1. Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara multi-kultural, multi-etnis, multi-agama yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.  Terdapat sedikitnya 6 agama yang berbeda dan banyak kepercayaan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Dasar NKRI Pancasila merupakan media pemersatu seluruh rakyat, lapisan dan golongan Indonesia.

Dengan adanya Pancasila, maka kerukunan umat beragama di Indonesia terjamin dalam kebebasan yang bertanggung jawab.  Seluruh umat beragama saling menghormati satu sama lain dalam hal beribadah dan perayaan agamanya.  Sungguh begitu indah kondisi yang kondusif pada setiap lapisan masyarakat dalam kehidupan pribadi beragama.  Suatu kebijaksanaan individu secara pribadi yang begitu dalam dan luas.

Namun, kenyataan bahwa di Indonesia terdapat beragam budaya dan adat istiadat serta lapisan masyarakat yang terkotak-kotakkan, memungkinkan terjadinya kesenjangan di antara masyarakat.  Adanya kesenjangan tersebut menyebabkan terjadinya hal-hal yang negatif yang merupakan manifestasi tekanan-tekanan hidup yang makin mendesak serta merupakan suatu titik kritis yang sangat potensial untuk dimanfaatkan secara destruktif oleh sebagian pihak yang tidak menginginkan persatuan yang solid, serta perdamaian di antara masyarakat.

Massa, teror, dan trauma adalah tanda ketidakberdayaan manusia sebagai individu. Hal ini terjadi bukan karena manusia tidak memiliki akal, tetapi karena ia takut menggunakan akal itu, dan memilih untuk menjadi budak otoritas [Hardiman, 2005].  Dalam bukunya “Memahami Negativitas”, Dr. F. Budi Hardiman secara eksplisit memaparkan bahwa keadaan destruktif yang merupakan gerakan massal bersifat negatif adalah merupakan keadaan yang sangat kompleks, melibatkan banyak pihak, dan merupakan kendaraan bagi provokator untuk mencapai tujuan memperkaya diri sendiri.  Sangat mengerikan keadaan “negatif” tersebut, di mana manusia tidak dapat lagi merasa damai, aman dan tenteram.  Jelas bahwa tujuan NKRI yang termaktub dalam pembukaan UUD’45, tentang “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, telah dikhianati.

Salah satu usaha untuk mem-positif-kan keadaan ini, ialah dengan cara membuat suatu sistem yang baik, yang dapat mengakomodasi semua pengetahuan yang baik maupun yang buruk tentang perilaku manusia, yang melibatkan seluruh pihak baik pemerintah, rakyat, ormas, institusi independen, yang dapat saling berkomunikasi dengan baik.

 

  1. Isi

Sistem yang dapat mengakomodasi semua pengetahuan yang baik maupun yang buruk tentang perilaku manusia, melibatkan seluruh pihak , dan komunikasi yang baik, adalah merupakan implementasi dari Knowledge Management (KM).

Pengetahuan semakin diakui sebagai strategis baru. Paradigma paling mapan adalah bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Oleh karena itu, kita harus menimbun, tetaplah untuk mempertahankan diri.  Sikap kebanyakan orang adalah berpegang pada pengetahuan karena apa yang membuat dia atau dia merupakan aset bagi organisasi. Hari ini, pengetahuan masih dianggap kekuatan – kekuatan besar sebenarnya – tetapi pemahaman telah berubah, khususnya dari perspektif organisasi. Paradigma baru adalah bahwa dalam organisasi, pengetahuan harus dibagi agar ia tumbuh. Telah terbukti bahwa organisasi bahwa pengetahuan saham antara manajemen dan staf tumbuh lebih kuat dan menjadi lebih kompetitif. Ini adalah inti dari manajemen pengetahuan yaitu berbagi pengetahuan [Uriarte, 2008].

Keberadaan KM sebenarnya sudah ada sejak dulu, 1969 ARPANET sebagai cikal bakal jaringan internet, 1800 g industrialisasi, 1850 g transportasi, 1900 g komunikasi, 1950 g komputerisasi, 1980 g visualisasi, 2000 g personalisasi,  begitu pula di Indonesia.  Salah satu faktor yang mendukung kerukunan umat beragama di Indonesia adalah KM.

