Oleh: Fransiska Astri

Belajar sains itu membosankan

Dari sebuah survey yang dilakukan peneliti independen di Eropa, sebanyak 51% siswa mengatakan bahwa pelajaran sains adalah pelajaran yang sulit, membingungkan, dan membosankan. 79% siswa mengasosiasikan bahwa hanya orang yang memiliki keturunan pandai lah yang bisa menekuni sains dan hampir seluruh siswa setuju bahwa persepsi mereka terhadap sains juga dipengaruhi cara guru dalam membawakan pelajaran sains itu sendiri. Kebanyakan guru dianggap tidak paham betul tentang apa yang mereka ajarkan, sehingga para guru  membuat siswa menjadi objek belajar yang hanya dicekoki ilmu yang mereka anggap asing setiap harinya. Dalam sebuah komunitas dunia maya guru sains di Eropa (EducationDegreeSource.com/ Free_ Info), disampaikan bahwa umumnya sains dibawakan oleh guru yang tidak terlalu menyukai sains, sehingga pada saat mengajar, rasa tidak sukanya juga ditularkan kepada anak didiknya. Coba bayangkan jika sains dibawakan oleh guru yang memang memiliki ketertarikan terhadap sains, guru tersebut bisa mengajarkan sains seperti ia mengajarkan seni, olahraga, atau games lain sehingga sains menjadi menarik dan mudah disukai siswa.

Ada sebuah pertanyaan yang terlontar dari seorang siswa, “Kenapa kita harus belajar sains? ilmu ini nggak pernah terpakai kok!” kemudian guru atau orang tuanya akan berkata “Kamu salah nak, sains sangat penting. Kamu akan menyadarinya saat sudah lulus dari sekolah.” Nah, kenapa siswa tidak diajak saja untuk melihat daya tarik dan kebergunaan sains saat di sekolah?  Hal ini diperkuat pernyataan dari NSSE (Natural Study of Student Engagement) bahwa untuk mengembangkan kurikulum di sekolah dasar, pertanyaan yang paling mendasar adalah “Apa fungsi dari pelajaran sains dalam kehidupan sehari-hari?”. Kegiatan belajar yang disesuaikan dengan perilaku sehari-hari akan membuat pembelajaran menjadi aplikatif dan bermakna. Ausubel (1963) menyatakan bahwa bahan pelajaran yang dipelajari harus “bermakna” (meaningfull) dengan  mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Belajar bermakna (meaningfull learning) yang digagas Ausubel ini adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya. Sehingga belajar dengan hanya sekedar menerima dan menghafal (rote learning) tidak lagi menjadi bermakna (meaningless) bagi siswa.

Kurikulum Sains di Sekolah Dasar

 Seorang pengamat pendidikan yang terlibat dalam survey penelitian tentang sains di Eropa mengatakan bahwa sebenarnya sains bukan pelajaran sulit, membingungkan, apalagi membosankan seperti yang dikatakan para siswa. Hal yang membuat pelajaran sains nampak mengerikan adalah kurikulum dan cara membawakannya yang buruk sehingga siswa tidak dapat menemukan kesenangan dalam belajar sains. Baylei (King, 2002) menyatakan bahwa kurikulum sains seharusnya “dipermudah” sehingga melibatkan hal-hal yang relevan untuk para siswa sekolah dasar. King (2002; 8) memaparkan bahwa kegiatan belajar sains pada sekolah dasar seharusnya menekankan pada pengamatan, pengumpulan, dan pendataan. NSSE (King, 2002) banyak memberikan kritikan kepada kurikulum sains yang terlalu membebani siswa sekolah dasar dengan konten yang terlalu luas dan terlalu dalam. NSSE juga menjabarkan tiga kriteria area objek yang dipelajari dalam pelajaran sains di tingkat sekolah dasar. Area tersebut adalah bahwa objek yang dipelajari harus:

  1. Memperkuat dan memodifikasi pemikiran siswa
  2. Meliputi keterampilan, informasi dan kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan tubuh, dan privasi di masyarakat umum
  3. Meliputi fakta, prinsip, generalisasi dan hipotesis yang penting untuk dapat menginterpretasi fenomena yang terjadi sehari-hari

Untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan kesulitan siswa Indonesia dalam belajar sains, berikut dijabarkan lingkup, kedalaman, dan susunan materi pokok pada standard isi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI.

