REVOLUSI MENTAL DI DUNIA PENDIDIKAN
Oleh: Ferry Doringin
“Masalah dalam dunia pendidikan begitu banyak. Namun, reformasi pendidikan atau revolusi mental bisa terjadi bukan karena kita melihat masalah itu tetapi ketika kita menciptakan suasana positif dan mau berpartisipasi menyelesaikan masalah bangsa.” Kalimat itu sering diucapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.
Berpikir positif merujuk pada harapan bahwa dengan modal yang ada, kita bisa menyelesaikan masalah-masalah kita. Menteri Anies suka mengutip ucapan langkah Presiden pertama RI Soekarno yang mengatakan: berikan saya 10 pemuda dan saya akan mengguncangkan dunia. Soekarno tidak mengeluh bahwa pada saat itu para pemuda tidak bersekolah tinggi dan mungkin keletihan setelah perang panjang merebut kemerdekaan.
Menteri Anies juga merefleksikan rumusan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan tekad bangsa ini: menciptakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Bila menengok kondisi bangsa saat itu yang baru saja menyatakan kemerdekaan, sepertinya, bangsa Indonesia minus dalam segala hal: kemiskinan terjadi dimana-mana (tapi Sukarno menyatakan: menciptakan kesejahteraan umum); buta huruf sangat tinggi (tetapi Soekarno mengatakan: mencerdaskan kehidupan bangsa).
Sikap positif Soekarno yang tergambar dalam pidato-pidatonya direspon oleh rakyat yang bangga pada pemimpinnya dan rela bergerak dan menyingsingkan lengan ketika dibutuhkan.
Dalam sejarah dunia, sikap positif bahkan bisa mengubah sesuatu yang kelihatan hampir tidak mungkin. Konteksnya adalah Amerika Serikat tahun 1800-1900-an yang sangat kental dengan politik segregasi. Masyarakat kulit putih menikmati fasilitas umum terpisah dari masyarakat kulit hitam. Di sekolah, toko, kereta, dan gereja sekalipun kaum kulit hitam menggunakan sarana yang lebih jelek dibandingkan kulit putih. Politik segregasi sudah dilembagakan dengan ditetapkan dalam undang-undang.
“Kalau kamu tidak pernah berpikir seperti seorang budak, tak akan ada seorang pun bisa membuat kamu menjadi budak.” Martin Luther King sering mendengar kata-kata tersebut dari orangtuanya dan dia meyakininya.
Berbekalkan keyakinan itu, dia berjuang untuk mengubah politik segregasi yang saat itu sudah ditetapkan dalam undang-undang. Dia datang kepada siapa saja untuk meminta pertolongan termasuk kepada Presiden yang memiliki hak untuk mencabut UU segregasi. Ketika Presiden Eisenhower menolak membantunya, King mencalonkan diri menjadi Presiden. Dia gagal menjadi Presiden; namun pengaruhnya terus bertambah.
Dianggap sebagai pembela utama masalah diskriminasi, ditetapkan sebagai Man of the Year oleh Majalah Time, dan akhirnya mendapat hadiah nobel perdamaian tahun 1964, King tak tertahankan untuk mewujudkan ide-ide persamaan hak yang tak pernah henti diperjuangkannya. Tahun 1968, King terbunuh namun ide persamaan haknya tak bisa dibungkam.
Dalam teori psikologi dikenal istilah ’Wishful Thinking Prophecy’ yang berarti impian yang tergenapi. Ketika kita memiliki keyakinan yang kuat dan kita mempercayainya maka keyakinan itu akan terwujud dalam kenyataan. Kita akan gagal bila suka mengeluh dan menghipnotis diri tidak mampu.
Bila menengok situasi pendidikan Indonesia, orang sering melihat hasil asesmen PISA atau TIMMS yang menempatkan Indonesia di urutan yang paling bawah. Perlukah kita tertawa getir atau menangisinya? Sikap itu tak akan mengubah apa pun. Bangun optimisme kita dengan melihat sisi lainnya lagi bahwa di antara siswa yang mengikuti asesmen, ada sejumlah anak yang berprestasi sangat tinggi. “Head to head, kita tidak akan kalah dari bangsa lain karena ada segelintir yang begitu hebat,” ujar Menteri Anies pada suatu forum.
Berpikir negatif dan kemudian berbicara negatif membuat orang saling menuduh, saling menyalahkan, bahkan saling memaki. Berpikir positif dan kemudian berbicara positif, membuat orang merasa berharga, bangga dan siap berpartisipasi nyata. Mari kita berpikir positif dan ambil bagian dalam menyelesaikan masalah bangsa.*
Comments :