Oleh: Ferry Doringin

 

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah swasta yang dulunya sangat terkenal, terancam ditutup. Masalah mereka adalah jumlah siswa yang terus menurun dan pemasukan yang tidak bisa menutupi pengeluaran.

Sekolah-sekolah itu biasanya mengeluh bahwa mereka sudah bekerja keras menjaga idealism lembaganya. Kualitas dan nilai juga sudah berusaha dijaga. Namun, mereka tetap kalah bersaing. Sejumlah pihak menunjuk bahwa kelemahan mereka hanya satu, yakni: tidak mengelola sekolah seperti lembaga bisnis.

Konsep sekolah tradisional

Konsep sekolah yang lama menganggap bahwa sekolah itu merupakan menara gading, tempat sepi untuk mencari ilmu. Idealismenya sangat tinggi sehingga sering tidak menyentuh situasi jamannya. Richard Pring menggambarkan sekolah bagaikana biara yang jauh dari urusan-urusan dunia.

Aktivitas lembaga pendidikan adalah mencari kebenaran dan membangun idealisme. Tugasnya adalah mengeluti teks-teks klasik tentang kebenaran yang agung dan tinggi.

Konsep sekolah yang modern

Konsep modern mengaitkan pendidikan dengan bisnis yang sangat progresif.  Lembaga pendidikan menjadi pusat produksi, pemasaran pengetahuan dan ketrampilan. Produktivitas yang menghasilkan uang dijunjung tinggi dan bisa mengalahkan idealisme.

Perusahaan-perusahaan terjun dan mendirikan lembaga pendidikan. Ahli bisnis juga menangani pendidikan. Yang mencolok, lembaga pendidikan yang dibangun oleh lembaga bisnis atau yang ditangani oleh ahli bisnis ternyata mengalami sukses besar. Sekolah-sekolah itu disukai pasar dan memiliki nilai jual tinggi.

Di sinilah letak permasalahannya: sekolah menjadi makin kapitalis yang mendorong biaya sangat tinggi, memberikan keuntungan yang besar dan bisa menghidupi para pengelolanya dengan gaji yang sangat besar.

Di sisi ini, perkemangan sekolah bisa mendatangkan keprihatinan yang sangat besar. Namun, di sisi lain, sekolah yang ditangani secara tradisional, makin lama makin tergerus, modelnya kuno, modalnya kurang, dan cenderung tidak bisa membiayai dirinya sendiri.

Bangun idealisme, bangun bisnisnya

Peter Drucker menegaskan mengenai kekhasan lembaga pendidikan, yakni: lembaga yang bertugas untuk mengembangkan ilmu dan manusia. Lembaga itu juga bekerja dengan etika yang sangat ketat dan menghargai proses panjang manusianya. Bandingkan dengan dunia bisnis yang sering memberi tempat utama pada keuntungan finansial. Bahkan finansial itu menjadi patokan apakah sekolah itu sehat atau tidak, baik atau tidak, bermutu atau tidak.

Poin lain dari Drucker adalah lembaga pendidikan itu memiliki stakeholder yang sangat bervariasi yang harus diresponnya, juga hasilnya tidak langsung kelihatan. Bisa dibayangkan, beratnya tantangan lembaga pendidikan yang baik.

Namun, Sudarminta (2010) menegaskan bahwa meskipun tetap mempertahankan sejumlah idealismenya, lembaga pendidikan harus menimba pengetahuan dari kekuatan lembaga bisnis:

  1. Dunia pendidikan yang sering konservatif dan sulit berubah, harus mengikuti jaman dan berani berubah agar tidak ketinggalan kereta. Sebagaimana dunia bisnis yang selalu tanggap terhadap perkembangan dunia, lembaga pendidikan harus melaksanakan hal yang sama.
  2. Pemimpin lembaga pendidikan harus mengubah pola kepemimpinan yang biasanya tanpa jiwa wirausaha, daya kreasi, dan inovasi dalam melihat peluang dan membuat terobosan. Lembaga pendidikan perlu dibangun dengan jiwa wirausaha, selalu kreatif, dan jeli melihat peluang, membuat terobosan, dan mengambil risiko.
  3. Lembaga pendidikan sering dikelola dengan menggunakan perasaan dalam kata-kata manis cintakasih. Karyawan tidak didisiplinkan, diatur promosi dan demosi, serta ditimbang kualitas kerja. Sudah saatnya, sekolah menginspirasi karyawan untuk bekerja dengan penuh disiplin dan dedikasi