Oleh: Ferry Doringin

Awal Juni 2016, pada kesempatan sit-in di kelas Prof. Sasmoko, saya terinspirasi dengan diskusi hangat para mahasiswa PGSD Binus terkait Filsafat Pendidikan, Kurikulum 2013, dan pengembangan kurikulum. Inspirasi itu, tertuang dalam refleksi berikut, yang dibuka dengan imajinasi mengenai dua kelas berbeda:

Di kelas A, para siswa sedang belajar konsep-konsep dasar mengenai matematika. Suasana terdengar gaduh bahkan sesekali sangat gaduh. Beberapa kali ada siswa yang berdiri berputar-putar dan ada kompetisi dalam kelompok. Sebuah lagu yang dibawakan oleh para siswa menambah gegap gempita suasana kelas Matematika tersebut. Rupanya, guru mengajak siswa mengingat konsep tertentu dalam Matematika dengan mengajak mereka melagukan itu.

Di kelas B, dengan penuh disiplin, siswa diarahkan untuk duduk sopan, tangan di meja dan tidak pernah boleh berisik. Kalau bisa, siswa jangan dulu pegang pena, harus mendengarkan dulu dengan teliti baru kemudian mulai menulis.

Guru atau calon guru di program PGSD akan memilih kelas mana? Siswa kira-kira lebih memilih kelas mana? Praktisi pembelajaran aktif akan memilih kelas A. Mereka menyatakan bahwa pendidikan yang efektif menempatkan siswa atau pembelajar sebagai subjek. Pembelajar dipandang sebagai pihak yang mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitasnya. Pembelajar tidak boleh pasif.

Pandangan ini berakar dari aliran filsafat pendidikan yang dianggap pro-perubahan. Bagi mereka, pengetahuan itu berubah dan tergantung konteks. Maka, siswa yang belajar adalah siswa yang berusaha merespon konteks hidupnya agar bisa hidup lebih baik. Yang termasuk Filsafat Pendidikan pro-perubahan adalah Filsafat Pragmatisme, Eksistensialisme, dan Rekonstruktivisme.

Pragmatisme menyatakan bahwa belajar adalah upaya untuk memperoleh ketrampilan tentang bagaimana menjalani hidup saat ini. Hampir sama dengan pragmatisme, eksistensialisme menekankan bahwa belajar adalah upaya untuk memperoleh ketrampilan tentang cara membuat pilihan-pilihan sebagai manusia bebas. Pilihan itu adalah pilihan saat ini.

Aliran pro-perubahan ini merupakan kebalikan dari filsafat anti-perubahan yang percaya bahwa pengetahuan itu statis, tidak berubah, dan merupakan prinsip-prinsip dasar yang harus dikuasai siswa. Guru berperan aktif untuk mentransfer pengetahuan dan siswalah penerima pengetahuan itu. Pendukung aliran anti-perubahan adalah Filsafat Pendidikan Perenialisme dan Esensialisme.

Bagi aliran pro-perubahan, cara belajar harus dinamis dan mengikuti situasi; sedangkan anti-perubahan menekankan tertib dan disiplin dalam belajar.

Saya menghayati bahwa pendidikan seharusnya mencari titik temu antara dua filsafat pendidikan itu, filsafat pro-perubahan dan filsafat pro situasi statis. Pendidikan perlu membantu siswa memahami konsep-konsep serta prinsip-prinsip dasar kehidupan dan alam semesta. Namun, hal-hal yang statis itu harus dibawakan dalam suasana  aktif penuh dinamika.

Tertib dan disiplin yang menjadi ciri perenialisme dan esensialisme, sepertinya makin ditinggalkan. Siswa tidak boleh duduk kaku, penuh sopan santun mendengarkan kelas dengan tenang. Justru, dinamika demi dinamika harus dihidupi dimana siswa didorong untuk mengkonstruksi, membangun pemahaman dari pengalaman hidupnya; model pembelajaran tradisional dimana siswa mendengarkan guru dengan duduk diam makin ditinggalkan.

Namun, ada bahaya dalam model seperti ini, bila orang berpikir bahwa belajar efektif berarti orang keluar dari diri, menemukan pengalaman demi pengalaman bersama teman-teman atau di dalam dunia dan meninggalkan situasi tenang untuk berefleksi.

Pedagogi Reflektif Ignasian yang menjadi ciri khas sekolah-sekolah Jesuit (misalnya: Kanisius, Gonzaga dan De Brito) mendorong pembelajar untuk berefleksi, berusaha menjadi diri sendiri dan berkarakter. Dengan refleksi, pembelajar menjadi orang yang jujur, peka, dan terlibat dalam hidup sosial sesama. Pada tingkat yang lebih jauh, orang itu mengarah pada upaya untuk menjadi peduli pada sesama dan berani untuk mengatakan bahwa dia ada bersama bahkan untuk orang lain: Itulah karakter.

Kurikulum Nasional kita terus mengalami perubahan. Makin tertanam kesadaran bahwa sejauh ini kemampuan kognitif siswa terlalu ditekankan dan hal itu tidak bisa lagi terjadi. Dalam sistem lama, siswa memahami prinsip-prinsip yang kuat, teori-teori yang sangat tinggi tetapi lemah dalam praktek dan refleksi. Makin disadari bahwa ranah afektif dan psikomotor sangat penting untuk diperhatikan. Pembelajaran aktif menyumbang banyak untuk hal tersebut. Siswa tidak bisa hanya menguasai teori tetapi juga harus trampil dan harus berkarakter.

Dengan pemahaman mengenai pentingnya ranah-ranah yang saling melengkapi, makin disadari mengenai pentingnya pembelajaran tematik dan pembelajaran terintegrasi (salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh Kurikulum 2013). Kemampuan refleksi juga diasah dalam Kurikulum 2013.

Terima kasih untuk kesempatan sit-in bersama Prof. Sasmoko dan diskusi cukup mendalam dengan para mahasiswa PGSD.*