Oleh : Prof. Dr. Sasmoko, M.Pd

Dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan, Francis Bacon (1561-1626) dikenal sebagai tokoh perintis ilmu pengetahuan empiris. Hal tersebut bermula dari ketidakpuasannya terhadap ilmu pengetahuan yang pada masanya tidak dapat memberikan kemajuan bagi pengetahuan dan kesejahteraan manusia. Melalui hasil pemikirannya, Bacon dipandang sebagai peletak dasar pertama metode induksi modern, yaitu pelopor usaha sistematisasi logis langkah-langkah ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam perkembangan intelektualnya, Bacon merasa tidak puas dengan metode logika deduktif atau yang lebih dikenal juga sebagai silogisme, yang diperkenalkan oleh Aristoteles (384-322 SM) dan dikembangkan selama abad pertengahan. Dengan demikian, tidak heran jika seluruh bangunan filsafat Bacon bersifat praktis, yaitu untuk menjadikan manusia dapat menguasai kekuatan-kekuatan alam melalui perantara penemuan-penemuan ilmiah yang berguna bagi kenyamanan dan kemakmuran manusia. Bacon tidak ingin meneruskan kekeliruan ilmu pengetahuan lama yang dianalogikan seperti laba-laba, terjebak dalam sarang yang dibuatnya sendiri melalui benang yang dihasilkan oleh dirinya sendiri; yang seperti semut, hanya mampu mengumpulkan namun tidak tahu untuk membangun atau menggunakan apa yang telah dikumpulkannya. Bacon ingin seperti lebah yang mampu mengumpulkan, mengolah, dan membangun.

Bacon menentang ilmu pengetahuan lama yang didasarkan kepada idola (berhala), yaitu gambaran-gambaran yang menyesatkan dan pandangan-pandangan yang keliru. Ada empat berhala. (1) Idola Tribus, yaitu pengetahuan berdasarkan kesimpulan terburu-buru tanpa adanya dasar empiris yang cukup. Berhala atau prasangka ini bersifat umum dalam diri manusia.[1] (2) Idola Specus, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada prasangka individual sesuai dengan seleranya saja, seakan-akan tinggal dalam guanya sendiri.[2] (3) Idola Fori, yaitu pengetahuan didapatkan dari pengaruh cara berbicara seseorang, seperti yang terjadi di pasar (forum).[3] (4) Idola Theatri, yaitu pengetahuan yang didapatkan seperti menyaksikan sandiwara raksasa di panggung filsafat sepanjang masa. Oleh sebab itu, Bacon berpandangan bahwa mulai sekarang ilmu pengetahuan harus dilakukan secara metodis.[4]

Sejak saat itu, Bacon mulai menggarisbawahi pentingnya ilmu pengetahuan ilmiah dijalankan melalui pendekatan yang berbeda. Cara yang menjadi dasar penting tersebut adalah sebagai berikut. (1) Alam harus diwawancarai dan (2) dilakukan menurut suatu metode yang benar, serta (3) bersifat pasif untuk menghindari prasangka-prasangka.

Metode yang benar adalah dengan melakukan pengamatan tanpa prasangka dan menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan yang berulang-ulang dengan menggunakan berbagai macam cara. Setelah itu, data-data yang telah diamati kemudian disusun sehingga dapat ditarik kesimpulan dari fakta-fakta yang telah didapat. Langkah penting selanjutnya adalah meningkatkan pengenalan fakta ke arah pengenalan hukum-hukum yang berlaku atau yang terjadi dalam fakta tersebut. Setelah memahami suatu fakta tunggal tertentu, pengetahuan ilmiah harus sampai pada kesimpulan umum dari hukum-hukum yang berlaku umum atas fakta tersebut. Kemudian hukum ini pun harus diuji lagi untuk sampai pada penetapan hukum sebagai sesuatu yang universal.

