Oleh:

Ferry Doringin

Tanggal 23-11-2016, sehari sebelum Mendikbud mengumumkan rencana moratorium UN, mahasiswa PGSD 2019 mendiskusikan tema ini di WAG dengan semarak. Dengan motor diskusi Cindy, Intan, Erna, Sandy, dan Ayu, angkatan ini siap bersukacita bila UN dihapus dengan harapan, disiapkan model evaluasi lain yang lebih baik.

Ancang-ancang kegembiraan mulai menjauh pada hari itu, ketika terbetik berita bahwa Mendikbud membatalkan undangan press conference dengan awak media pada besok harinya. Ternyata benar, meskipun Mendikbud memberikan pernyataan, tanggal 24-11-2016, moratorium UN tidak jelas dan drama selanjutnya, moratorium itu batal.

Tulisan ini merangkum keyakinan para mahasiswa bahwa (1) UN menjauhkan siswa dari pembelajaran otentik. (2) Konteks pendidikan yang berbeda tidak diperhitungkan; hal itu terbukti pada belum terpenuhinya sejumlah standar pendidikan. (3) Siswa terkesan dihargai hanya dari aspek kognitif saja. (4) Tidak jelas hasil UN itu digunakan untuk apa.

UN dan pembelajaran otentik

Pembelajaran otentik menganggap penting sebuah proses dalam kegiatan belajar mengajar. Guru perlu menguasai metode dan strategi yang baik untuk membantu siswa memahami pembelajaran. Karena itu, pembelajaran aktif dengan metode dan strategi bervariasi, sangat dibutuhkan. Dengan proses tersebut, guru bisa mengikuti perkembangan siswa dan tahu cara membantunya sehingga mencapai hasil belajar yang maksimal. Ujian adalah salah satu bagian dari proses itu dan bukan ujung yang berdiri sendiri, juga bukan menegasikan proses-proses sebelumnya.

Pembelajaran otentik sejatinya mendorong kreativitas dan daya kritis siswa. Sangat ideal bila siswa mampu berkreasi dan bisa menghasilkan produk, misalnya analisa yang baik, atau hasil kerja tangan yang baik, atau inovasi lainnya. Tentu saja, model multiple choice menegasikan keinginan akan kreativitas dan inovasi ini. Siswa hanya menjawab pilihan ganda sehingga membatasi ruang pikir kritis dan kreatif. Pembatasan daya pikir kritis dan kreatif ini bukan hanya terjadi pada hari pelaksanaan UN. Pada hari-hari persiapan pun, hal ini sudah terjadi. Drill soal menjadi pilihan guru. Bimbel menjadi program unggulan. Kemampuan menghafal dianggap paling penting untuk mencapai kelulusan dengan target khusus dari sekolah atau dari propinsi.

Dalam persiapan menuju UN itu, terlihat juga bahwa bidang studi tertentu mendapat prioritas karena akan diujikan dalam UN. Ada bidang studi prioritas dan ada yang dianaktirikan.

Kesan tidak adil

Kesan ‘ketidakadilan’ tidak bisa dihindari ketika melihat kenyataan bahwa siswa seindonesia diminta untuk berkompetisi dengan soal UN yang sama tetapi dengan sarana atau bekal bertanding yang berbeda. Ada yang memiliki bekal lengkap tetapi cukup banyak yang kekurangan bekal. Beruntung bahwa internet dan alat komunikasi sudah semakin meningkat. Namun, tetap saja, kompetisi berlangsung tidak seimbang karena bekal atau bahan dasar atau titik berangkat, tidak sama.

Hasil UN itu diapakan?

Sejauh ini belum ada langkah komprehensif yang dilakukan untuk memperbaiki sekolah, berangkat dari hasil UN. Kami belum pernah memperoleh informasi mengenai langkah-langkah komprehensif yang dilakukan karena identifikasi hasil UN. Termasuk, dari segi pedagogik, belum ada langkah-langkah khusus untuk mengatasi masalah-masalah negatif sebagai dampak pelaksanaan UN.

Lebih jauh lagi, terus menjadi pertanyaan, dengan kualitas UN seperti saat ini yang disinyalir dilakukan dengan sejumlah penyimpangan, bisa ditebak, data seperti apa yang bisa didapatkan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla terus menerus menegaskan bahwa UN berguna untuk menetapkan standard. Bila UN dihapuskan maka pendidikan kita tidak memiliki standard. Namun, argumen ini bisa bias bila diingat bahwa pemerintah sudah menetapkan 8 standard pendidikan dan UN hanya bagian dari standard penilaian.

Wakil Presiden juga menegaskan fungsi UN yang bisa mengatur siswa dan memantau serta mendorong peningkatan kualitas. Dalam sebuah media, argumen Presiden ini ditanggapi oleh pewawancara, yakni apakah hanya UN yang bisa menjamin standard, kualitas, dan memotivasi siswa?

Pertanyaan itu merupakan penegasan dari sejumlah tokoh bahwa penetapan standard dan upaya memantau kualitas, bisa dilakukan, misalnya dengan INAP, program yang ditelurkan oleh Depdiknas sendiri. INAP (Indonesia National Assessment Program) sudah berkali-kali diujicoba dan terus disempurnakan. Program evaluasi ini berupaya menetapkan standard sekolah dan memantau kualitas pendidikan kita yang pelaksanaannya bisa jauh lebih murah, dan tidak menimbulkan efek-efek negatif sebagaimana pelaksanaan UN.

UN, kecerdasan majemuk dan pendidikan karakter

Pernah beredar di media sosial sebuah pernyataan menarik bahwa lebih baik siswa tidak pintar Matematika daripada tidak pintar mengantri. Hal itu menegaskan tentang pentingnya karakter dibandingkan pengetahuan tertentu. Pembenarannya, bila karakter siswa baik, maka pengetahuan mereka juga bisa diarahkan menjadi baik.

Bayangkan bahwa UN mendatangkan ketidakjujuran yang disengaja yang malah diajarkan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi model, termasuk pihak pemerintah daerah (untuk mengejar peringkat kabupaten dan propinsi) dan oleh guru (untuk mengejar peringkat sekolah).

Selain menegaskan bahwa karakter itu lebih penting daripada ilmu, patut juga ditegaskan bahwa kecerdasan siswa bukan hanya kognitif. Howard Gardner sudah menegaskan mengenai kecerdasan majemuk. Seorang Chris John yang bisa disebut Profesor di arena tinju, tidak menyandang ijazah tinggi. Hal sama, Manny Pacquiao yang tidak lulus SD bisa menjadi juara tinju di 8 kelas. Michael Jordan, sang raja basket, tidak sukses di sekolah. Atau Adam Khoo, marketer terjenius Singapura, ternyata dulunya selalu ditolak oleh sekolah terbaik karena dianggap terlalu bodoh. Mereka hanya sebagian nama untuk menemani para pesohor, seperti Bill Gates, Albert Einstein, atau Betthoven yang pada masanya dianggap murid yang bodoh.

Penting sekali untuk menghargai multi kecerdasan siswa. Hal itu tidak bisa dicapai dengan sistem UN. Patut dicoba: moratorium UN.