Standar isi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI membatasi ruang lingkup materi pokok IPA untuk SD pada empat bahan kajian (Firman dan Widodo, 2008), yakni:

  1. Makhluk hidup dan proses kehidupan
  2. Benda dan sifat-sifatnya
  3. Energi dan perubahannya, serta
  4. Bumi dan alam semesta

Jika diamati, keempat bahan kajian dalam standard isi mata pelajaran IPA SD/MI ini terpaut pada fenomena alam yang dekat dengan peserta didik sehingga perlu mereka pahami dan ketahui hal ini sesuai dengan kriteria area objek yang dipelajari dalam sains yang dipaparkan NSSE (King, 2002). Bahan kajian IPA tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya semua fakta yang ada di buku pelajaran bisa ditemukan di alam. Tinggal bagaimana guru mengarahkan siswa untuk mampu belajar dengan alam melalui metode-metode dan strategi belajar yang efektif. King (2002; 37) menyampaikan bahwa sebaiknya, guru lebih mengembangkan konten pelajaran sains di sekolah dasar melalui instruksi pedagogik atau lebih kepada pembimbingan.

Dari sudut pandang teori perkembangan kognitif, kemampuan anak usia sekolah dasar masih berada pada tingkat operasi konkrit, dalam arti mereka hanya memahami suatu objek jika objek tadi konkrit bagi mereka. Oleh karena itu, percuma saja menjejali siswa dengan konsep yang abstrak bagi mereka, karena ilmu yang mereka terima hanya berupa hafalan yang tidak meiliki makna sehingga pengetahuan baru tidak terhubung dengan pengetahuan lama. Agar mata pelajaran IPA berguna bagi peserta didik SD/MI, maka kegiatan pembelajaran harus lebih banyak berupa latihan kerja ilmiah dibandingkan penyampaian pengetahuan ilmiah (Chailee dan Britain, 2003). Firman dan Widodo (2008) menyarankan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan sains yang efektif di tingkat sekolah dasar, para pengembang kurikulum di tiap satuan pendidikan, penulis buku teks pelajaran dan guru perlu memandang “lebih sedikit lebih baik” terhadap kedalaman dan keluasan materi pembelajaran. Dengan begitu, akan tersedia lebih banyak waktu baik untuk siswa dan guru untuk mengeksplorasi alam sebagai wahana belajar.

Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan sekaligus merupakan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Kurikulum merupakan suatu proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar kelulusan dalam satu periode tertentu. Menurut Sanjaya (2008; 4) kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman potensial (isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi di dalam kelas, di halaman sekolah, maupun luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Shepperd dan Ragan (1982; 327) sains terlibat dalam kurikulum pendidikan sekolah dasar untuk membantu siswa mencapai perkembangan intelektual, sosial dan mental. Hal ini berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah belajar sains. Kompetensi yang dimaksud adalah:

  1. Memahami metode ilmiah yang digunakan oleh para peneliti
  2. Mengapresiasi pencapaian dan daya tarik karir yang bersifat sains
  3. Memahami kontribusi pelajaran sains dalam mencapai kesehatan tubuh optimal

The National Science Teachers Association, selaras dengan Firman dan Widodo (2008) menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan sains bukanlah sekedar agar siswa menguasai konten IPA, namun lebih kepada mendidik siswa menjadi manusia yang mengerti nilai, sikap dan keterampilan IPA untuk menunjang perkembangannya sebagai manusia seutuhnya (memiliki kompetensi literasi sains).  Bahkan, penguasaan konten IPA adalah sebagian kecil tujuan pendidikan IPA di sekolah dasar. Nilai dasar yang dapat diadaptasi dari pendidikan sains adalah (Shepperd dan Ragan, 1982):

  1. Selalu ingin mengetahui dan memahami ilmu baru
  2. Selalu bertanya
  3. Mencari sumber data yang valid
  4. Mencari verifikasi yang dapat dipertanggung jawabkan
  5. Berfikir logis
  6. Penuh pertimbangan, dan
  7. Menyadari setiap konsekuensi dari perilaku.

Chaille dan Britain menguatkan mengenai pencapaian nilai dalam kaitannya dengan pemilihan konsep yang diajarkan adalah bahwa pendidikan sains di sekolah dasar bukan semata-mata mengajarkan pengetahuan ilmiah saja, namun juga mengembangkan kemampuan dasar untuk melakukan kerja ilmiah, termasuk di dalamnya mengamati, mencatat hasil pengamatan, menafsirkan data pengamatan, menggolongkan objek berdasar kesamaan yang diamati, mengajukan hipotesis, sampai merancang penyelidikan untuk menguji hipotesisnya (2003, 69).

Aspek penting lain dari substansi kurikulum adalah susunan materi yang diajarkan. Agar materi mudah dicerna siswa, guru perlu metransfer ilmu secara berkelanjutan dari yang bersifat konkrit sampai yang abstrak. Aiuto (Firman dan Widodo, 2008) mengatakan bahwa strategi pemilahan materi pokok dalam kurikulum ini disebut penspiralan muatan kurikulum. Penspiralan digambarkan dengan kemunculan konsep yang sama pada grade yang berbeda, namun juga memiliki tingkat kedalaman yang berbeda.