Pandangan Francis Bacon kemudian berpengaruh kepada empirisme, yang memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman indrawi sebagai dasar dan sumber pengetahuan, meskipun masih mempertahankan rasionalisme di dalamnya. Pengalaman indrawi yang dimaksudkan oleh empirisme adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia yang bersifat objektif, maupun pengalaman batiniah yang bersifat subjektif. Tokoh Empirisme, yaitu Thomas Hobbes  (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan David Hume pun (1711-1776) dapat juga dimasukan ke dalamnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, yaitu pada abad ke-19, muncullah positivisme, yang tentu saja dipengaruhi oleh empirisme. Pandangan positivisme berdasar pada pengetahuan yang faktual dan positif. Semua pengetahuan di luar yang nyata atau faktual harus dihindari. Akibatnya, metafisika tertolak dalam pemikiran itu. Hal itu terjadi karena metafisika mempertanyakan hakikat dan penyebab segala sesuatu yang ada, yang bagi posivitisme semuanya itu tidak memiliki makna sama sekali. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan nyata. Positivisme membatasi diri pada gejala-gejala yang tampak dan nyata saja.

Posivitisme bertujuan untuk melanjutkan pandangan empirisme, yaitu mengutamakan pengalaman indrawi. Namun, di sisi lain, positivisme membatasi diri pada pengalaman indrawi objektif saja. Sementara itu, empirisme masih menerima pengalaman subjektif atau batiniah sebagai sumber atau dasar pengetahuan. Salah satu tokoh positivisme yang memiliki pengaruh yang kuat adalah Henri de Saint-Simon (1760-1825), seorang pengamat sosial yang memberikan perhatian terhadap masalah yang muncul akibat industrialisasi yang terjadi kala itu.

Setelah itu, Auguste Comte (1798-1857), sekretaris Saint-Simon, mendapat pengaruh yang kuat dan mulai meneruskan pandangan Saint-Simon. Karya-karya dan pemikiran Comte kemudian mempengaruhi John Suart Mill (1806-1873) dan Herbert Spencer (1820-1903) di Inggris. Bagi posivitisme, fakta menyajikan atau menampakkan diri kepada kita sebagai gejala (fenomen) atau penampakan yang kita terima sebagaimana adanya. Kemudian kita mengatur fakta-fakta tadi menurut aturan atau hukum tertentu. Kemudian melalui hukum yang telah ditemukan tadi, kita mencoba untuk melihat masa depan, memprediksi atau memproyeksikan apa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri.

Pandangan Positivisme ini kemudian berkembang menjadi Neo-posivitisme atau lebih dikenal dengan positivisme logis. Pandangan ini berasal dari kegiatan akademis Lingkaran Wina dan Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan antara atomisme logis, positivisme logis, dan semantik. Tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar dari Berlin, yaitu Reichenbach (1891–1953), Neurath (1882-1945). Sementara itu, dari Wina ada beberapa tokoh yang juga memberikan pengaruh besar, yaitu Carnap (1891–1970), Schilck (1882-1936), dan yang paling terkenal adalah Wittgenstein (1889-1951).

Inti dasar Positivisme Logis adalah pengetahuan itu bertujuan untuk menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Positivisme logis berusaha untuk mengatur ulang pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem. Sistem tersebut berupa kesatuan ilmu untuk menghilangkan perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah, seperti fisika, kimia, biologi, psikologi, sosiologi, dst. Sementara itu, logika dan matematika dianggap sebagai ilmu formal yang tidak berbicara tentang dunia, melainkan hanya sebagai kumpulan pernyataan analitis belaka yang merumuskan aturan-aturan transformasi formal yang disepakati.

Pengetahuan ilmiah bagi positivisme logis meliputi beberapa hal, antara lain bahasa teoretis, bahasa observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan kedua bentuk bahasa tersebut. Bahasa observasional harus menyatakan informasi faktual. Di sisi lain, bahasa teoretis harus menyatakan isi bahasa obervasional melalui kaidah-kaidah korespondensi. Pada awalnya positivisme logis dikembangkan untuk ilmu-ilmu alam, namun selanjutnya dikembangkan sampai pada ilmu manusia. Oleh karena itu, semua kalimat bermakna dalam ilmu pengetahuan harus bersifat analitis dan bersifat sintetis. Sementara itu, kalimat analitis dapat berupa kalimat benar (tautologis) dan dapat berupa kalimat salah (kontradiktif), hanya karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual, yang berkaitan atau mengacu kepada fakta empiris tertentu. Di lain pihak, kalimat sintetis (empiris) adalah suatu laporan pengamatan indrawi yang dapat diverifikasi.

Positivisme logis selanjutnya memodifikasi verifikasi karena melihat kekurangan-kekurangan di dalamnya. Dari verifikasi sebagai kriteria keberartian, menjadi verifikasi prinsip dan konfirmasi. Hal ini didukung juga melalui pemerluasan dasar faktual dari pencerapan indrawi, informasi laporan pengamatan, sampai ke bahasa empiris. Pernyataan yang berdasarkan pada percobaan dan bersifat nyata inilah yang memiliki arti atau makna.

Pandangan positivisme logis ini kemudian berkembang lebih lanjut dan melahirkan pandangan post-positivisme. Post-positivisme melihat kebenaran tanpa didasarkan pada keputusan yang diambil dari verifikasi fakta nyata, melainkan berdasarkan proses falsifikasi. Kebenaran ilmiah akan terbukti benar jika telah mengalami penyingkiran kesalahan dan memunculkan masalah yang baru untuk dipecahkan lagi kemudian melalui uji coba terus-menerus. Karl Popper (1902-1999) membuka jalan bagi aliran ini. Popper menyatakan bahwa pengetahuan itu dapat bersifat keliru. Oleh sebab itu, kekeliruan itu harus dibuktikan dan disingkirkan. Kebenaran tidak dapat dicapai, namun hanya dapat didekati. Popper mengajarkan kepada kita untuk belajar dari kesalahan dan berani menerima tidak sampai kepada kebenaran, namun hanya mendekati kebenaran saja. Kemudian pemikiran Popper ini berlanjut kepada Thomas Kuhn (1922-1996) yang terkenal dengan perubahan paradigma dalam perkembangan ilmu. Hal ini didukung pula oleh Mikhael Polanyi (1891-1976) yang mengkritik keyakinan positivisme dan Paul Feyerabend (1924-1994) serta Imre Lakatos (1922-1974).

Ada beberapa pemikir yang tidak puas terhadap positivisme yang telah berkembang pada masa itu. Mereka berusaha dengan konsekuen dan sistematis untuk kembali meneruskan filsafat kritisisme Kant. Mereka lebih senang disebut sebagai aliran Kantianisme, namun mereka kemudian lebih dikenal sebagai aliran Neo-Kantianisme. Otto Liebmann (1840-1912) memainkan peran penting dalam melontarkan himbauan untuk kembali kepada kritisisme Kant.

 

Pada dasarnya, ada dua aliran Neo-Kantianisme di Jerman, yaitu Mazhab Marburg dan Mazhab Baden. Mazhab Marburg diawali oleh Herman Cohen (1842-1918) dan muridnya Paul Natorp (1854-1924). Cohen dan kawan-kawannya menganggap filsafat sebagai analisa logis tentang pemikiran manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling ideal adalah pengetahuan eksakta yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan alam.

Ernst Cassirer (1874-1945) adalah salah seorang anggota Mazhab Marburg dengan pemikiran yang berkembang luas hingga melampaui alirannya itu. Cassirer lebih tertarik mencari apa yang menandai manusia sebagai manusia, dalam perbedaannya dengan mahluk-mahluk lain. Cassirer berpikir bahwa pemecahan persoalan ini harus ditemukan dalam simbol. Manusia adalah makhluk simbol yang membentuk dan mengerti simbol. Selain manusia, mahluk lainnya hanya mengenal tanda. Tanda merujuk pada satu hal saja. Sementara itu, simbol bersifat universal dan kreatif. Melalui simbol, manusia dapat menciptakan suatu dunia kultural, di mana terdapat bahasa, mitos dan agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan.

Manusia tidak bersifat substansial, namun manusia harus dipahami melalui tingkah lakunya yang fungsional. Tingkah lakunya yang fungsional itu dapat dipelajari dari ciptaan-ciptaan simbolisnya: mitos dan agama, bahasa, kesenian, sejarah dan ilmu pengetahuan.

Mazhab Baden dimulai oleh Rudolf Hermann Lotze (1817-1881) dan muridnya Wilhelm Windelband (1848-1915), Heinrich Rickert (1863-1936) murid Windelband, dan Emil Lask (1875-1915) murid Rickert. Apabila Mazhab Marburg mengikuti Kant dengan menekankan rasio teoretis, Mazhab Baden, di sisi lain, mengikuti Kant dengan menekankan rasio praktis. Penekanan pada rasio praktis ini oleh Lotze dihubungkan dengan konsep nilai. Mereka saling merefleksikan ilmu pengetahuan, namun lebih mengutamakan ilmu pengetahuan budaya daripada ilmu pengetahuan alam. Windelband melihat Kant terlalu membatasi diri pada ilmu pengetahuan alam sehingga ilmu pengetahuan budaya, khususnya ilmu sejarah, terabaikan. Sama halnya dengan positivisme yang lebih mementingkan metode dan konsep-konsep ilmu pengetahuan alam.

Bagi Windelband ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan budaya masing-masing memiliki sifat-sifat dasar sendiri yang berbeda. Ilmu pengetahuan alam bersifat nomotetis dan ilmu pengetahuan budaya bersifat ideografis. Ilmu pengetahuan alam memiliki fenomena pengalaman sebagai objeknya, yang dapat diulang dan bersifat kasuistis berkaitan dengan suatu hukum umum dalam alam. Sebaliknya, ilmu pengetahuan budaya bersifat individual, unik, dan tidak dapat diulang.

Beberapa lama kemudian, pembedaan Windelband ini dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), yaitu pembedaan antara Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan alam dan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan budaya. Dilthey menyelidiki status, kodrat, dan metode ilmu pengetahuan budaya (Geisteswissenschaften) yang erat terkait dengan filsafat kehidupan. Filsafat kehidupan Dilthey berupa pemahaman tentang seluruh kehidupan manusiawi yang kita alami menurut kompleksitasnya yang kaya, bukan hanya sekadar kehidupan biologis belaka. Kehidupan individual dan bersama yang membentuk kehidupan sosial dan historis. Emosi, perasaan, pikiran dan tindakan individual sampai dengan lembaga-lembaga sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan ilmu pengetahuan. Bagi Dilthey, pengalaman tentang kehidupan merupakan objek satu-satunya bagi filsafat. Di luar kehidupan tidak ada sesuatu apa pun juga, di sini Dilthey tegas menolak setiap bentuk transendensi.

Dilthey sangat mementingkan pengalaman dan kontak langsung dengan kehidupan. Namun bukan pengalaman dari pencerapan indrawi yang bersifat reduktif dan sempit sebagaimana yang dipegang teguh oleh Positivisme itu. Pengalaman kehidupan bagi Dilthey tidak sama dengan sekumpulan fakta nyata, namun berupa struktur dan makna yang secara spontan diatur oleh prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip ini salah satunya adalah kategori kehidupan. Kategori kehidupan ini adalah sebuah cara untuk menafsirkan kejadian dan unsur-unsur pengalaman lainnya menurut suatu kerangka tertentu. Dilthey mencatat ada tiga kategori kehidupan.

(1) nilai, yang memungkinan manusia mangalami waktu sekarang,

(2)  maksud, yang memampukan manusia untuk mengarahkan dirinya ke masa yang akan datang, dan

(3)  makna, yang membuat manusia mengingat kembali ke masa lampau.

Dalam kehidupan sehari-hari, kategori kehidupan ini berfungsi tanpa disadari oleh subjek yang bersangkutan. Namun, berdasarkan kategori kehidupan itu, manusia dapat menyusun dan menafsirkan pengalaman kehidupan kita secara sadar dan eksplisit. Agama, mitos, sastra, seni, prinsip moral, adat istiadat, hukum dan undang-undang, merupakan penafsiran dan ungkapan eksplisit penilaian dan pemaknaan pengalaman kehidupan kita. Pertanyaan dasar filsafat kehidupan Dilthey adalah bagaimana mungkin pengalaman bermakna?

Bagi Dilthey, ilmu pengetahuan budaya memiliki suatu metode tersendiri yang tidak dapat ditarik asal-usulnya dari metode ilmu pengetahuan alam. Metode ilmu pengetahuan budaya adalah mengerti atau memahami (Verstehen), sedangkan metode ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan (Erklaren). Verstehen menemukan makna suatu produk manusia, yaitu hal-hal yang hanya dapat dipahami dengan menempatkannya dalam konteksnya. Erklaren menjelaskan kejadian secara kausalitas berdasarkan suatu hukum alam yang umum. Dalam ilmu pengetahuan budaya, pemahaman makna kehidupan sangatlah juga ditentukan oleh pengalaman sang penafsir akan apa yang dimaknainya itu. Dengan demikian pengetahuan akan berbagai bidang juga sangat menentukan pemahaman, seperti dengan memperdalam studi sejarah, biografi, dan psikologi, juga memahami konteks dan sistem sosialnya. Dengan kata lain, sebuah kata hanya dapat dipahami  dalam suatu kalimat atau suatu konteks yang lebih luas lagi. Suatu tindakan hanya dapat dimengerti dalam situasi aktual yang menyeluruh pada saat tindakan itu dilakukan. Dari sinilah kemudian bermula aliran Hermeneutik.

