A. Konsep Teori Belajar Humanisme

Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment).  Pada kenyataannya, konsep motivasi belajar dan penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1977).

Pada Pendidikan modern penganut teori konstruktivisme memperluas fokus pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Albert Bandura dengan Vygotsky. Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001.  Pada model ini, “siswa tidak hanya mengikuti pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan mereka membentuk dirinya (Santrock, 2008).” Pada perkembangannya munculah istilah Teori Belajar Sosial. Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya (observation) terhadap perilaku orang lain (Santrock, 2008).

Meskipun Classical dan Operant Conditioning dalam hal-hal tertentu masih merupakan tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui aktivitas observasi (Santrock, 2008).  Belajar melalui pengamatan berbeda dari Classical dan Operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimulus, penguatan, maupun hukuman. Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.

Baik anak-anak maupun orang dewasa, belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi (peniruan). Hal ini terlihat misalnya ketika anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, dan banyak perilaku lain dengan cara mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa lainnya. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian menirukan.  Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada yaitu Albert Bandura (dalam Ahmad, 2012), menyatakan bahwa belajar melalui pengamatan merupakan tipe belajar yang memainkan peran penting dalam  perkembangan  kepribadian anak.

  1. Pandangan Albert Bandura Terhadap Teori Humanisme

Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura, Teori belajar sosial sering disebut sebagai jembatan antara teori behavioristik dan kognitivistik karena meliputi perhatian, memori, dan motivasi (Bandura, A., 1977). Teori belajar sosial menjelaskan bahwa perilaku manusia mempunyai interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional melalui pemodelan yaitu dari mengamati orang lain. Kemudian hasilnya berfungsi sebagai panduan untuk bertindak. Berbeda dengan teori perkembangan anak lainnya, Albert Bandura menganggap setiap anak tetap bisa belajar hal baru meski tidak melakukannya secara langsung. Syaratnya, anak sudah pernah melihat orang lain melakukannya, terlepas apapun medianya (Bandura, A., 1977). Di sinilah peran elemen sosial, bahwa seseorang bisa belajar informasi dan perilaku baru dengan melihat orang lain melakukannya.

Teori Social Learning dapat menjadi jawaban atas celah dari teori-teori belajar lainnya. pada teori ini, terdapat 3 konsep yang menjadi dasar (Santrock, 2008), yaitu:

  1. Manusia bisa belajar lewat observasi
  2. Kondisi mental berperan penting dalam proses pembelajaran
  3. Belajar sesuatu tidak menjamin perubahan perilaku

Menurut Albert Bandura (dalam Ahmad, 2012), sebagian besar perilaku manusia dipelajari secara observatif lewat modeling, sehingga dengan melihat bagaimana orang lain berperilaku, maka akan muncul konsep baru yang dipercaya menjadi cara bertindak yang tepat. Berikut ini cara agar teori sosial dapat berjalan efektif pada pembelajaran yaitu:

  1. Perhatian

Anak harus memberikan atensi atau perhatian. Apapun yang mengalihkan perhatian akan berdampak buruk pada proses pembelajaran sosial.

  1. Retensi

Kemampuan untuk menyimpan informasi juga penting. Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap hal ini, utamanya adalah kemampuan untuk menyerap hal-hal baru.

  1. Reproduksi

Setelah memberikan perhatian kemudian menyimpannya, tiba saatnya untuk melakukan tindakan yang telah dipelajari. Inilah peran penting dari latihan, sehingga perilaku akan semakin terasah.

  1. Motivasi

Tahap terakhir untuk memastikan proses belajar berlangsung lancar adalah motivasi untuk meniru perilaku yang telah dilihat. Konsep pemberian hadiah atau hukuman bisa menjadi cara menggali motivasi. Contohnya ketika melihat teman sebaya mendapat hadiah saat tiba di kelas tepat waktu. Atau sebaliknya, melihat teman dihukum karena terlambat masuk kelas.

Albert Bandura percaya pada “determinisme timbal balik”, yaitu lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan, sedangkan behaviorisme dasarnya menyatakan bahwa lingkungan seseorang menyebabkan perilaku seseorang (Santrock, 2008). Teori ini terkait dengan Social Development Theory and Lave’s Vygotsky dimana ketika melakukan proses pembelajaran secara tidak langsung juga menekankan tentang pentingnya pembelajaran sosial.

  1. Pandangan Lev Vygotsky Terhadap Teori Humanisme

Menurut Vygotsky, perkembangan budaya (cultural development) seorang muncul dua kali, pertama pada tingkat sosial yaitu interaksi antara seseorang dengan orang lain, dan kedua pada tingkat individual yang terjadi dalam diri seseorang itu sendiri (Santrock, 2008).  Kedua proses ini terjadi pada perhatian sukarela, memori logis, dan formasi konsep-konsep.  Dengan demikian, semua fungsi pada tingkat yang lebih tinggi merupakan hubungan aktual antar individu.

Gagasan penting lainnya dari Vygotsky adalah bahwa potensi perkembangan kognitif dan pembelajaran seseorang tergantung dari transisi lintas ZPD (zone of potential development).  ZPD adalah zona pemahaman atau perkembangan kognitif yang dekat, setelah itu ke tingkat pemahaman selanjutnya pada diri pembelajar (Santrock, 2008).  Apabila seorang pembelajar sudah mengalami kemajuan, mereka harus dibantu untuk bergerak menuju zona ini dan kemudian setelah itu ke tingkat yang baru yang lebih tinggi.  Pada pandangan Vygotsky, ZPD adalah tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah, di bawah bimbingan atau kerjasama dengan orang dewasa dan dengan teman sejawat yang memiliki kemampuan (Santrock, 2008).

Inti teori sosial Vygotsky adalah menekankan pada interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial.

Teori Vygotsky yang lain adalah “Scaffolding“ yaitu dapat dianaogikan Ketika guru atau orang tua memberikan sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru berikan dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, serta menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky (dalam Ahmad, 2012) menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya. Pertama, menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky merupakan salah satu bentuk teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep dan pemecahan masalah

Menurut Vygotsky (dalam Santrock, 2008) anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.

Namun, anak-anak tidak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berpikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (dalam Ahmad 2012) secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky yaitu:

  1. Membantu memecahkan masalah

Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.

  1. Memudahkan dalam melakukan tindakan

Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.

  1. Memperluas kemampuan

Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di sekitarnya.

  1. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.

Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.

Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi

Daftar Pustaka

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. New York: General Learning Press.

Social Development Theory (Vygotsky)

Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kencana.

Sohandji, Ahmad.  2012. Manusia, Teknologi, Dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru.  Malang: Universitas Negeri Malang. (hal. 23-24).