Oleh:

Ubaidah

Dalam pendidikan tinggi, siswa dituntut untuk dapat menerapkan pengetahuannya secara nyata dalam menyelesaikan masalah yang ada di kehidupan sebenarnya. Siswa bukan hanya belajar untuk mengetahui (to know) tapi juga belajar untuk melakukan apa yang dipelajarinya (learning to do), belajar sebagai bekal untuk mencapai suatu profesi (learning to be), dan belajar untuk berkontribusi dalam lingkungan sosialnya (learning to live together).

Penerapan empat pilar pendidikan tersebut akan sulit terwujud dengan model pembelajaran konvensional yang hanya memusatkan proses pembelajaran melalui pendekatan pada guru saja (teacher-oriented learning). Untuk mencapai empat pilar pendidikan tersebut, perlu adanya rangsangan yang dapat memancing siswa untuk dapat turut aktif dalam mencapaia tujuan pembelajarannya.

Seiring dengan perkembangan paradigma pendidikan, munculah Jean Piaget dengan sebuah paham baru atas sebuah proses pembelajaran. Piaget berpendapat bahwa manusia pada dasarnya membangun pengetahuan dan pemahamannya melalui interaksi antara pengalaman-pengalamannya dengan pemikirannya. Pemikiran ini dikenal dengan teori konstruktivistik. Dalam teori ini dijelaskan bahwa pembelajaran harus mampu mengakomodasi dan mengasimilasi setiap individu dalam membangun pengetahuan baru melalui pengalaman-pengalamannya. Teori ini menggerakan pendekatan pembelajaran kepada pembelajaran berpusat pada siswa (student-oriented learning)).

Perkembangan penelitian kemudian memaparkan mengenai bagaimana model lingkungan belajar konstruktivisme yang dapat meningkatkan keluwesan kognitif (cognitive flexibility) siswa dalam pendidikan tinggi. Lingkungan belajar konstruktivisme yang dimaksud adalah lingkungan belajar yang berlandaskan teori belajar konstruktivisme. Sedangkan keluwesan kognitif dibatasi oleh teori keluwesan kogniti Spiro dan Jehng (1990).

Menurut Spiro dan Jehng (1990), teori keluwesan kognitif menjelaskan bahwa siswa harus mampu menguasai kompleksitas  di kehidupan dengan lebih siap dengan penyajian beragam representasi informasi yang sama dalam koteks yang beragam. Dengan melihat representasi yang jamak ini siswa mengembangkan pijakan mental (mental scafolding) yang dibutuhkan sebagai pertimbangan akan penerapan pengetahuan dalam suatu hal yang baru.

Kwanjai & Sumalee (2014), menjelaskan bahwa proses pembelajaran idealnya harus fokus kepada kemampuan proses berfikir untuk menghadapi situasi dan menerapkan pengetahuannya yang digunakan untuk mencegah dan memberikan solusi atas masalah terstruktur dalam dunia yang sebenarnya berdasarkan keluwesan kognitif siswa. Kondisi tersebut erat dengan proses pembelajaran yang dijelaskan dalam teori belajar dan pembelajaran konstruktivistik. Dalam penjelasan tersebut juga dijelaskan bahwa dalam sebuah proses pembelajaran, siswa harus mampu menerapkan pengetahuannya dalam memecahkan masalah terstruktur yang sebenarnya berdasarkan keluwesan kognitinya. Artinya, proses pembelajaran idealnya juga harus mampu meningkatkan keluwesan kognitif siswa.

Banyak pihak yang berpendapat bahwa teori belajar konstruktivistik adalah teori belajar paling ideal untuk diterapkan dalam pendidikan. Teori belajar konstruktivistik diperkenalkan oleh Jean Piaget (1973) untuk menjelaskan bagaimana orang belajar, merujuk pada proses perubahan atau pengembangan pengetahuan yang terjadi dalam sistem berfikir seseorang saat terjadi pembelajaran. Piaget menunjukan bahwa proses mengetahui sesuatu lebih dari sekedar proses memanggil informasi yang terekam. Proses mengetahui sesuatu mengikut sertakan pengaturan informasi dan pembentukan fondasi konseptual dimana pengetahuan baru akan terbentuk. Dalam teori belajar konstruktivistik, siswa memiliki bagian aktif dalam proses mengetahui.[1]

Menurut Waite-Stupiansky (1997), karakteristik pembelajaran konstruktivistik adalah: [2]

