Oleh: Ubaidah, S.Pd., M.Pd.

 

Asesmen merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran. The Task Group on Assessment and Testing dalam Griffin & Nix (1991:3) mendefinisikan asesmen sebagai cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok. Sedangkan Popham (1995:3) menjelaskan bahwa asesmen dalam konteks pendidikan merupakan usaha secara formal untuk menentukan status siswa berkenaan dengan berbagai kepentingan pendidikan.Tidak jauh berbeda dengan dua definisi tersebut, Boyer dan Ewel dalam Stark & Thomas (1994:46) menjelaskan bahwa asesmen merupakan proses penyediaan informasi terkait siswa, kurikulum atau program, institusi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asesmen merupakan suatu proses menafsirkan data hasil pengukuran.

Agar asesmen menjadi bagian berpengaruh dalam proses pembelajaran, guru perlu merubah pendekatan yang digunakan dalam memandang proses asesmen. Menurut Guskey dalam Burke (2009:1) Guru harus (1) menggunakan asesmen sebagai sumber informasi untuk siswa maupun guru; (2) menindak lanjuti hasil asesmen dengan perbaikan pembelajaran yang berkualitas tinggi; (3) memberikan siswa kesempatan kedua untuk menunjukan prestasi belajarnya. Diakui bahwa sulit untuk merubah paradigma guru, karena ada kecenderungan guru hanya meniru gurunya saat mengajar dulu, sehingga paradigma ini seperti turun temurun, karenanya guru harus memiliki pemikiran yang berbeda dari cara gurunya mengajar dulu.

Kondisi saat ini, banyak guru yang menomor duakan proses asesmen dan menganggapnya sebagai sebuah formalitas belaka. Proses asesmen seperti itu biasa disebut dengan tes standar (standardize test), dimana proses asesmen hanya sebatas tes pengukuran pemahamana belaka, padahal proses asesmen sangat efektif sebagai bagian dari proses pembelajaran. Tujuan dari asesmen yang autentik adalah memperbaiki peran asesmen yang tidak pernah dapat dicapai melalui tes standar. Hal ini mengingat tes standar tidak selalu dapat mengukur pencapaian siswa secara signifikan, tidak terfokus pada keterampilan berfikir, dan tidak secara akurat merefleksikan pemahaman siswa terkait konsep-konsep penting yang telah dicapai.

Burke (2009:1) menjelaskan bahwa salah satu kelemahan tes standar adalah bahwa tes ini umumnya tidak menilai apa yang sebenarnya dipelajari siswa dan hanya berfokus pada pengetahuan faktual dibandingkan keterampilan dan aplikasi berfikir yang lebih tinggi. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa tes standar valid, reliabel, dan merupakan metode paling efektif untuk membandingkan siswa, sekolah, wilayah, provinsi, dan negara. Dalam hal ini, jika kita melihat tes standar sebagai alat/instrumen untuk memetakan kualitas pendidikan mungkin akan ideal, hal ini mengingat tes standar biasa digunakan untuk menentukan banyak keputusan penting dalam pendidikan.

Di sisi lain, kita juga mengenal asesmen kelas (classroom assessments) yang dianggap sebagai salah satu faktor mayor dalam meningkatkan pencapaian siswa. Hal ini didukung oleh penelitian Paul Black dan Dylan Wiliam yang menjelaskan bahwa asesmen formatif meningkatkan hasil belajar. bahkan disebut-sebut bahwa asesmen kelas merupakan alat yang paling baik dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

Asesmen kelas biasanya merupakan asesmen formatif yang terdiri dari beragam metode asesmen seperti laporan kegiatan, jurnal, debat, diagram grafik, proyek, produk, kinerja, penelitian, portofolio, tugas penulisan kreatif, dan lain-lain. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk memberikan umpan balik kepada guru dan siswa, mengevaluasi pengetahuan dan pemahaman siswa, mendampingi proses pembelajaran dengan cara pengajaran yang berbeda untuk memfasilitasi kebutuhan yang beragam untuk siswa. Dengan kata lain, evaluasi formatif ini memberikan informasi baik untuk guru maupun siswa terkait perkembangan pencapaian siswa terhadap tujuan pembelajaran.