Oleh: Ferry Doringin

Dalam kolomnya di harian Kompas, November 2017, Prof. Rhenald Kasali membahas mengenai iklan apel dari TV CNN. Buah apel bisa disebut pisang karena penyebar hoax mendorong orang mengatakan bahwa itu pisang. Makin sering kesalahan itu disampaikan dan dipatri di ingatan orang, makin besar tingkat kepercayaan orang pada kesalahan itu.

Dunia pendidikan bertolak belakang dengan ilustrasi di atas. Maksudnya, dunia pendidikan tidak boleh berhenti pada kata-kata yang meyakinkan dan minta dipercayai. Dunia pendidikan mengenal apa yang disebut: seeing is believing. Orang melihat dan menjadi percaya. Hal ini terkait dengan janji sekolah kepada orangtua atau kepada siswanya. Ketika sekolah menjanjikan sesuatu, maka sekolah harus menepati janjinya.

Dalam konsep Tata Kelola dikenal model partisipatif, akuntabel dan transparan. Dengan model-model tersebut, orangtua dan pihak pelanggan bisa mempercayai bagaimana sekolah menangani buah hati tercinta mereka.

Ada sebuah sekolah yang menerapkan konsep akuntabilitas ini dengan mengadakan lomba memasak antar kelas. Tukang masaknya adalah perwakilan orangtua yang mempromosikan makanan sehat dan alternatif beras. Semua kelas menghadirkan satu tim. Interaksi itu begitu mengesankan karena sekolah bisa mengenal lebih dekat orangtua siswa; sebaliknya, orangtua siswa bisa mengenal sekolah secara lebih mendalam.

Contoh lain lagi, sekolah mengadakan open house. Dalam waktu yang sangat singkat, orangtua atau masyarakat yang ingin mendapatkan informasi tentang sekolah, bisa memperolehnya dari sumber-sumber terpercaya.

Hal kreatif lain lagi, dilakukan oleh beberapa sekolah, yakni mereka mengadakan program dan menghadirkan orangtua dalam program tersebut. Terjadi interaksi tertentu, sehingga anak-anak yang terlibat dalam program itu, mempresentasikan hasil-hasil belajar atau hasil analisa mereka kepada orangtua mereka sendiri. Itulah model akuntabilitas yang sangat sederhana tetapi sangat menyentuh para orangtua karena mereka sendiri mendapatkan keyakinan mengenai kualitas sekolah lewat prestasi dan hasil kerja anak-anak mereka sendiri.

Makin baik mutu sebuah sekolah, makin mampu mereka melakukan tata kelola yang akuntabel. Mereka punya sejumlah hal-hal positif yang tentu akan laku jual. Sebaliknya, sekolah yang memiliki kualitas yang kurang, biasanya tidak terlalu berani, atau malah menjadi menutup diri. Itulah cara mereka menutupi kekurangan mereka. Namun, sikap menutup diri bisa menjadi boomerang dan makin menjauhkan kepercayaan orangtua dan masyarakat kepada sekolah tersebut.

Ada sejumlah sekolah berkualitas yang tidak terlalu peduli dengan konsep tata kelola. Mereka memiliki mutu sekolah yang sangat mumpuni, tetapi tidak berusaha, atau tidak tahu, atau tidak memiliki konsep bagaimana mutu yang baik ini disampaikan kepada masyarakat. Itulah sekolah-sekolah yang disebut tidak memiliki marketing yang baik. Sekolah tidak berusaha menjual apa yang menjadi kekuatan mereka. Meskipun sangat bermutu, lama kelamaan, kekuatan sekolah itu akan tergerus dan akan ditinggalkan masyarakat.

Berbicara mengenai mutu sekolah, maka berbicara juga mengenai mutu guru. Para guru adalah ujung tombak keberhasilan sekolah. Kesadaran inilah yang muncul dalam sejumlah sekolah sehingga mereka memiliki program pengembangan guru yang sangat baik. Sekolah lain mengandalkan bukan training eskternal tetapi training internal yang murah meriah. Sekolah tersebut membuktikan bahwa kualitas guru yang baik tidak harus ditempuh dengan pelatihan yang mahal.

Ternyata tata kelola yang mengandalkan akuntabilitas bisa menjadi salah satu kunci kemajuan sekolah. Namun, sekolah yang akuntabel harus didukun dengan kualtias siswanya yang bisa produktif dan mutu gurunya yang mumpuni.

Bagaimana konsep ini diterapkan dalam dunia kerja para mahasiswa PGSD? Perhatikan sisi-sisi itu, yakni: kualitas siswa, kualitas guru, dan upaya untuk menginformasikan keunggulan sekolah kita sebagai bagian dari tata kelola yang akuntabel.