Masa kanak-kanak sering diidentikkan dengan dunia permainan, sebuah tahapan yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. Melalui kegiatan bermain, proses sosialisasi akan terbentuk sejak dini. Karena dalam kegiatan bermain, anak-anak belajar mengenali nilai-nilai budaya dan norma sosial yang tercermin dalam setiap kegiatan, aturan yang diperlukan sebagai panduan untuk interaksi sosial oleh peran sosial yang nantinya akan mereka lakukan. Melalui kegiatan bermain, anak-anak dapat membentuk pola pikir dan kepribadian mereka (Ni Nyoman, 2011). Setiap anak adalah unik, mereka mengekspresikan perilaku yang relatif spontan, aktif dan energik, egosentris, rasa ingin tahu yang kuat, bergairah tentang banyak hal, eksploratif dan suka bertualang, dan kaya akan fantasi. Masa kanak-kanak adalah periode pembelajaran yang potensial. Banyak permainan telah diterapkan oleh pendidik dalam penerapan proses belajar anak-anak di Sekolah Dasar. Menurut Anik Lestaningrum (2016) permainan mengacu pada pengembangan enam aspek (6 aspek), yaitu nilai-nilai agama dan moral, sosial-emosional, kognitif, bahasa, motor fisik, dan seni.

Permainan tradisional atau biasa disebut “dolanan anak” adalah salah satu aset budaya Nasional yang harus dilestarikan (Ernawati, 2006). Tujuan pelestarian adalah untuk menjaga permainan tradisional agar tetap hidup, dan akan lebih baik lagi jika permainan tradisional dapat berkembang. Ini berarti bahwa permainan tradisional akan tetap hidup di masyarakat sebagai warisan turun-temurun yang merupakan syarat dari nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, serta upaya membuat permainan itu tidak statis, tetapi dapat berkembang sesuai perkembangan zaman. Hilangnya permainan tradisional selain pengaruh globalisasi, juga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor sejarah, faktor kebijakan dalam pendidikan formal, faktor hilangnya infrastruktur, dan urgensi permainan tradisional dengan permainan yang lebih modern (Haryono, 2014). Anak-anak saat ini lebih akrab dengan permainan modern karena mereka lebih menarik dan menantang. Meskipun permainan modern dapat merangsang kemampuan kognitif anak-anak, pergeseran tradisional ke modern ini perlu ditakuti karena dewasa ini permainan dapat menumbuhkan sikap individualis dan apatis anak-anak. Sementara pendidikan tidak hanya memprioritaskan kognitif atau akademik tetapi dalam pendidikan, itu juga diharapkan untuk dapat menerapkan sikap tentang nilai-nilai keanekaragaman, toleransi dalam memahami dan menghormati keberadaan beragam budaya budaya, agama dan keragaman Bahasa.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan beragam budaya, ras, bahasa, dan agama. Dalam kehidupan, manusia tidak bisa bersih dari perbedaan yang ada, baik antar individu maupun antar kelompok sosial. Sejak usia dini, seorang anak harus berani dan mampu menghadapi perbedaan dalam kehidupan sosial di masyarakat. Modal anak untuk mengatasi perbedaan ini adalah keterampilan kehidupan sosial (Lawhon, 2000). Kecakapan hidup sosial, sebagai bagian dari ketrampilan hidup adalah modal dasar untuk berinteraksi. Kemampuan untuk bekerja sama dengan pemahaman, empati dan kemampuan untuk berkomunikasi dalam dua arah adalah bagian dari keterampilan kehidupan sosial yang dibutuhkan oleh seseorang dalam membangun hubungan yang harmonis.

Oleh karena itu, pendidikan adalah hal utama dalam menyampaikan nilai-nilai ini, terutama jika dimulai dari usia Sekolah Dasar, diharapkan dapat lebih bermakna bagi anak-anak dalam menanamkan nilai keanekaragaman. Konsep keanekaragaman ini disebut sebagai pendidikan berbasis multikultural.

Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia, penting bagi semua siswa menembus semua aspek sistem pendidikan, mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan siswa bekerja untuk keadilan sosial (Anik Lestaningrum, 2016). Lihatlah realitas pemikiran tentang pentingnya pendidikan multikultural, terutama bagi generasi baru atau generasi usia Sekolah Dasar. Maka konsep multikultural tidak disamakan dengan konsep keanekaragaman etnis atau budaya etnis yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikultural menekankan budaya dalam kesetaraan. Permainan tradisional mencoba untuk meningkatkan kesetaraan budaya untuk permainan tradisional di setiap daerah meskipun mereka memiliki nama yang berbeda, tetapi makna dan prosedur permainan adalah salah satu dari konsep-konsep yang memiliki kesamaan disesuaikan untuk mencerminkan budaya dan keragaman lokal.

Permainan tradisional juga merupakan alternatif bagi pendidik dalam strategi pembelajaran kreatif yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar anak-anak di Sekolah Dasar. Implementasi pendidikan harus untuk mengatur pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, bakat, minat mereka. Permainan tradisional adalah salah satu aset budaya yang memiliki karakteristik budaya suatu bangsa sehingga pendidikan multikultural dapat dibentuk melalui permainan tradisional sejak usia dini. Bila dilihat dari berbagai uraian di atas konsep penerapan permainan tradisional merupakan upaya memunculkan konsep multikulturalisme pada anak-anak Sekolah Dasar, muncul kembali permainan tradisional yang ada di lingkungan tempat anak-anak tinggal dan mengeksplorasi manfaat serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Menurut Parekh (2010) mengemukakan bahwa pendidikan multikultural bukanlah doktrin politik pragmatis, melainkan cara memandang kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa esensi dasar multikulturalisme adalah saling pengertian, yaitu saling pengertian di antara sesama manusia. Proses untuk membangun pemahaman dapat dimulai dari penciptaan keterpaduan sosial dan inklusi dalam bentuk transfer pengetahuan. Selain itu dapat untuk membangun komunikasi yang efektif antara individu dan kelompok dengan latar belakang yang berbeda melalui kegiatan atau aktifitas dalam permainan tradisional. Karena itu, permainan tradisional penting sebagai wahana untuk menanamkan nilai-nilai multikultural yang terkandung di dalamnya. Menurut Murtiningsih, RR., (2012) pendidikan multikultural dapat ditempuh melalui saluran informal, proses memperoleh pengalaman sosial dan interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang seperti kegiatan dan kegiatan untuk anak-anak.

Permainan tradisional adalah salah satu unsur budaya Nasional yang tersebar luas di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Permainan tradisional sebagian besar dikelompokkan, yang dimainkan oleh setidaknya minimal dua anak atau lebih, menggunakan alat-alat permainan yang relatif sederhana dan mudah ditemukan, dan mencerminkan kepribadian bangsa itu sendiri. Permainan tradisional adalah hasil penggalian dari budaya kita sendiri (Eka Saputra, 2017).

Jika kita pelajari lebih dalam, bahwa permainan tradisional mengandung banyak unsur nilai budaya yang identik dengan pendidikan multikultural. Bentuk-bentuk nilai budaya yang terkandung dalam permainan tradisional seringkali tidak terpikirkan oleh kita, tetapi, ketika kita mengamati dan merasakan, ternyata dalam permainan tradisional ada banyak elemen nilai-nilai budaya yang umumnya bersifat positif sehingga dapat dijadikan untuk membentuk kepribadian anak-anak menjadi satu generasi bangsa yang berbudi luhur berdasarkan budaya daerahnya. Permainan tradisional dapat melatih anak-anak untuk dapat menguasai diri mereka sendiri, menghargai atau mengakui kekuatan orang lain, berlatih untuk berkeliling atau menjadi orang yang benar dan bijak (Eka Saputra, 2017). Dengan demikian, permainan tradisional memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman tentang pendidikan multikultural. Ini penting diberikan kepada anak-anak usia tingkat Sekolah Dasar, karena anak-anak akan belajar memahami keanekaragaman budaya Nasional untuk menumbuhkan toleransi dan rasa hormat di lingkungan tempat mereka tinggal serta lingkungan luar yang memiliki keanekaragaman budaya yang berbeda.

