Guru dan Literasi Dasar
Oleh: Ferry Doringin
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah pertemuan untuk menata kurikulum PGSD di Universitas Binus, seorang dosen senior menegaskan mengenai pentingnya literasi dasar. “Kita boleh memiliki program yang banyak dan trendy, tapi akan sedikit manfaatnya kalau tidak memperhatikan literasi dasar,” begitu kira-kira usulannya.
Dalam dunia pendidikan, literasi dasar merujuk pada konsep 3R (Reading, wRiting, dan aRithmetic). Orang perlu memahami konsep sangat dasar dalam ilmu ini dan dengan itu, dia bisa mengembara lebih jauh, lebih tinggi, lebih dalam, dengan konsep-konsep yang bervariasi.
Ketidakmampuan dalam literasi dasar akan mendatangkan masalah besar; sebab, konsep-konsep lanjutan membutuhkan konsep dasar tersebut. Ketika fondasi seseorang menjadi kokoh maka dia bisa menyangga lantai demi lantai di atasnya dengan baik. Fondasi yang rapuh hanya mendatangkan ‘ambruk’.
Ada yang bilang kalau konsep 3R itu hanya relevan pada dunia anak. Namun ternyata ‘tidak’. Konsep itu adalah kunci sukses, bahkan untuk orang dewasa, orang yang sedang mencari pekerjaan, orang yang harus menganalisa, orang yang harus membuat keputusan.
Berapa pun usia dan pekerjaan kita, sukses kita tergantung pada kemampuan membaca, menulis dan berhitung itu. Ya.. itu tadi.. kita harus lengkap memiliki 3R. Coba ingat ketika kita mencari kerja. Ada macam-macam tes dan biasanya terkait dengan 3R ini. Makin rumit pekerjaan dan makin tinggi ijazah yang dibutuhkan, 3R itu juga makin sulit. Kemampuan seseorang menentukan job yang bisa dia masuki, juga menentukan jumlah gaji.
Relevankah 3R untuk mahasiswa PGSD. Bukan hanya relevan bahkan maha relevan. Guru dan calon guru adalah insan yang membantu generasi muda membangun fondasi pengetahuan mereka. Apalagi anak-anak usia SD, mereka sangat butuh tuntunan dan bantuan, karena saat itulah masa awal mereka membangun dan memperkuat fondasi pengetahuan.
Ketika fondasi pengetahuan siswa rapuh, siswa tidak mampu menyerap ilmu secara maksimal. Preciosa Soliven dalam sebuah kolomnya di The Philippine Star menyatakan bahwa penyebab lambannya kemampuan belajar siswa adalah guru yang tidak memberi tahu siswa cara belajar efektif dan efisien. Tanpa bantuan maksimal, siswa hanya menjadi HALF-DOER, menangkap setengah, belajar setengah dan mempraktekkan setengah. Half-doer terjadi ketika siswa atau pembelajar berhadapan dengan guru yang tidak memiliki pengetahuan cukup atau ketrampilan mumpuni untuk menjadi seorang guru.
Pada jaman canggih ini, kemampuan 3R mungkin saja dibatasi oleh televisi dan macam-macam alat bantu teknologi, termasuk kalkulator dan sebagainya. Siswa atau pembelajar tidak menyadari bahwa ketergantungan pada alat bantu bisa mengurangi kemampuan mereka. Orang memiliki kemampuan terbatas karena berharap pada alat bantu itu. Padahal, keterbatasan pada 3R membatasi juga kemampuan seseorang pada hal-hal yang lebih kompleksi, misalnya kemampuan menganalisa dan kemampuan merangkum dan membuat laporan yang baik baik.
Selain membantu siswa agar tidak menjadi pembelajar yang setengah-setengah, guru juga perlu membantu siswa agar makin antusias dan cinta belajar. Guru yang baik bisa membantu siswa menghilangkan rasa bosan. Guru yang baik juga yang mengarahkan siswa sehingga tidak melihat ‘belajar’ sebagai beban. Di tangan guru, siswa bisa menemukan kegairahan dalam mengejar pengetahuan.
Mahasiswa PGSD, mari sejak sekarang mempersiapkan diri untuk menjadi guru dan calon guru yang baik, yang kompeten dalam mempersiapkan fondasi pengetahuan siswa.
Comments :