Oleh: Ferry Doringin

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan Kurikulum 2013 Revisi 2017. Kurikulum ini diharapkan sudah menjawab kritik dan masalah ketika Kurikulum 2013 (Kurtilas) diberlakukan. Yang pasti, Kurikulum 2013 dan juga Revisi 2017 tetap menegaskan mengenai pentingnya Ketrampilan Abad 21. Tulisan ini membahas mengenai implementasi Ketrampilan Abad 21 itu.

Ketrampilan Abad 21 yang dianggap bisa memperkuat modal social (social capital) dan modal intelektual (intellectual capital)  ini, biasa disingkat dengan 4C: communication, collaboration, critical thinking and problem solving, dan creativity and innovation. Secara operasional, 4C ini dijabarkan dalam empat kategori langkah, yakni: Pertama, cara berpikir, termasuk berkreasi, berinovasi, bersikap kritis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan belajar pro-aktif. Kedua, cara bekerja, termasuk berkomunikasi, berkolaborasi, bekerja dalam tim. Ketiga, cara hidup sebagai warga global sekaligus local; dan keempat, alat untuk mengembangkan ketrampilan abad 21, yakni teknologi informasi, jaringan digital, dan literasi,

Bayangkan bila konsep ini bisa dijalankan di sekolah-sekolah dan para siswa Indonesia terbekali dengan keutamaan-keutamaan tersebut, yakni komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis dan pemecahan masalah, serta kreatif dan inovatif.

Masalahnya, konsep yang baik, tidak mudah diimplementasikan dengan baik, apalagi terkait dengan varian yang ada dalam sekolah-sekolah kita, yang berbeda fasilitas, kualitas guru, kualitas kepemimpinan, dan juga kualitas informasi dan daya dukung.

Sebut saja, konsep 4C sebenarnya dimiliki juga oleh model pembelajaran yang dinamai active learning. Bila active learning bisa dijabarkan dengan baik maka siswa akan dilengkapi dengan ketrampilan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis dan pemecahan masalah, serta berpikir kreatif dan inovatif. Hal-hal tersebut yang didorong oleh guru ketika mereka melakukan active learning.

Ditarik lebih jauh lagi, bukankah 4C seharusnya muncul ketika pembelajaran menekankan student-centered dan bukan teacher-centered. Juga, bukankah pernah ada model yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Semuanya itu mendorong terbangunnya ketrampilan 4C dalam diri para peserta didik.

Penulis menegaskan lagi mengenai pentingnya tahap operasional pelaksanaan 4C ini di sekolah-sekolah sehingga memungkinkan untuk diterapkan. Juga, sangat penting bagi Kemdikbud untuk melakukan pendampingan berkelanjutan dan kemudian pengawasan terkait pelaksanaan pembelajarna siswa aktif yang membekali siswa dengan 4C tersebut. Dengan langkah-langkah yang jelas tersebut, Ketrampilan abad 21 ini sunguh-sungguh bisa dimiliki oleh siswa dan tidak akan terbatas dalam konsep yang bagus.

Begitu banyak kebijakan bagus yang sudah dikeluarkan. Namun, operasionalnya menjadi sulit karena diserahkan kepada sekolah dan kepada guru setempat. Karena kurang pengetahuan atau kurang waktu, sejumlah guru tidak mampu mengoperasionalkan konsep yang baik itu. Guru-guru tersebut hanya menggantungkan metode dan strategi pembelajaran mereka pada buku pegangan atau dokumen-dokumen yang sudah mereka terima.

Sangat penting bahwa pemerintah mengubah strateginya dengan mengeluarkan dokumen yang lebih operasional terkait pelaksanaan 4C di sekolah, di kelas, dan untuk setiap bidang studi.

Langkah tersebut tidak akan membuat guru-guru kehilangan kreativitasnya. Justru, guru-guru akan memperoleh inspirasi mengenai implementasi pembekalan Ketrampilan Abad 21 itu. Mungkin, mulanya mereka hanya akan menggunakan apa yang ada dalam buku atau dokumen pemerintah itu. Namun, inspirasi dari buku itu, bisa mendorong guru untuk menerapkan langkah-langkah implementasi lain yang sejenis. Lama kelamaan, mereka akan menjadi biasa dan membuat varian-varian yang disesuaikan dengan konteks lokal.*