Keragaman masyarakat Indonesia yang berbeda adalah ciri khas sebuah bangsa yang dapat digunakan sebagai warisan budaya. Pendidikan multikultural harus dibentuk dan ditanamkan dalam masyarakat majemuk serta harus diajarkan di lingkungan Pendidikan atau Sekolah. Tujuan utama pendidikan multikultural adalah mengubah pendekatan pembelajaran untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak. Perbedaan pada siswa yang harus diakui dalam pendidikan multikultural meliputi populasi etnis dan ras minoritas, kelompok agama, jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerah asal, cacat fisik dan mental, kelompok usia, dll. Karakteristik anak usia Sekolah Dasar memiliki tahapan perilaku yang suka bermain, suka bergerak, suka bekerja dalam kelompok, dan suka merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Permainan tradisional harus dikembalikan sebagai permainan anak-anak Indonesia. Permainan tradisional tidak hanya memberikan nilai rekreasi atau sekadar bersenang-senang. Lebih dari itu, permainan tradisional juga mengandung atau mengandung unsur nilai budaya yang identik dengan pendidikan multikultural. Karena itu, permainan tradisional penting sebagai wahana permainan anak-anak untuk mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan multikultural yang terkandung di dalamnya.

Daftar Pustaka

Andriani, Tuti. 2012. Permainan Tradisional Dalam Membentuk Karakter Anak Usia Dini. Jurnal Sosial Budaya. 9 (1), p121-136. http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php /SosialBudaya/article/view/376.

Banks, James A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston-London: Allyn and Bacon Press.

Haryono, Ari, Dwi. 2014. Metode Praktis Pengembangan Sumber dan Media Pembelajaran. Malang: Genius Media.

Havighurst, Robert. J. 1985. Human Development & Education. Terjemahan Moh. Kasiran. Surabaya: Sinar Jaya.

Lawhon, T & Lawhon, C. D. 2000. Promoting Social Skills in Young Children. Early Childhood Education Journal. 28 (2). p105-110.

http://fhis.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2017/12/Prosiding-ICIRAD-2015.pdf.

Lestariningrum, A., & Yulianto, D. 2016. Strategy for Creative Learning by Using Traditional Games Based Multikultural in Early Childhood Education. In Proceedings International Seminar FoE. Faculty of Education. 4 (2), p62-70. http://prosiding.unipma.ac.id/index.php/PIS-FoE/article/view/80.

Mahfud, Chairul. 2016. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murtinihsih, RR., Siti. 2012. Pendidikan Multikultural Melalui Dolanan Anak: Studi Tentang Dolanan Anak “Sudamanda” Dalam Perspektif Teori Pendidikan John Dewey. Prosiding Seminar Internasional Multikultural&Globalisasi. IMG 4 (2), p153-166. https://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-simg-ui-2012-jilid-2-15.pdf.

Parekh, Bikhu. 2010. Rethiniking Multikulturalism. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Purwaningsih, Ernawati. 2006. Permainan Tradisional Anak: Salah Satu Khasanah Budaya yang Perlu Dilestarikan. Jurnal Sejarah dan Budaya Jawa. Jantra 1 (1), p40-46. http://repositori.kemdikbud.go.id/5136/1/Jantra_Vol._I_No._1_Juni_2006.pdf.

Saputra, N. E., & Ekawati, Y. N. 2017. Permainan Tradisional Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Dasar Anak. Jurnal Psikologi Jambi. 2 (2), p48-53. https://www.online-journal.unja.ac.id/jpj/article/view/4796.

Seriati, Ni Nyoman, dkk. 2011. Permainan Tradisional Jawa Gerak dan Lagu Untuk