Oleh:

Freddy Widya Ariesta

Pada dunia Pendidikan telah dikembangkan berbagai jenis teori belajar yang dianggap paling sesuai untuk diimplementasikan di sekolah. Seiring berkembangnya jaman, sudut pandang praktisi dan pakar Pendidikan juga mengalami pergeseran paradigma tentang konsep dan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai siswa. Teori belajar behavioristik merupakan salah satu teori pembelajaran paling tua yang berkembang pada abad ke-19. Meski terdengar kolot dan sudah semakin berkembang menjadi teori-teori baru yang dianggap lebih baik untuk digunakan, teori behavioristik ini pun nyatanya masih banyak digunakan dalam implementasi dunia pendidikan kita.

Menurut B.F. Skinner teori belajar behaviorisme adalah hubungan antara stimulus dengan respon yang ditunjukkan individu atau subyek terjadi melalui interaksi dengan lingkungan.  Teori ini menekankan bahwa tingkah laku yang ditunjukkan seseorang merupakan akibat dari interaksi antara stimulus dengan respon. Teori ini berkembang dan cenderung mengikuti aliran psikologi belajar, lantas menjadi dasar pengembangan teori pendidikan dan pembelajaraan saat ini. Ciri dari implementasi sukses teori belajar behavioristik ini adalah adanya perubahan perilaku yang ditunjukkan seseorang setelah mengalami kejadian di masa lampau. Seseorang dinyatakan belajar jika telah merespon suatu kejadian dan menjadikannya pembelajaran untuk tidak menggunakan respon yang sama di masa depan, guna menghindari akibat yang pernah dialaminya.

Implementasi teori belajar behavioristik dalam dunia pendidikan ini terlihat dari beberapa contoh. Misalkan: penerapan hukuman membersihkan halaman bagi siswa yang datang ke sekolah terlambat, siswa disuruh lari lapangan jika tidak mengerjakan tugas atau PR. Teori ini cukup menakutkan karena penekanan prinsip pemberian hukuman (punishment), akan tetapi teori ini tak selamanya buruk. Pada kondisi tertentu siswa juga akan mendapatkan penguatan (reinforcement) berupa pujian, hadiah atau penghargaan lainya jika menunjukkan sikap positif dalam pembelajaran. Sehingga, teori behaviorisme dianggap merupakan pilihan metode pembelajaran yang tepat dan dianggap mampu menghasilkan output yang diharapkan.

Teori behaviorisme ini hingga sekarang masih banyak ditemui di Indonesia. Hal ini nampak mulai dari pembelajaran di Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Menengah, bahkan sekolah tinggi. Pembentukan perilaku siswa dengan drill (pembiasaan) disertai reinforcement dan punishment masih sering ditemui. Secara teori dan praktek yang telah dilaksanakan, teori ini kurang menekankan aktivitas secara kognitif pada anak. Sehingga anak cenderung belum dapat mengeksplorasi pegetahuan secara optimal. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Selain itu, berdasarkan teori behavioristik ini, potensi alami yang dimiliki oleh seorang anak seakan tidak dianggap bahkan cenderung diabaikan. Hal inilah yang menyebabkan teori ini ditinggalkan kemudian mengalami pergeseran dari teori behaviorisme ke teori belajar kognitivisme.

Teori kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan sehingga pengetahuan itu bersifat non-objektif, temporer, serta selalu berubah. Belajar merupakan pemaknaan pengetahuan, sedangkan mengajar itu menggali makna. Pada teori ini, otak berfungsi sebagai alat menginterpretasi sehingga muncul makna yang unik, sehingga bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Jadi dengan adanya teori kognitivisme seorang siswa akan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan tetap setia dalam ingatan.

Pada teori kognitivisme seorang peserta didik dilatih untuk berpikir secara cerdik untuk menyelelesaikan masalahnya. Peserta didik harus dapat menggali pengetahuannya sendiri. Menurut tokoh psikologi Pendidikan Jean Piaget menyatakan bahwa, teori belajar kognitivisme adalah suatu proses belajar melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya dengan melibatkan proses berpikir/bernalar. Jadi dalam teori ini lebih menekankan pada pemaknaan dalam belajar, sehingga belajar tidak hanya menghafal tetapi yang lebih penting adalah seorang peserta didik harus menangkap makna dari proses belajar yang dia lakukan.

Dengan adanya teori kognitivisme peserta didik akan memiliki pengetahuan yang lebih luas. Namun, pada teori kognitivisme peserta didik akan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan ini akan dapat menimbulkan kesenjangan antar peserta didik, apabila seorang guru tidak dapat mengontrol perbedaan yang terjadi. Sehinggga, siswa yang pandai akan semakin pandai dan yang kurang pandai akan semakin tertinggal.

Dari semua teori apabila dianalisis dan dilihat dapat bergeser dari satu teori meuju ke teori yang lain, maka didalam dunia pendidikan tidak ada teori yang abadi, dan dapat mendominasi sepanjang zaman. Karena teori dapat bergeser sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pemakainya. Oleh karena itu, sebaiknya seorang pendidik tidak boleh mengatakan jika salah satu dari teori ini dalah teori yang paling benar dan yang paling baik, karena pada dasarnya masing-masing teori memiliki kelebihan dan kelemahanya masing-masing. Tentunya akan lebih baik, jika seorang pendidik dapat mengkombinasikan dari setiap teori belajar ini, untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna, apabila dari setiap teori kita ambil segi positifnya kemudian kita padukan dengan segi positif dari teori lain maka tujuan pembelajaran akan tercapai dengan efektif.

Pendidik harus dapat menciptakan suatu teori baru dengan kekuataan yang lebih baik, tetapi juga jangan lupa untuk tetap memperhatikan kondisi dan kesiapan peserta didik. Jadi, inilah sebenarnya yang dinamakan inovasi dalam pembelajaran. Seorang guru harus dapat menciptakan inovasi baru. Sehingga guru tidak hanya menggunakan teori belajar yang sudah ada dan menggganti nama teori belajar lain agar terlihat baru. Namun, pendidik ketika akan menciptakan inovasi pembelajaran akan lebih penting untuk memperbaiki substansinya dengan tujuan pembelajaran yang terukur dan dapat dicapai dengan baik dan optimal.