Implementasi Teori Gestalt dalam Pembelajaran

(Max Wertheimer, Wolfgang Köhler dan Kurt Koffka)

 

Gestalt dalam bahasa Jerman disebut “whole configuration” yang kira-kira mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Menurut Riyanto, H. Y. (2014) Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Teori ini dipelopori oleh seorang berkebangsaan Jerman yang bernama Max Wertheimer kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh berikutnya seperti, Kurt Koffka, dan Wolfgang Köhler (Nana Sudjana, 1990). Max Wertheimer (1880-1943) sebagai perintisnya memulai eksperimennya tentang pengamatan atau persepsi dan problem solving. Kurt Koffka, (1886-1941) memperkuatnya dengan merumuskan hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Köhler (1887-1959) meneliti tentang insight pada simpanse (Soemanto, W., 2009). Mereka berkesimpulan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.

Teori gestalt berpandangan bahwa pembelajaran merupakan suatu fenomena kognitif yang melibatkan persepsi terhadap suatu benda, orang, peristiwa dalam cara yang berbeda-beda (Surya, M. S., 2003). Oleh karena itu, siswa dalam pandangan teori gestalt diharapkan mampu untuk menangkap makna hubungan antar yang satu dengan yang lainnya. Pemahaman makna dari hubungan inilah yang disebut memahami, mengerti atau insight. Menurut Riyanto, H. Y. (2014) pemahaman gestalt merupakan kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan, terutama antara hubungan antara bagian dan keseluruhan. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indra-indra seperti mata dan telinga (Surya, M. S., 2003).

Menurut aliran teori belajar gestalt ini bahwa seseorang dikatakan belajar jika mendapatkan insight. Hal tersebut diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Dengan adanya insight maka didapatlah pemecahan masalah, dan hal inilah yang disebut sebagai inti dari belajar. Jadi yang penting bukanlah mengulang-ulang hal yang harus dipelajari, tetapi mengertinya, dan mendapatkan insight. Adapun timbulnya insight itu tergantung pada: Pertama, kesanggupan yaitu kemampuan intelegensi individu. Kedua, Pengalaman yaitu belajar adalah proses mendapatkan pengalaman dan pengalaman itu mempermudah timbulnya insight. Ketiga, taraf kompleksitas yaitu semakin kompleks situasinya maka semakin sulit masalah yang dihadapi. Keempat, Latihan yaitu banyaknya latihan akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight. Kelima, Trial and error yaitu setelah mengadakan percobaan berulang kali maka seseorang itu dapat menemukan hubungan dari berbagai unsur di dalam sebuah masalah, sehingga akhirnya menemukan insight. Jadi, menurut gestaltis, problem menjadi stimulus sampai problem itu didapatkan pemecahannya (Suwarno, W., 2006)

Menurut Akhmad Sudrajat (2008) ada beberapa aplikasi teori gestalt dalam proses pembelajaran yaitu:

  1. Pengalaman tilikan (insight)

Setelah berhasil dengan eksperimennya Kohler menyatakan bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.

  1. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning)

Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.

  1. Perilaku bertujuan (purposive behavior)

Edward Tolman salah satu tokoh yang mengembangkan teori gestalt mengatakan bahwa pada hakikatnya perilaku itu terarah pada suatu tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.

  1. Prinsip ruang hidup (life space)

Konsep ini di kembangkan oleh kurt lewwin dalam teori medan (field theory) yang menyatakan bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik atau yang biasa disebut dengan kontekstual.

  1. Transfer dalam pembelajaran

Maksud dari transfer dalam pembelajaran adalah pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

Teori Gestalt atau Field Theory mempunyai tujuan yang jelas dan luas. Yakni bukan hanya memberikan pengetahuan tapi, juga proses menghadapi dan memecahkan masalah, pengembangan pribadi, dalam menentukan bahan pelajaran dipertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan masyarakat anak dan bahan dari berbagai mata pelajaran. Kurikulum meliputi perkembangan sosial, emosional, dan intelektual. Belajar dalam Gestalt dimulai dari sesuatu yang familiar dan setiap langkah dalam pendidikan di dasarkan pada hal-hal yang sudah dikuasai. Guru yang berorientasi Gestalt akan banyak menggunakan metode ceramah untuk menjaga interaksi antara guru dan murid, memorisasi fakta tanpa pemahaman akan dihindari. Ketika mereka faham prinsip dibalik pengalaman belajar, maka tidak hanya akan diingat, tapi diaplikasikan kedalam situasi yang baru dan mempertahankannya.

Daftar Pustaka

Nana Sudjana. (1990). Teori-teori belajar untuk Pengajaran. Jakarta: FEUI.

Riyanto, H. Y. (2014). Paradigma Baru pembelajaran: Sebagai referensi bagi pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan berkualitas. Jakarta: Prenada Media.

Soemanto, W. (2009). Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudrajat, A. (2008). Teori-teori Motivasi. Tersedia juga dalam http://akhmadsudrajat. wordpress. com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/ [diakses di Bandung: 9 Oktober 2012].

Surya, M. S. (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.

Suwarno, W. (2006). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz.