Oleh : Dr. Meilani Hartono, S.Si., M.Pd.

Ketika anak sudah saatnya masuk TK, sibuklah orangtua mencari guru les atau tempat belajar calistung (membaca, menulis dan berhitung)  untuk si buah hati. Berbagai alasan dilontarkan untuk memperkuat mengapa hal itu harus dilakukan. Alasan yang paling sering dilontarkan adalah orangtua tidak punya kesabaran ekstra mengajar membaca dan menulis. Berikutnya alasan yang muncul adalah orangtua tidak bisa mengajar matematika karena dulu waktu sekolah tidak pintar matematika, dan alasan yang paling kuat adalah orangtua tidak punya waktu karena sibuk bekerja.

Benarkah begitu adanya? Ketika ketiga alasan tadi dikaji kembali, maka akan muncul berbagai jawaban. Mayoritas orangtua menyatakan kesanggupan akan mengatur waktu kembali agar bisa mengajar membaca dan menulis, tetapi untuk mengajar berhitung alias matematika masih pikir-pikir dan tidak yakin bisa. Mengapa begitu? Karena orangtua tidak yakin dengan kemampuan dirinya. Orangtua merasa kompetensinya tidak cukup untuk mengajarkan matematika pada anaknya. Bahkan dengan malu-malu kucing, sebagian orangtua mengakui betapa sulitnya belajar matematika pada masa sekolah.

Matematika dari masa ke masa selalu dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Matematika dianggap momok. Matematika bukanlah pelajaran favorit, ditambah dengan bayangan guru galak yang mengajar. Itulah image tentang matematika dari waktu ke waktu yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Ketakutan terhadap matematika membuat orangtua enggan mengajarkan matematika kepada anaknya. Padahal, sebenarnya mengajarkan matematika kepada anak-anak sejak usia dini berawal dari rumah, bukan di tempat bimbingan belajar maupun sekolah. Ketika anak-anak berusia 1 tahun, sering kita jumpai orangtua menanyakan kepada anaknya “berapa umurmu?” lalu si anak dengan wajahnya yang lucu menunjukkan telunjuknya sambil berkata “satu” meskipun terkadang masih kurang sempurna kedengarannya. Sebenarnya yang dilakukan orangtua adalah mengajarkan berhitung. Guru pertama anak-anak adalah orangtuanya. Tetapi sayangnya orangtua sebagai guru pertama ini tidak melanjutkan upayanya mengajar anaknya.

Mengajar matematika dengan hasil terbaik harus dlakukan setiap hari. Mengapa demikian? Belajar matematika dapat diibaratkan seperti belajar bahasa. Harus dilatih dan dilatih sehingga lancar. Mengapa demikian? Menurut teori belajar Thorndike : pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah pengulangan  yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangan yang tidak membosankan dan kegiatan, disajikan dengan cara yang menarik. Thorndike juga menegasakan bahwa makin sering pengulangan dilakukan, makin kuat konsep tertanam dalam anak. Ini berarti agar anak menguasai matematika dan memiliki konsep yang kuat  maka harus ada waktu untuk mengulang dan mengulang dengan frekuensi yang teratur. Oleh karena itu, orang tua adalah guru pertama dan terbaik untuk mengajarkan matematika karena orangtua adalah orang yang paling dekat dan punya porsi waktu yang lebih banyak dengan anak. Posisi orangtua tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Hal ini menjadi tantangan dan pilihan bagi setiap orangtua. Jika ingin memiliki anak yang pandai matematika maka orangtua adalah guru pertama dan terbaik yang mengajarkan matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Hergenhhahn,B.R. dan Olson, Mattew H. 2008. Theories of Learning. Jakarta : Kencana Prenada Media Group