Artikel “Terima Kasih Islam” adalah merupakan contoh penerapan KM yang nyata dalam kerukunan hidup beragama di Indonesia.  KM meliputi tiga hal besar, yakni: manusia, proses dan teknologi.  Berikut ini merupakan tinjauan KM terhadap artikel tersebut.

Manusia.

Dalam artikel “Terima Kasih Islam”, tertulis : “Kalau orang Indonesia mengucapkan terima kasih, …”, jelas bahwa tulisan tersebut berkaitan erat dengan manusia.  Unsur pertama dalam KM jelas terpenuhi bahwa artikel tersebut memaparkan tentang manusia dan perilakunya sebagai makhluk sosial yang hidup dalam kerukunan hidup beragama. Di sini jelas terlihat unsur KM yang terutama adalah hubungan antar manusia.  Tentang bagaimana kehidupan manusia dalam kerukunan beragama.

Proses.

Upaya untuk bangkit dari suatu keterpurukan adalah proses yang panjang.  Dalam rangka mengembalikan kerukunan umat beragama menjadi lebih baik, segala upaya dilakukan.  Termasuk segala upaya untuk menggagalkan tujuan tersebut.  Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyadarkan dan membuka wawasan masyarakat luas lewat tulisan-tulisan.  Tulisan “Terima Kasih Islam” sendiri merupakan sarana berbagi pengetahuan (knowledge) bagi sesama manusia. Kata “berbagi” adalah merupakan proses.  Oleh karena itu artikel tersebut juga memenuhi unsur KM yang kedua, yakni proses.

Teknologi.

Pada salinan artikel “Terima Kasih Islam”, jelas tertulis sumber yang merupakan situs internet.  Teknologi digunakan dalam mendistribusikan pengetahuan sesuai era sekarang ini yang serba instan dan serba internet.

 

Dengan adanya 3 unsur dalam KM, maka artikel “Terima Kasih Islam” dapat dikategorikan sebagai KM.  Proses KM yang tengah berjalan tersebut bertujuan untuk menghasilkan atau paling tidak membuka wawasan para pembaca agar tidak mudah terhasut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.  Lebih jauh, agar melalui artikel tersebut, banyak pihak mulai menaruh perhatian pada masalah kerukunan umat beragama dan mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan yang konkrit untuk menjaga kedamaian hidup beragama di Indonesia.

Untuk menjaga kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, tentu tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah sebagai moderator dan pengatur serta penindak dalam masyarakat.  Pemerintah Indonesia perlu memberikan perhatian yang lebih serius dalam menangani masalah kerukunan hidup beragama ini.  Kelalaian pemerintah dalam hal ini dapat mengakibatkan ketidak nyamanan masyarakat, keresahan dan kekerasan yang terjadi antar suku dan agama.  Banyak contoh kekerasan yang terjadi di Indonesia dengan mengatasnamakan agama.  Kerusuhan di Poso, pembakaran tempat-tempat ibadah, penusukan warga agama tertentu, dan lain-lain.  Sudah waktunya pemerintah menerapkan dan menegakan hokum sesuai amanah UUD’45 tentang kebebasan beragama.

Ada beberapa faktor yang dapat memotivasi pemerintah untuk membentuk sistematis pengetahuan yang benar.  Ini termasuk keinginan atau kebutuhan untuk: (a) mendapatkan wawasan yang lebih baik , (b) mengurangi waktu dan tenaga dalam mencari informasi, (c) menghindari pengulangan kesalahan dan duplikasi yang tidak perlu, (d) mengurangi waktu respons untuk pertanyaan yang sering diminta, dan (e) meningkatkan kualitas dan kecepatan pengambilan keputusan penting [Uriarte, 2008].

Penerapan KM dalam hubungan kemasyarakatan khususnya dalam kehidupan bebas beragama akan sangat berpengaruh untuk menyadarkan masyarakat agar mengetahui lebih jelas mana yang baik dan benar tentang hidup ber-Bhinneka.

 

  • Penutup

Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang tidak buta, mereka memiliki hati nurani yang tergerak dengan adanya kondisi yang mengancam kerukunan hidup beragama.  Mereka mulai meneriakkan suara hati kepada pemerintah yang terlihat kurang memperhatikan keamanan dan kebebasan hidup beragama.  Sekelompok pemuda berdemonstrasi dan menyerukan hal-hal sebagai berikut, seperti diliput oleh koranbaru.com.

Seruan tersebut berisi :

  1. Menyerukan seluruh umat beragama agar secara arif bijaksana menyikapi dan mewaspadai berbagai informasi negative yang terdapat dalam berbagai situs facebook.
  2. Mengajak tokoh Agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat turut mengambil peran dalam menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama yang sudah berjalan baik selama ini.
  3. Meminta kepada aparat penegak hukum untuk segera mengusut dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku atau penistaan agama berdasarkan:
  • Penetapan Presiden No.1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalagunaan dan atau penodaan Agama.
  • Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri(PBM) No.9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
  1. Menghimbau media masa cetak maupun elektronik ikut berperan serta dalam menciptakan suasana yang kondusif, rukun dan damai.

[http://koranbaru.com/seruan-kerukunan-umat-bagi-pengguna-facebook/]

Dalam keadaan yang tidak aman dan tenteram, masyarakat menghendaki agar pemerintah segera mengambil tindakan nyata dalam mempertahankan kerukunan hidup beragama.  Cara yang paling mudah adalah menyebarkan informasi yang benar kepada seluruh rakyat Indonesia lewat segala fasilitas teknologi yang ada, atau dengan kata lain menerapkan KM dalam kerukunan hidup beragama dalam masyarakat.

Mario Nugroho Willyarto

Hardiman, F. Budi, Memahami Negativitas, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2005.

Uriarte, F. A. Jr., Introduction to Knowledge Management, Asean Foundation, Jakarta, 2008.

Elita, R.F.M. Kajian Tentang Manajemen Pengetahuan. SKIM IX, MAY 2005. (http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/01/kajian_tentang_manajemen_pengetahuan.pdf)

http://koranbaru.com/seruan-kerukunan-umat-bagi-pengguna-facebook

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/08/07461835/Terima.Kasih.Islam

Terima Kasih Islam 

KOMPAS, Rabu, 8 September 2010 | 07:46 WIB

Oleh: Al Andang L Binawan*

KOMPAS.com. Kalau orang Indonesia mengucapkan terima kasih, secara eksplisit memang mengatakan bahwa dia telah menerima kasih, entah besar entah kecil, dari rekan bicaranya.

Demikian pula kalau saya ucapkan terima kasih kepada Islam, secara sadar saya sampaikan bahwa saya, sebagai non-Muslim, telah menerima kasih dari Islam di tengah bangsa Indonesia ini.

Kasih itu lebih dari sekadar pemberian. Kasih itu menghidupkan karena ada tiga unsur penting di dalamnya, yaitu penghargaan, penerimaan, dan pengakuan. Penghargaan terkait dengan apresiasi terhadap kelebihan seseorang. Penerimaan lebih terkait dengan kekurangan yang ada. Sementara itu, pengakuan bukan sekadar recognition, melainkan sebuah peng-aku-an, kesempatan untuk sungguh menjadi aku, menjadi pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Bisa dikatakan bahwa kalau dua unsur pertama berada dalam dimensi ruang, unsur ketiga itu menempatkan dua unsur pertama dalam dimensi waktu. Ada proses di dalamnya.

Warga Indonesia sudah sepantasnya berterima kasih kepada Islam. Dalam pengalaman hidup di Indonesia ini, harus diakui bahwa kasih Islam itu pulalah yang telah berperan besar membentuk bangsa ini. Ada banyak alasan, tetapi dalam tulisan singkat ini, hanya beberapa hal yang bisa disebutkan.

Alasan berterima kasih kepada Islam yang pertama tentu saja karena dalam sejarah bangsa ini, Islam tampak menghargai atau mengapresiasi peran elemen masyarakat lain dalam membangun negeri.

Islam menghargai kebhinekaan. Karya-karya sosial dari agama lain, setidaknya yang dialami gereja Katolik, diberi tempat yang layak. Pun, warga non-Muslim yang berpotensi sangat diapresiasi.