Karakteristik Pelajaran Sains Vs Karakteristik Anak

Sains atau IPA adalah cabang ilmu yang fokus pengkajiannya adalah alam beserta proses yang terjadi di dalamnya. Namun, apakah hakikat pendidikan IPA sesungguhnya? Firman dan Widodo (2008; 24) menjabarkan pendidikan IPA ke dalam tiga hal:

  1. IPA sebagai produk

Kajian teori yang ada dalam pelajaran IPA adalah hasil temuan penelitian (produk) dari para ilmuwan semenjak dahulu kala. Namun, ilmu selalu berkembang, sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam menemukan hal baru. IPA sebagai produk berarti siswa tidak sekedar mempelajari yang sudah ada, namun juga berusaha mengembangkan keilmuan yang ada sehingga mendapatkan temuan yang baru.

  1. IPA sebagai proses

IPA sebagai proses terangkum dalam cara-cara yang digunakan ilmuwan dalam menghasilkan atau menemukan suatu fenomena baru yang disebut metode ilmiah.

  1. IPA sebagai sikap

Seorang ilmuwan dituntut untuk memberikan data yang sahih dalam setiap melakukan atau mempublikasikan penelitiannya. Hal ini mendidik siswa untuk memiliki nilai-nilai dasar seperti kejujuran, logis, penuh pertimbangan dan bertanggung jawab.

Usia sekolah dasar adalah saat dimana individu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan paling singkat dan drastis baik secara fisik maupun mental. Pertumbuhan dan perkembangan ini meliputi fisik dan kognitif. Secara fisik dapat dilihat berdasarkan pertambahan tinggi atau besar tubuhnya, namun secara kognitif bisa dilihat dari dua aspek, secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif bila kita mengukurnya melalui IQ yang dicapai dan secara kualitatif bila diobservasi melalui tiap tahapan perkembangan yang notabene keduanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik siswa usia sekolah dasar umumnya masih senang bermain, tidak bisa diam, senang bekerja dalam kelompok, dan lebih tertarik untuk belajar melalui merasakan atau melakukan secara langsung (hands on).

Merancang Kegiatan Belajar yang Menyenangkan

Strategi adalah langkah-langkah yang digunakan untuk memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam pendidikan, J. R. David (Sanjaya, 2010) mengatakan bahwa strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Kegiatan belajar yang baik adalah kegiatan yang dapat membuat siswa merasa antusias, berpengalaman dan merasa telah memenangkan suatu ilmu pengetahuan sehingga ilmu tersebut akan menjadi bermakna. Yang terpenting dari sebuah pembelajaran bukanlah buku teks atau peralatan pendukung, bukan pula teknologi yang ada, tapi yang terpenting adalah sikap guru dalam membawakan pelajaran tersebut, mampukah guru menarik minat siswa dan membuat pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan. Greenlee (Carre dan Ovens, 2006) menekankan bahwa guru sains sekolah dasar mestinya membuat iklim pelajaran sesuai dengan alur siswa. biarkan siswa belajar selayaknya mereka bermain, biarkan mereka mengeksplorasi sendiri, buatlah suasana belajar yang permissive, dan rancanglah kegiatan untuk masing-masing individu. Wells (King, 2002) mengatakan bahwa dalam kegiatan belajar, guru berfungsi sebagai teman yang baik yang menyediakan prosedur belajar dan juga sumber informasi bagi siswanya. ESS (The Elementary Science Study), SAPA (Science, A Process Approach) dan ahli pendidikan di Indonesia sepakat, bahwa pelajaran sains di sekolah dasar sebaiknya berakar pada proyek atau aktivitas secara langsung yang melibatkan metode ilmiah dengan guru sebagai pembimbing dan sumber bantuan informasi sehingga tujuan pelajaran sains yang membentuk siswa dengan kompetensi literasi sains dapat tercapai.

Daftar Pustaka

Allen,R.(2006).The Essentials of Science Grade K-6: Effective Curriculum, Instruction and Assessment. Virginia: ASCD Publication

Carre, C & Ovens, C.(2006).Science 7-11: developing Primary Teaching Skills. Canada: Routledge

Chaille, C & Britain, L.(2003).The Young Child as A Scientist: A Constructivist Approach to Early Childhood Science Education. Boston: Pearson Education.inc

Firman, H & Widodo, A.(2008).Panduan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam SD/MI. Jakarta: Pusbuk Depdiknas

King, K.(2002).Technology, Science Teaching, and Literacy, A Century of Growth. New York: Kluwer Academic Publisers

Sanjaya, W.(2010).Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group

Shepherd, G & Ragan, W.(1982).Modern Elementary Curriculum. Canada: CBS College Publishing