Tokoh Hermeneutika lainnya adalah Martin Heidegger (1889-1976) yang menetapkan bahwa manusia pada dasarnya adalah yang memahami dirinya dengan cara mengartikan dan menafsirkan dirinya. Manusia mencari tahu karena belum tahu sekaligus sudah tahu. Hal ini dikenal juga dengan istilah lingkaran hermeneutis. Murid Heidegger, yaitu Hans-Georg Gadamer (1900-2002) menolak untuk memaknai melalui penafsiran yang kembali kepada makna awal, seperti konteks dari teks dan pengarang teks asli. Gadamer dengan Hermeneutiknya ingin meleburkan cakrawala pembaca teks dengan cakrawala pengarang teks. Di sisi lain, Paul Ricoeur (1913-2005) menekankan adanya jarak antara kedua belah pihak yang bertemu, yang dapat membuka peluang yang menguntungkan bagi si penafsir dan dapat memperluas jangkauan pemaknaan teks tersebut.

Kemudian, Jacques Derrida (1930-2004) menentang usaha rekonstruksi, namun ia tidak hendak melakukan destruksi terhadap teks yang dimaknainya. Menurut Derrida, dalam penafsiran, hal yang diperlukan adalah dekonstruksi, yaitu usaha menulis teks, sambil sementara pada saat yang sama menafsirkan teks di hadapannya untuk memperoleh makna darinya. Derrida mendorong adanya pengalaman kreatif pembaca dalam menafsirkan dan mendapatkan makna dari teks yang ditafsirkannya. Pendapat Gadamer dan Ricouer diradikalkan oleh hermeneutika dekonstruksi Derrida.

Sintesa Positivisme dan Hermeneutik  Sebagai Dasar Neuroresearch

Setelah memperhatikan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di atas tadi, jelaslah bahwa seorang ilmuwan diandaikan selalu ingin mengetahui lebih jauh dan lebih banyak lagi. Ilmuwan selalu merasa tidak puas dan terus gelisah untuk mempersoalkan dan mempertanyakan  pengandaian, teori, metode dan hukum ilmiah yang telah diwariskan oleh para ilmuwan. Ilmuwan tidak mau begitu saja menerima teori dan hukum ilmiah yang telah ditemukan ilmuwan lain. Ilmuwan tidak mau menjadi pelanggan tetap restoran yang disuguhi masakan yang telah siap dihidangkan dan tinggal dinikmati. Seorang ilmuwan itu bertekad menjadi juru masak yang hendak mengolah masakan, bahan-bahan yang diperlukan, dan cara memasak serta menyajikannya. Peneliti itu senantiasa mencermati, menganalisis dan membangun implikasi penelitiannya agar benar-benar ditemukan model kontekstual terhadao komunitas yang ditelitinya melalui berbagai pendekatan. Temuan tidak sekedar melalui pendekatan  kualitatif, tetapi juga pendekatan positifistik (kuantitatif). Penelitian kualitatif dilaksanakan secara eksploratori untuk memotret hal-hal yang sedang diteliti, sedang penelitian kuantitatif bersifat eksplanatori yang bertugas memperdalam temuan penelitian eksploratori. Dengan dipadukannya kedua pendekatan tersebut, penelitian akan menjadi menarik karena memberi peluang menggali semakin dalam melalui berbagai kategori latar belakang melalui pendekatan penelitian konfirmatori.  Demikian juga pengandaian seperti inilah yang menjadi landasan di mana Neuroresearch hendak diletakkan secara kontekstual.

Secara teoretis Neuroresearch merupakan suatu penelitian yang berusaha menyintesakan metode ilmu pengetahuan alam dan metode ilmu pengetahuan budaya. Sintesa atas pemilahan kategorial yang telah dibuat oleh Windelband dan kemudian dikembangkan oleh Dilthey, yaitu bahwa ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Geisteswissenschaften) masing-masing memiliki sifat-sifat dasar sendiri yang berbeda.

