Oleh:
Freddy Widya Ariesta

Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan bangsa yang cerdas, damai, terbuka dan demokratis. Bukan hanya itu, namun juga diharapkan mampu merealisasikan tujuan pendidikan nasional secara paripurna yaitu “to be a smart and good citizenship”. Oleh karena itu pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Pada era globalisasi ini, masuknya pengaruh budaya asing yang cepat melalui berbagai saluran informasi/media berdampak pada merosotnya moralitas dan perilaku generasi muda yang tidak sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Indikasi menurunnya moralitas generasi muda menuntut pembelajaran IPS berkontribusi untuk menumbuhkan moralitas dan karakter sosial peserta didik menjadi generasi penerus bangsa yang baik. Membangun kualitas generasi muda bukan perkara instan, namun harus dibentuk sejak dini melalui pembelajaran IPS di pendidikan dasar yang selalu dikaitkan dengan diri peserta didik sekaligus dalam rangka memahami dan memecahkan persoalan-persoalan sosial di sekitar tempat tinggalnya, sehingga siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan dan pengalamannya menjadi suatu kebermaknaan pembelajaran.  Disinilah sebenarnya peran serta orangtua, masyarakat sekaligus guru dipertaruhkan. Guru IPS adalah sebagai penopang dasar untuk mewujudkan peserta didik dalam rangka menjadi warga negara yang baik.

Menurut Alan J. Singer (2003) memberikan laporan bahwasanya perasaan rendah diri dan frustrasi seringkali menghinggapi guru IPS di Amerika Serikat dimana negara tersebut adalah penggagas munculnya kurikulum social studies atau social sciences. Perasaan tersebut dikarenakan angka partisipasi kehadiran siswa sangat rendah pada mereka yang lingkungan keluarga peserta didik sebagaian besar berada dibawah garis kemiskinan serta dari keluarga pengangguran. Guru juga merasakan betapa rendahnya minat siswa untuk belajar IPS.

Pandangan tentang respon peserta didik pada minat belajar IPS sebagaimana dijelaskan di atas rupanya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Pandangan konstruksi masyarakat di Indonesia sampai saat ini masih banyak beranggapan bahwasanya pembelajaran IPS hanyalah penuh dengan hafalan, dan nyaris tidak ada daya pikat untuk belajar. Belum lagi jika dilihat bidang studi IPS yang berisi banyak materi yang disusun dari berbagai disiplin ilmu sosial.

Secara organisasi materi, fokus kajian Ilmu Pengetahuan Sosial seharusnya mempersiapkan siswa agar mereka mempunyai Knowledge, skills, attitudes, values dan citizen action (Sapriya, 2009). Semua dimensi tersebut dipersiapkan tiada lain sebagai bekal untuk mengahadapi dan memecahkan setiap persoalan pribadi maupun persoalan sosial. Pada jenjang SD/MI, pengorganisasian materi mata pelajaran IPS menganut pendekatan terpadu (integrated) dimana materi pelajaran dikembangkan dan disusun tidak mengacu pada disiplin ilmu yang terpisah melainkan mengacu pada aspek kehidupan nyata (factual/real) siswa sesuai dengan karakteristik usia, tingkat perkembangan berpikir, kebiasaan bersikap dan perilakunya.

Menurut Nasution (2011) menyatakan sejauh ini belum sepenuhnya pembelajaran IPS SD terpadu. Kebanyakan pengajar IPS masih mengajarkan IPS sebagai mata pelajaran yang terpisah dimana guru hanya lebih mementingkan teori daripada meningkatkan kemampuan kompetensi siswa dalam kehidupan warga Negara. Adapun menurut Fajar (2018) pembelajaran IPS hanya terfokus pada text book dimana siswa hanya diarahkan untuk mengerjakan soal dan menjawab soal dari LKS atau buku paket pegangan siswa. Sehingga pembelajaran IPS di SD tidak memaksa siswa untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi di kehidupan nyata. Akibatnya pembelajaran hanya berjalan satu arah dan kurang bermakna.

Menurut Dunham’s tujuan dari pendidikan IPS adalah tidak lain bagi siswa adalah agar mereka dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat sehingga menjadi warga negara yang baik. Sosialisasi disini dapat diartikan sebagai “… suatu proses yang membuat anak-anak menyatu dalam budaya kelompoknya, sehingga menjadi orang yang dapat diterima dalam masyarakat …” (… the process by which the newbom child is moulded into the culture of his group and hence becomes an acceptable person in that society …) (Abu Suud, 2008).

Somantri (2001) juga telah menggagas pembaharuan pendidikan IPS dengan memantapkan jatidiri pendidikan IPS di Indonesia dengan pendekatan fungsional struktural. Pendidikan IPS harus mengacu pada kebutuhan masyarakat sehingga diharapkan dapat memecahkan permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat dengan meminjam ilmu-ilmu sosial dalam tujuan pendidikan.

Model pembelajaran Social Project yang berlandaskan kontruktivisme pada akhir-akhir ini banyak diperhatikan akademisi, karena dengan menerapkan model ini dimungkinkan terjadinya proses pendidikan bermakna pada diri peserta didik di SD. Konsep Social Project memadukan antara kecerdasan kognitif, ketrampilan serta kecerdasan sosialnya sehingga peserta didik dapat memposisikan dirinya secara baik di masyarakat dengan memperlibatkan diri untuk memahami dan memecahkan permasalahan sosial secara kongkrit yang mereka temukan di lingkungan tempat tinggalnya.

Pembelajaran IPS yang bermakna diperlukan agar siswa dapat mencapai tujuan dari pendidikan IPS. Dalam Pendekatan pedagogis guru harus mampu meningkatkan antusias yang tinggi dalam pelajaran IPS dan memberikan motivasi kepada siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Penerapan model Social Project dan penilaian berkelanjutan yang berlandaskan pendekatan konstruktivisme dapat membangun kebermaknaan pembelajaran IPS di SD.

Konsep Social Project yaitu memadukan antara kecerdasan kognitif, ketrampilan serta kecerdasan sosialnya sehingga peserta didik dapat memposisikan dirinya secara baik di masyarakat dengan memperlibatkan diri untuk memahami dan memecahkan permasalahan sosial secara kongkrit yang mereka temukan di lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan pembelajaran dengan Social Project akan lebih bermakna bagi siswa karena mereka dapat membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengalaman yang dibangun berdasarkan apa yang siswa lakukan. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan membantu siswa untuk belajar secara nyata (kontekstual) berdasarkan pengalamannya dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS yang bermakna yaitu, untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

Guru merupakan garda terdepan dalam pembangunan manusia di dunia pendidikan (agent of changes). Sudah seyogyanya setiap pembelajaran di sekolah harus berorientasi terhadap pencapaian tujuan nasional yaitu membentuk warga Negara yang cerdas dan baik. Guru harus menerapkan model, metode dan pendekatan yang inovatif untuk meningkatkan citra dan kebermaknaan pembelajaran IPS di SD.