  • Memberi peluang kepada murid untuk membentuk pengetahuan baru melalui lingkungan belajar yang dirancang sesuai dengan kondisi sebenarnya
  • Merangsang siswa untuk mengemukakan gagasan-gagasan terhadap kasus yang dihadapinya
  • Mengutamakan pembelajaran secara berkelompok
  • Mengutamakan proses pembangunan ide oleh siswa secara mandiri
  • Mengapresiasi semua usaha yang dilakukan siswa
  • Mendorong siswa untuk aktif bertanya dan berdialog dengan guru maupun lingkungan sekitarnya

Karakteristik pembelajaran tersebut sudah terlihat dalam model lingkungan belajar konstruktivistik yang dikembangkan oleh Kwanjai  Sumalee, hal ini terlihat dari paparan mengenai proses belajar siswa saat ditugaskan untuk menganalisa sistem penyewaan mobil dalam mata kuliah Analisa dan Perancangan Sistem. Dalam penelitian ini, Kwanjai & Sumalee mengembangkan model lingkungan pembelajaran konstruktivistik berbasis web (web-based learning) untuk mata kuliah Analisa dan Perancangan System (System Analysis and Design).

Mungkin belum banyak diketahui yang dimaksud dengan keluwesan kognitif. Prinsip keluwesan kognitif pada dasarnya merujuk pada sistem kerja otak manusia, dimana pada otak manusia semua informasi yang diperoleh disimpan dalam memori yang terbagi menjadi dua, long-term memory dan short-term memory, untuk kemudian dapat dipanggil kembali saat diperlukan untuk dibangun kembali menjadi pengetahuan baru dalam kondisi yang berbeda.

Prinsip kerja otak ini diadaptasi oleh Spiro & Jehng (1990), yang mendefinisikan teori keluwesan kognitif sebagai proses belajar dalam konteks yang kompleks dan tidak terstruktur. Dijelaskan juga bahwa keluwesan kognitif terkait pada kemampuan untuk membangun kembali sebuah pengetahuan secara spontan, dalam beragam cara, sebagai respon adaptif untuk kebutuhan perubahan situasi yang radikal.[3]

Teori ini secara keseluruhan terfokus pada pentransferan pengetahuan dan keterampilan dalam situasi belajar yang telah dirancang. Untuk alasan ini, penekanannya ditempatkan di atas penyajian informasi dari beragam perspektif dan menggunakan banyak studi kasus yang menyediakan contoh yang beragam. Teori ini juga menekankan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang bergantung pada konteks (context-dependent), karenanya pembelajaran harus sangat spesifik. Teori keluwesan kognitif dibangun atas teori lain seperti teori konstruktivistik (e.g., Bruner, Ausubel, Piaget) dan terkait dengan teori Salomon dalam hal media dan interaksi belajar.

Kearsley (2003) menerangkan bahwa dalam penerapannya, teori keluwesan kognitif memiliki 4 prinsip utama, yaitu:[4]

  1. Aktiiftas pembelajaran harus menyediakan representasi yang beragam terhadap konten yang disajikan.
  2. Materi pembelajaran harus menghindari penyederhanaan yang berlebihan (oversimplifying) terkait dengan kawasan konten dan pengetahuan yang mendukung konteksnya.
  3. Pembelajaran harus berbasis kasus dan mengekankan pada pengembangan pengetahuan, bukan pentransferan informasi.
  4. Sumber pengetahuan harus terhubung dengan compartmentalized.

Teori keluwesan kognitif banyak diimplementasikan dalam lingkungan belajar elektronik, baik yang berbasis jaringan maupun tanpa jaringan, seperti: web-based learning, online learning, electronic learning, computer-based learning, dan banyak lagi, maupun pengembangan media pembelajaran dengan prinsip hyper seperti hypertext, hypermedia, maupun multimedia.

Dalam penelitian ini, lingkungan belajar dirancang dalam sebuah situs jejaring (websites) atau bisa disebut pembelajaran berbasis web (web-based learning). Menurut Hall, Watkins, dan Eller (2003), pengembangan lingkungan belajar berbasis web idealnya memuat 3 langkah utama, yaitu penentuan arah (directionality), perancangan (design), dan penghitungan (accountability).[5]

Dalam langkah penentuan arah, dirumuskan bagaimana cara terbaik menyajikan materi untuk siswa menggunakan multimedia berbasis jaringan. Langkah ini meliputi proses pengidentifikasian sasaran atau siswa, penentuan tujuan belajar, dan penentuan isi/materi pelajaran.

Setelah rancangan pedagogis utama untuk bahan ajar telah dirumuskan, selanjutnya dilakukanlah perancangan yang lebih rinci terkait pengembangan bahan ajar dalam lingkungan berbasis komputer dan jaringan. Langkah ini pada dasarnya memiliki dua komponen utama, yaitu komponen kesederhanaan (simplicity) dan kerumitan (complexity). Bagaimana menciptakan pengalaman belajar yang kaya dan bermakna, yang membutuhkan kedinamisan dan keinteraktifan dengan komponen media yang sering mengganggu kegunaan dari modul. Tujuan utama dalam langkah ini adalah untuk mengembangkan bahan ajar yang memberikan pengalaman yang baru, kaya, dan cukup kreatif untuk menjaga pelajar terikat dan tertarik, sementara pada saat yang sama juga diciptakan lingkungan belajar yang mudah digunakan (user-friendly), tidak menyebabkan siswa menjadi kewalahan dan frustasi sehingga mengganggu belajar.

Setelah produk bahan ajar diproduksi, model pengembangan ini menjelaskan tahapan evaluasi yang harus dilakukan, yang disebut dengan tahap penghitungan (accountability).  Dijelaskan oleh Hall, Waktins, & Eller (2003), bahwa terdapat 4 syarat utama dalam langkah penghitungan ini, yaitu variabel siswa (learning variables), metode eksperimen (experimental methodology), hasil (outcomes), dan pengukuran (measures). Dijelaskan bahwa dalam langkah penghitungan ini siswa harus dilibatkan agar dapat mengkontrol perbedaan-perbedaan yang mungkin terjadi terkait dengan siswa sebagai sasaran dari bahan ajar tersebut, serta interaksi antara siswa dengan bahan ajar.

Mengenai metode eksperimennya, dijelaskan bahwa proses penghitungan melalui tahap formatif dan sumatif. Dalam tahap formatif, meliputi 3 tahap, yaitu review produk yang dilakukan oleh ahli (expert review), uji coba kelompok kecil (small group evaluation), baru kemudian uji coba kepada pengguna sebenarnya (field test). Setelah melalui tahap formatif, maka selanjutnya tahap penilaian memasuki tahap evaluasi sumatif. Sedangkan hasil dari penghitungan ini (outcomes) haruslah meliputi aspek digunakannya produk oleh siswa, meningkatkanya pengetahuan konseptual siswa, serta penguasaan kemampuan yang diperlukan.

Dalam jurnal ini, tidak dapat diketahui apakah peneliti sudah melakukan tahap tersebut di atas. Dapat dilihat bahwa pada tahap validasi internal di penelitian ini, peneliti menguji kualitas dari model lingkungan belajarnya ke 3 jenis ahli; 1) ahli materi, 2) ahli media, 3) ahli perancangan model, hasil validasi internal menunjukan bahwa rancangan model sesuai dan kongruen dengan teori dan prinsip yang ada.

Sedangkan dalam validasi eksternal, peneliti mencoba melihat efek dari implementasi model ini kepada siswa dan melihat apakah efeknya sudah sesuai dengan teori. Hasil validasi eksternal dalam penelitian ini menunjukan bahwa model ini meningkatkan keluwesan kognitif siswa.

Validasi dalam sebuah penelitian berfungsi untuk menjaga kesesuaian konsep di penelitian dengan realitas yang ada di kehidupan nyata. Hal ini penting dalam sebuah penelitian, karena penelitian merupakan suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Seperti yang diterangkan oleh Bryman (2012), bahwa tidak validnya suatu gagasan ditunjukan oleh sedikitnya kesesuaian antara teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan, mengemukakan, ataupun menganalisi lingkup sosial yang diteliti dengan realita yang sebenarnya terjadi.[6]

Bryman (2012) membagi validasi menjadi beberapa jenis, yaitu: validasi pengukuran, validasi internal, validasi eksternal, dan validasi ekologis. Validasi internal terkait dengan isu kekausalan (causality) yang difokuskan dengan pertanyaan apakah hasil penelitian yang menggabungkan hubungan sebab akibat diantara dua atau lebih variabel sudah sesuai. Sedangkan validasi eksternal difokuskan dengan pertanyaan apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan dengan konteks penelitian yang spesifik.[7]

Dalam penelitian ini, Kwanjai & Sumalee belum melakukan generalisasi terhadap hasil penelitiannya. Langkah generalisasi ini dapat dilakukan dengan mengujikan model lingkungan pembelajaran konstruktivistik ini pada kelompok yang berbeda, kemudian dilihat apakah hasilnya sama dengan hasil yang dikemukakan dalam penelitian ini.

