan eksternal. Bruner memandang setiap model sebagai dominan pada waktu yang berbeda selama perkembangan anak, belajar pada dasarnya diwakili oleh kombinasi mode ini, yaitu, anak tidak meninggalkan tahap saat ini dan pindah ke tahap baru yang ditandai dengan cara baru untuk belajar. Usia tidak boleh menjadi penghalang untuk belajar selama pengajaran diatur dengan tepat sesuai dengan tahapan ini. Bruner sering dikategorikan dengan mengkonseptualisasikan gagasan tentang pembelajaran penemuan.
Teknologi digital dengan kemampuan multimodalnya berguna untuk memperkuat tahapan ikonik dan simbolis dari kerangka pembelajaran Bruner. Implikasinya adalah bahwa anak-anak yang sangat kecil yang mengembangkan pembelajaran dalam mode enactive mungkin tidak perlu banyak menggunakan teknologi tetapi untuk memfokuskan pembelajaran pada tindakan melalui manipulasi objek-objek konkret
- Teori Sosial-Konstruktivisme Vygotsky
Konstruktivisme sosial Vygotsky (1962, 1978) membuat pernyataan serupa dengan konstruktivisme kognitif Piaget sehubungan dengan keterlibatan aktif pelajar dalam belajar. Teorinya, bagaimanapun, lebih menekankan pada konteks sosial pembelajaran dan khususnya pada peran “agen mediasi” seperti guru. Menurut Vygotsky (1978, hal. 57), Setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak muncul dua kali: pertama, pada tingkat sosial, dan kemudian, pada tingkat individu; pertama, antara manusia (interpsikologis) dan kemudian di dalam diri anak (intrapsikologis). Ini berlaku sama untuk perhatian sukarela, memori logis, dan pembentukan konsep. Semua fungsi yang lebih tinggi berasal dari hubungan yang sebenarnya antara individu manusia.
Teori Vygotsky mengusulkan bahwa pembelajaran terjadi di Zona Perkembangan Proksimal. Modelnya memiliki dua tingkat perkembangan:
- Tingkat pengetahuan yang telah dicapai dan dikembangkan. Ini adalah tingkat di mana pembelajar mengetahui pengetahuan termasuk mampu memecahkan beberapa masalah secara mandiri.
- Tingkat pengembangan potensi. Pada zona Perkembangan Proksimal, terdapat peran mediasi “orang lain” dalam membantu pengembangan pembelajaran individu menjadi penting. Ini adalah titik di mana pembelajaran berlangsung dan di mana pelajar mampu mengembangkan pengetahuan lebih lanjut dalam suatu topik dan mengembangkan keterampilan yang lebih maju di bawah bimbingan guru atau bekerja sama dengan rekan-rekan. Oleh karena itu, Zona Perkembangan Proksimal mencakup struktur kognitif yang masih dalam proses “dewasa” dan berkembang sepenuhnya melalui interaksi sosial dengan individu lain. Inti dari pandangan konstruktivisme dan sosial-konstruktivisme adalah keyakinan bahwa pelajar aktif dalam menyusun bagaimana pengetahuan baru diambil dan dibentuk.
Konstruksionisme terkait dengan konstruktivisme dalam pembelajaran aktif siswa dan belajar sambil melakukan, yang semuanya mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman siswa sebelumnya. Ini berbeda dari konstruktivisme dalam hal itu adalah metode dalam pendidikan yang berfokus tidak hanya pada konstruksi mental pengetahuan tetapi juga konstruksi fisik produk nyata atau artefak. Dalam bukunya “Konstruksionisme”, Harel dan Papert (1991) berpendapat bahwa siswa lebih termotivasi dan menjadi lebih terlibat dengan pembelajaran. Ada tingkatan pergeseran dalam konstruksionisme, dari konstruksi fisik ke konstruksi mental. Dalam bukunya “Mindstorms” dan “The Children’s Machine: Rethinking School in the Age of the Computer”, Seymour Papert (1980, 1993 masing-masing) menghubungkan konstruktivisme dengan teknologi.
Kognitivisme adalah kerangka teoritis untuk memahami bagaimana pikiran bekerja. Ini adalah studi psikologi yang berfokus pada proses mental yang berada di balik perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang diamati digunakan untuk menginformasikan apa yang terjadi di dalam pikiran pelajar. Kognitivisme tumbuh dari ketidakpuasan yang dihasilkan dari ketidakmampuan teori belajar behaviorisme untuk menjelaskan aspek kognitif belajar. As Good and Brophy (1990, p. 187) menyatakan: Ahli teori kognitif mengakui bahwa banyak pembelajaran melibatkan asosiasi yang dibentuk melalui kedekatan dan pengulangan. Meskipun ada perbedaan besar antara behaviorisme dan kognitivisme, ada hubungan yang lebih baik antara konstruktivisme kognitif Piaget dan kognitivisme di mana kedua teori berusaha untuk memahami konstruksi pengetahuan. Pentingnya pengetahuan sebelumnya dalam konstruksi pengetahuan serupa di kedua teori. Penelitian kognitivis menyelidiki bagaimana pikiran menerima, mengatur, menyimpan, dan mengambil informasi. Kognitivisme dikaitkan dengan skema dan teori pemrosesan informasi. Model kognitif manusia dalam pemrosesan informasi, menurut Moreno dan Mayer (2000) memiliki tiga komponen: memori sensorik, memori kerja dan memori jangka panjang. Stimulus eksternal dan informasi yang dideteksi oleh mata (visual) dan telinga (audio) mengalir melalui saluran sensorik ke memori kerja, di mana informasi tersebut diproses, dikodekan dan disimpan dalam bentuk skema dalam memori jangka panjang (lihat Gambar. 4.3). Karya Baddeley (1986), Paivio (1986) dan Mayer (1997) menunjukkan bahwa ada dua jenis memori sensorik yang mendeteksi informasi visual dan audio dan bahwa informasi tersebut diproses dalam saluran sensorik yang terpisah dalam memori kerja.