Kedua, Islam pun telah menunjukkan toleransi yang besar pada keberagaman. Perlu diingat, toleransi bermakna menanggung kekurangan orang lain. Ini sejajar dengan pengalaman diterimanya agama-agama lain hidup berdampingan dengan Islam.

Meski dalam beberapa hal tidak sama dengan ajaran Islam, keberadaan agama-agama lain diterima di Indonesia, negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia.

Bahkan, Islam di Indonesia mau mengorbankan cita-cita menjadikan negeri ini negeri Islam dengan menerima Pancasila. Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari pun tidak sedikit yang masih mau memberi ucapan pada hari raya kami.

Pengalaman panjang hidup di tengah umat Muslim di Indonesia, dengan penghargaan dan penerimaan itu, membuat kami yang bukan pemeluk Islam sungguh merasa menjadi bagian dari Indonesia. Sebagai umat Katolik, saya merasa tidak didiskriminasi dan mampu mengaktualisasikan semboyan kami: seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia.

Kami sungguh menjadi Katolik dan sekaligus sungguh menjadi warga Indonesia. (Tidak ada niat tersembunyi di balik semboyan itu untuk seratus persen meng-katolik-kan Indonesia.) Itulah pengalaman kami di-aku-i. Itu pulalah alasan ketiga kami berterima kasih kepada Islam di Indonesia.

Memang, dalam proses berinteraksi selama ini, kadang terjadi salah paham atau gesekan. Pengalaman itu terasa menyakitkan meski tetap bisa dipandang sebagai sebuah risiko dari suatu proses pendewasaan bersama. Kami, atau setidaknya saya, tetap berusaha mensyukurinya. Bagaimanapun, kasih tidak selalu berasa manis.

Pengalaman nyata hidup di tengah umat Muslim di bumi Indonesia tadi, setidaknya sampai hari ini, menjadi bukti bahwa pada dasarnya Islam, seperti yang sering saya dengar, adalah rahmat untuk semesta alam. Kalau kami merasa di-aku-i, itu karena kami merasa sungguh hidup. Islam telah menjadi rahmat, menjadi rohima, sebagai kasih yang menghidupkan.

Untuk perjalanan bangsa ke depan, tentu saja kami tetap berharap bahwa jiwa Islam tetap dapat diwujudkan supaya bangsa yang sangat beragam ini tetap dapat hidup damai berdampingan.

Memang, harus diakui, harapan ini disampaikan di tengah sedikit kekhawatiran bahwa rahmat yang selama ini kami rasakan menjadi pudar. Pernyataan Din Syamsuddin, Ketua Presidium Inter Religious Council yang adalah juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa kerukunan beragama sekarang ini cenderung menurun terkait dengan penghalangan oleh sebagian umat pada umat beragama lain dalam beribadat (Kompas, 28/8/2010) mencerminkan juga kekhawatiran kami.

Memang, pernyataan itu juga didasari oleh kekerasan yang dialami oleh sebagian jemaat non-Muslim, yang sebagian terjadi atas nama Islam. Karena itu, pada hari yang sangat istimewa bagi Islam ini, kami selain mengucapkan selamat Idul Fitri dan sekaligus mengucapkan banyak terima kasih kepada Islam dan umatnya tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai agama yang memberi kehidupan tetap dapat terus diwujudkan, bukan hanya untuk umatnya, melainkan juga untuk seluruh isi semesta alam.

Konkretnya, untuk Indonesia, wujud Islam sebagai rahmatan yang kami harapkan adalah Islam seperti yang pernah kami alami, Islam yang ramah. Dalam Islam yang penuh toleransi dan mau duduk bersama untuk berunding, kami merasa dihargai, diterima, dan diakui.

Di situlah kami merasa hidup. Di situlah kami mengalami Islam sebagai rahim kasih sayang. Semoga, selepas Idul Fitri, kasih Islam di tengah bangsa ini bisa makin mewujud dan menghidupkan.

Selamat Idul Fitri! Berkah Allah selalu melimpah.

 

*Al Andang L Binawan, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

http://nasional.kompas.com/read/2010/09/08/07461835/Terima.Kasih.Islam