Ilmu pengetahuan alam bersifat nomotetis yang berarti memiliki fenomena pengalaman sebagai objeknya, yang dapat diulang dan bersifat kasuistis berkaitan dengan suatu hukum umum dalam alam. Metode ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan (Erklaren). Erklaren menjelaskan kejadian secara kausalitas berdasarkan suatu hukum alam yang umum. Ilmu pengetahuan budaya bersifat ideografis yang bersifat individual, unik, dan tidak dapat diulang. ilmu pengetahuan budaya memiliki suatu metode tersendiri, yang tidak dapat ditarik asal-usulnya dari metode ilmu pengetahuan alam. Metode ilmu pengetahuan budaya adalah mengerti atau memahami (Verstehen). Verstehen menemukan makna suatu produk manusia, yaitu hal-hal yang hanya dapat dipahami dengan menempatkannya dalam konteksnya.

Sintesa Neuroresearch ini dijalankan untuk mendapatkan kebenaran atau makna dalam penelitian bidang sosial sebagai ilmu pengetahuan maupun rumpun ilmu lainnya. Usaha ini ternyata tidak saja memiliki dasar teoretis dan historis yang kokoh sebagaimana telah dijelaskan di atas tadi. Namun juga mengandung dinamika kreativitas yang dapat memberikan masukan dan sumbangan bagi kemajuan penelitian dan perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia secara khusus dan ilmu lainnya secara umum. Tentu saja model sintesa untuk metode ini masih terus dalam proses penyempuraan yang bersifat lingkaran hermeneutis dan masih harus selalu diuji coba melalui penggunaannya dalam ranah ilmu pengetahuan.

Buku Bacaan

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996.

Bacon, Francis. Novum Organum. Cambridge: Cambridge University Press. 2000.

Beekman, Gerard. Filsafat, Para Filsuf, Berfilsafat. Jakarta: Erlangga. 1984.

Beerling. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1997.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. Jilid I. Jakarta: Gramedia. 1983.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. Jilid I. Jakarta: Gramedia. 1983.

Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia. 1987.

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1998.

Bulhof, I.N. Wilhelm Dilthey. A Hermeneutic Approach to the Study of History and Culture. The Hague: Martinus Nijhoff. 1980.

Bunge, Mario. Philosophy of Science: From Problem to Theory. New Jersey: Transaction Publishers. 2009.

Caputo, John D. Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project. Bloomington: Indiana University Press. 1988.

Cassire, Ernst. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia. 1987.

Fee, Gordon D. Eksegesis Perjanjian Baru. Malang: Literatur SAAT. 2011.

Friedman , Michael. Reconsidering Logical Positivism. Cambridge University Press, Cambridge, 1999.

Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics. Berkeley: University of California Press. 1976.

Guba G. Egon. The Paradigm Dialog. London: Sage. 1990.

Kockelmans, Joseph J. (Ed.). Philosophy of Science: The Historical Background. New Jersey: Transaction Publishers. 1999.

Kraft, Victor. The Vienna Circle: The Origins of Neo-Positivism. New York: Philosophical Library. 2008.

Makkreel, Rudolf A., and Luft, Sebastian. (Ed.). Neo-Kantianism in Contemporary Philosophy. Bloomington: Indiana University Press. 2010.

McGrew, Timothy, Alspector-Kelly, and Allhoff, Fritz. (Ed.). Philosophy of Science: An Historical Anthology. Oxford: Blackwell Publishing.         2009.

Mill, John Stuart, (Ed.). Auguste Comte and Positivism: The Essential Writings. New Jersey: Transaction Publishers. 2009.

Popper, Karl. The Logic of Scientific Discovery. Routledge, London. 2004.

Rickman, Hans Peter. Wilhelm Dilthey, Pioneer of the Human Studies. Berkeley: University of California Press. 1979.

Seebohm, Thomas M. Hermeneutics Method and Methodology. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 2004.

Wachterhauser, Brice R. (Ed.). Hermeneutics and Modern Philosophy. Albany: State University of New York Press. 1986.

[1] Francis Bacon. Novum Organum, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. Hlm: 41

[2] Francis Bacon. Novum Organum, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. Hlm: 41

[3]Francis Bacon. Novum Organum, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. Hlm: 42

[4] Francis Bacon. Novum Organum, Cambridge University Press, Cambridge, 2000. Hlm: 42