LAYANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS: DARI PENDIDIKAN EKSKLUSI KE INKLUSI

Ubaidah

 Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa di tengah-tengah kita, ada sebagian anak yang memiliki kondisi yang berbeda dari anak pada umumnya. Bahwa ada yang terlahir ke dunia ini dengan kondisi di bawah ataupun di atas kondisi anak-anak pada umumnya. Sebagian orang menyebutnya dengan anak dengan keterbatasan, anak berkebutuhan khusus, ataupun ada juga yang menyebutnya anak cacat. Semua sebutan itu ditujukan untuk membuat pembeda, bahwa mereka tidak sama.

Ada banyak istilah untuk menyebut anak-anak berkebutuhan khusus ini. Di masyarakat, sebutan untuk anak-anak berkebutuhan khusus beragam, dari mulai anak cacat, anak dengan keterbatasan, anak yang berbeda, dan banyak lagi.

Heward dan Orlansky (1984) memilih untuk menyebutnya dengan anak luar biasa (exceptional children). Anak luar biasa adalah istilah inklusi yang merujuk pada anak-anak yang menunjukan perilaku yang berbeda dari anak pada umumnya, bisa saja di bawah atau di atas kondisi normal, untuk itu program pendidikan spesial ditujukan. Istilah anak luar biasa juga termasuk kepada anak yang memiliki intelektual bawaan lahir dan bisa juga untuk anak-anak dengan keterbelakangan.[1] Pengertian anak luar biasa menurut Heward dan Orlansky terdengar lebih manusiawi dan merepresentasikan semua perbedaan dari anak berkebutuhan khusus dari anak pada umumnya.

Semua orang sadar bahwa anak-anak dengan kondisi tersebut, yang dapat kita sebut dengan anak berkebutuhan khusus, juga memiliki hak untuk mengejar kebahagiaannya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak untuk kehidupan, kemerdekaan, dan mengejar kebahagiaannya sendiri. Kesadaran inillah yang mendorong adanya gerakan untuk menuntut kesamaan hak terhadap orang-orang berkebutuhan khusus.

Namun yang menjadi pertanyaan di sini, bagaimanakah seharusnya perlakuan persamaan tersebut dilakukan? Apakah adil bagi orang berkebutuhan khusus untuk diperlakukan secara sama dengan orang normal lainnya dalam pendidikan, pekerjaan, ekonomi, dan banyak aspek lainnya? Mengingat segala keterbatasan yang mereka miliki. Ataukah justru tidak adil bagi mereka jika diberikan perlakuan khusus atas segala keterbatasannya? Upaya terbaik apa yang dapat kita lakukan untuk dapat membekali anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat bertahan hidup dengan usaha mereka sendiri di tengah-tengah masyarakat?

Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), lazim juga disebut pendidikan luar biasa, ataupun special education. Lahirnya layanan pendidikan ABK ini dilatar belakangi oleh kesadaran akan hak memperoleh pendidikan sebagai hak asasi manusia. Dalam upaya melindungi hak anak secara formal dan legal, dibentuklah United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 1946, yang merupakan badan internasional yang melindungi hak anak.

Ada dua momentum penting dalam sejarah perumusan hak asasi manusia, yaitu apa yang dikenal dengan deklarasai universal tentang hak asasi manusia yang diproklamirkan oleh PBB pada tahun 1959, dan menyusul pada tahun 1989 diselenggarakan Konvensi PBB tentang Hak Asasi Anak yang dikenal dengan nama United Nations Convention on the Rights of the Child. Kedua momentum penting tersebut menyumbangkan perubahan besar dalam perlakuan manusia terhadap sesama manusia, dan pandangan terhadap anak-anak.

Salah satu dimensi penting dan berarti yang menjadi keputusan dalam konvensi tersebut adalah “anak tidak dipahami sebagai objek dan pribadi pasif yang harus dilindungi, tetapi anak didudukkan secara proporsional sebagai warga negara yang berada dalam proses perkembangan (citizenship in development)”. Konvensi tersebut juga mengakui tentang hak kebebasan dan kewajiban untuk memperoleh pendidikan dasar dan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan pada tingkat sekolah menengah sebagai suatu kewajiban dan diperoleh secara bebas untuk semua.

