PELOPOR MELEWATI JALAN SUNYI
Oleh:
Ferry Doringin
Pelopor biasanya melewati jalan sunyi. Seringkali, dia melangkah sendirian dan menjadi bulan-bulanan dari orang-orang sekitarnya. Bertahanlah karena Anda sedang merintis keberhasilan.
Gracia Cindy, mahasiswa PGSD Binus mengungkapkan kegalauannya. Dia bertekad untuk menciptakan suasana kelas yang penuh kegembiraan, banyak permainan, kurang PR; pokoknya, Cindy bertekad untuk menghindarkan siswa dari kegiatan yang mendatangkan stres. “Namun, kayaknya banyak orang yang akan mencibir. Bagaimana seharusnya ya,” ujarnya penuh kegalauan.
Wajah Cindy tetap galau muram meskipun teman-teman kelasnya menyemangatinya bahwa dia perlu bertahan dengan keyakinannya. Wajahnya berganti senyum bahagia ketika diberi pengertian bahwa pelopor biasanya menempuh jalan sunyi. Ketika memulai tidak ada orang yang mempercayainya. Namun, waktu dan hasil kerja akan membuktikan kebenaran keyakinannya.
Kegalauan Cindy bermula dari sharingnya mengenai dua siswa dari sebuah keluarga yang dikenalnya dengan cukup dekat. Keluarga itu tiba-tiba memindahkan anak-anaknya dari sekolah A ke sekolah B. Ketika ditanya alasannya, orangtua anak-anak itu mengatakan bahwa di sekolah A, kegiatannya terlalu santai, banyak bermain, dan tidak banyak PR. Orangtua itu tidak bergeming meskipun dikisahkan mengenai sukses para siswa dari sekolah yang baru saja ditinggalkan anak-anaknya itu. Dia ingin kembali ke sekolah konvensional yang menerapkan disiplin sangat ketat kepada anak, dengan tas penuh buku, dan PR menumpuk.
Cindy menegaskan lagi keyakinannya bahwa sekolah seharusnya tidak mendatangkan stres, melainkan kegembiraan kepada anak. Apakah prestasi mereka akan lebih sedikit? Justru, suasana belajar penuh kegembiraan dan kreasi, bukan duduk diam dan mendengarkan guru yang sangat pintar, membuat anak berkembang lebih baik.
“Ketika kelas itu penuh daya tarik dengan aktivitas yang bervariasi, siswa menghimpun ilmu dengan lebih efektif,” gumam Cindy.
Cicilia Intan mengungkapkan kegalauan yang hampir sama pada sesi lainnya. “Saya mendapati bahwa banyak orang menganggap guru yang baik itu sebagai guru yang sangat pintar menjelaskan. Kalau perlu, siswanya terkagum-kagum, membelalak kagum sejak awal sampai akhir pelajaran. Tetapi, saya yakin, situasi itu membuat siswa memahami sangat sedikit.”
Intan mengungkapkan keyakinannya bahwa di sebuah kelas, guru jangan kelihatan sangat pintar sehingga mendominasi kelas. Seharusnya, siswa-siswanya belajar aktif dan guru bicara sedikit. Dengan demikian, guru yang pintar mendorong siswa mendemonstrasikan kepintarannya. “Jadi, dalam kelas ideal, bukan guru, tetapi siswa yang seharusnya kelihatan pintar.”
Dua kasus di atas menegaskan bahwa terdapat banyak hal terkait keyakinan orangtua dan masyarakat yang berbeda dengan pembelajaran ideal di dunia pendidikan. Termasuk keyakinan umum bahwa anak TK harus pintar membaca; anak yang masuk SD bisa diterima kalau sudah bisa membaca; sekolah yang baik kalau fasilitasnya mahal; anak yang baik tidak boleh mendebat gurunya; anak yang hebat memilih jurusan tertentu; jurusan tertentu untuk siswa buangan.
Kami terus menanamkan keyakinan kepada mahasiswa PGSD kami mengenai pentingnya bertahan pada keyakinan mengenai pendidikan yang benar, pendidikan yang menyenangkan, pendidikan yang mendorong kreativitas, dan pendidikan yang mendorong aktivtias, praktek, dan tahu menggunakan teori.
Semoga mahasiswa calon guru SD kami memahami kepeloporan dari John F. Kennedy yang bermimpi bahwa manusia bisa menginjakkan kaki di bulan atau Martin Luther King Jr. yang bermimpi mengenai persamaan hak orang kulit hitam dan kulit putih; atau Galileo Galilei yang bertahan dengan teori heliosentris. Pada masanya, mereka ditertawakan dan seolah-olah berjalan sendirian. Namun, waktu membuktikan kebenaran dari jalan yang mereka pilih.
Ayo mahasiswa, teruslah mempelopori pendidikan yang baik dan bermutu.
Comments :