Banyak penelitian serupa yang juga menerapkan teori keluwesan kognitif dalam lingkungan belajar konstruktivistik. Awal penelitian mengenai penerapan teori keluwesan kognitif dilakukan oleh Spiro & Coulson, dkk oada 1998 di Illinois. Spiro & Coulson, dkk meneliti mengenai penerapan keluwesan kognitif dalam pembelajaran di lingkungan hypertext yang konstruktivistik. Tidak jauh berbeda dengan penelitian Kwanjai & Sumalee, dalam penelitian tersebur, Spiro & Coulson, dkk juga menemukan bahwa penerapan teori keluwesan dapat membantu siswa dalam menggenarisasikan pengetahuannya secara efektif ke pengetahuan baru di kondisi yang berbeda. Lingkungan belajar konstruktivis mampu memasilitasi siswa dalam mengeksplorasi pengalaman-pengalamannya ke kondisi yang sama sekali baru sekalipun. [8]

Hasil penelitian tersebut mendukung temuan Kwanjai & Sumalee pada tahap II penelitian pengembangan ini. Melalui review ahli, secara keseluruhan, model lingkungan pembelajaran konstruktivistik yang dikembangkan ini sudah sesuai dengan teori-teori konstruktivistik yang ada. Efek implementasi model pembelajaran konstruktivistik yang meningkatkan keluwesan kognitif siswa ini pun juga telah sesuai dengan teori keluwesan kognitif yang ada. Penelitian lebih lanjut mungkin dapat melihat apakah model serupa juga memiliki efek yang sama jika diterapkan di kondisi pembelajaran yang berbeda.

Daftar Pustaka

Bryman, Alan. 2012. Social Research Methods. 2012. New York: Oxford University Press Inc

Hall, Richard, Watkins, & Eller. 2003. A Model of Web-Based Design for Learning. Tulisan dalam buku “Handbook of Distance Education”, penyunting Michael Moore & Anderson. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates Publisher

Kearsley, Greg. 2003. Explorations in Learning & Instruction: The Theory Into Practice Database. Artikel dalam http://www.psychology.org diakses pada 13 Desember 2014

Spiro, R.J. & Jehng, J. 1990. Cognitive Flexibility and Hypertext: Theory and Technology for The Non-Linear and Multidimensional Traversal of Complex Subject Matter. D. Nix & R. Spiro (editor): Cognition, Education, and Multimedia. New Jersey: Erlbaum

Spiro, Rand & Coulson, Richard, dkk. 1998. Cognitive Flexibility Theory: Advanced Knowledge Acquisition in Ill-Structured Domains. Illinois: Urbana Campaign Library

Waite-Stupiansky, Sandra. 1997. Building Understanding Together: A Constructivist Approach to Early Childhood Education. New York: Delmar Publisher

[1] Sandra Waite-Stupiansky. Building Understanding Together: A Constructivist Approach to Early Childhood Education. 1997. New York: Delmar Publisher. Hal 2

[2] Ibid. Waite-Stupiansky. Hal 7

[3] Spiro, R.J. & Jehng, J. Cognitive Flexibility and Hypertext: Theory and Technology for The Non-Linear and Multidimensional Traversal of Complex Subject Matter. D. Nix & R. Spiro (editor): Cognition, Education, and Multimedia. 1990. New Jersey: Erlbaum. Hal. 165

[4] Greg Kearsley. Explorations in Learning & Instruction: The Theory Into Practice Database. 2003. Artikel dalam http://www.psychology.org diakses pada 13 Desember 2014.

[5] Richard Hall, Watkins, & Eller. A Model of Web-Based Design for Learning. Tulisan dalam buku “Handbook of Distance Education”, penyunting Michael Moore & Anderson. (Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2003). Hal. 367-373

[6] Alan Bryman. Social Research Methods. 2012. New York: Oxford University Press Inc,. Hal. 46

[7] Ibid, Bryman. Hal. 48

[8] Spiro & Coulson. Cognitive Flexibility Theory: Advanced Knowledge Acquisition in Ill-Structured Domains. 1998. Illinois: Urbana Campaign Library