Penelitian telah menunjukkan bahwa memori kerja (juga dikenal sebagai memori jangka pendek) otak hanya dapat memproses sejumlah elemen selama pembelajaran (Miller, 1956). Menurut Miller (1956), batas kapasitas adalah tujuh elemen, yang disebut chunks, yang dapat disimpan selama sekitar 20 detik sebelum informasi hilang (Sweller, 2009). Unsur-unsur tersebut dapat berupa angka, huruf, kata, kalimat atau satuan lainnya. Apa yang telah dibaca disimpan dalam memori jangka panjang sehingga dapat ditarik melalui struktur pengambilan untuk membuat koneksi yang diperlukan (Ericsson & Kintsch, 1995) saat membaca berlangsung. Teori beban kognitif (Sweller, 1988, 2005) menyatakan bahwa ada tiga jenis beban kognitif:
- Beban kognitif intrinsik: Ini adalah tingkat kesulitan yang melekat yang terkait dengan kompleksitas elemen-elemen yang berinteraksi dari bahan ajar yang harus diproses secara bersamaan dalam memori kerja.
- Beban kognitif asing: bagaimana pendidik menyajikan materi pembelajaran kepada siswa dan beban yang ditimbulkan oleh desain bahan ajar yang buruk, menghambat pemahaman siswa. Materi pembelajaran yang dirancang dengan baik akan mengurangi beban kognitif asing dan meningkatkan kapasitas memori kerja.
- Beban kognitif Germane: beban yang dibebankan oleh bahan ajar itulah yang mendorong terjadinya proses belajar, misalnya bahan ajar motivasional. Pedagogi yang baik berarti bahwa guru merancang bahan ajar untuk mengurangi beban asing dan meningkatkan beban erat.
Diusulkan oleh Geroge Siemens (2004) dan didukung serta dielaborasi oleh Stephen Downes (2005), konektivisme adalah teori yang muncul untuk memahami pembelajaran di era digital. Ini adalah teori yang relatif baru tetapi literatur tentangnya telah berkembang secara substansial dalam 5 tahun terakhir. Dalam membentuk atau mengkonstruksi suatu pengetahuan, siswa tidak dapat melakukannya sendiri tetapi harus berinteraksi dengan pengetahuan orang lain, apakah dalam bentuk’dalam jaringan’ (daring, online) atau luar jaringan (luring, offline). Downes (2008) dalam penjelasannya tentang teori konektivisme menyebutkan bahwa belajar akan menjadi efektif apabila didukung empat jenis kegiatan, yaitu; Agregasi, Relasi, Kreasi, Sharing.
Agregasi, mengakses dan pengumpulan sumber informasi yang beragam dan luas untuk dibaca, dimainkan atau dilihat, misalnya artikel dari website atau program video dari YouTube.
Relasi, setelah membaca atau melihat suatu tayangan, pembelajar melakukan refleksi terhadap informasi yang diperoleh, dihubungkan dengan pengetahuan yang dimiliki atau pengalaman sebelumnya.
Kreasi, setelah proses refleksi dan analisis untuk menangkap makna (sense-making) dilakukan, pembelajar melakukan bookmarking (menandai) laman-laman internet tertentu yang ditemukan dan digunakan, seperti di yahoo, YouTube, Goggle, dan sebagainya.
Sharing (berbagi informasi), pembelajar dapat berbagi informasi yang dimiliki dengan orang lain melalui jaringan. Dalam hal ini siswa dapat menggunakan blog, media sosial onlinedan sebagainya. Kemahiran berkomunikasi menggunakan internet ini merupakan keterampilan dasar dan penting, di samping kemampuan berpikir kritis dan analitis.
Teori Belajar dan Pembelajaran yang Didukung Teknologi
CSCL (computer support collaborative learning) menganut prinsip-prinsip sosial-konstruktivis, pembelajaran terletak dan teori pembelajaran kognitivis, menekankan bahwa pengetahuan adalah hasil dari peserta didik berinteraksi satu sama lain, berbagi pengetahuan, dan membangun pengetahuan secara individu dan sebagai kelompok (Resta & Laferrière, 2007). Computer Support Collaborative Learning (CSCL) merupakan bagian dari fungsi pembelajaran dengan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Model pembelajaran CSCL merupakan kombinasi model pembelajaran kooperatif dan penggunaan komputer serta internet sebagai media dalam pembelajarannya. Dengan teknologi yang semakin canggih, individu-individu yang berada pada lokasi yang berjauhan memungkinkan untuk berkolaborasi secara daring. Penggunaan model pembelajaran ini dapat dimanfaatkan oleh guru secara efektif, meski merupakan sesuatu hal baru yang mungkin masih banyak kendalanya. Namun diyakini pada masa mendatang model pembelajaran jarak jauh ini akan berkembang dengan pesat seiring perkembangan teknologi dan perkembangan metode pembelajaran.