Salah satu hal yang spesifik juga disepakati bahwa perkembangan kepribadian anak, bakat khusus, serta kemampuan mental dan fisik perlu mendapat perhatian dan pelayanan yang maksimal agar potensi anak berkembang secara optimal (fullest potentional), dan juga hak-hak bagi anak yang memiliki keterbatasan perlu mendapat pelayanan secara optimal sesuai dengan kebutuhan anak. Dari sinilah istilah layanan pendidikan ABK lahir.

Istilah pelayanan pendidikan anak yang berkebutuhan khusus digunakan dalam upaya menjelaskan tentan program dan pelayanan yang berlaku dalam penyelenggaraan sistem pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kesulitan keterbatasan dalam mengikuti program pendidikan dengan berbagai alasan dan membutuhkan bantuan khusus (termasuk keterbatasan fisik dan belajar serta kebutuhan sosial). Menurut UNESCO (2005), anak yang memerlukan pendidikan khusus adalah anak yang mengalami kesulitan dalam mengikuti program pembelajaran reguler sebagai akibat dari keterbatasan yang dimiliki anak atau ketidakberuntungan karena masalah sosial, emosional, dan perilaku. Anak yang demikian membutuhkan bantuan khusus.

Diceritakan oleh Heward dan Orlasky (1984) bahwa bertahun-tahun yang lalu,makna special dalam special education sangat erat kaitannya dengan anak cacat dan kata special dimaknai dengan pemisahan “separate”. Di masa-masa awal, pendidikan khusus ditujukan untuk sekolah terpisah yang dikhususkan untuk anak yang buta, tuli, ataupun memiliki keterbelakangan mental. Sama halnya dengan upaya pemisahan anak-anak nakal ataupun anak yang memiliki prestasi belajar yang kurang baik dalam satu kelas khusus. Tren di dunia pendidikan saat itu adalah untuk mengelompokan anak-anak dengan masalah yang serupa dalam kelas yang sama.[2]

Sekolah merasa perlu adanya penanganan khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus dengan memisahkannya di kelas khusus. Umumnya, jumlah anak dalam kelas ini lebih sedikit dari kelas umum. Mengingat jumlah anaknya lebih sedikit, maka pembelajaran dalam kelas ini menjadi lebih individual dan khusus. Dengan konsep ini, anak berkebutuhan khusus ditempatkan dalam ruangan yang memungkinkan anak mendapatkan perlakuan khusus yang diatur dan direncanakan untuk individual. Aktifitas anak di dalamnya akan memungkinkan mereka untuk meningkatkan kemampuan mereka dengan lebih baik dibanding di kelasnya sebelumnya.

Tujuannya pada saat itu adalah, bahwa anak-anak berkebutuhan khusus yang dikelompokan dalam kelas/sekolah yang terpisah dapat mendapatkan penanganan dari guru dan metode penanganan yang khusus pula. Atas dasar tujuan tersebut, maka menjadi hal yang lumrah untuk memisahkan anak berkebutuhan khusus dari anak normal di kelas. Namun, tanpa disadari, upaya pemisahan ini memiliki dampak besar, bukan hanya sesederhana memisahkan anak berkebutuhan khusus dalam kelas/sekolah yang khusus namun berdampak menjadi upaya pemisahan orang berkebutuhan khusus dari orang-orang normal dalam lingkungan masyarakat.

Hasil penelitian-penelitian dari para profesional ini yang kemudian menghasilkan perubahan besar terhadap layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus di Amerika, sehingga pada tahun 1975 dikeluarkan peraturan (Public Law 94-142) yang membawa perubahan mendasar dalam dunia pendidikan anak berkebutuhan khusus sampai saat ini.

Perkembangan pendidikan ABK dipengaruhi oleh Public Law 94-142, the Education for All Handicapped Children Act. Peraturan ini dikeluarkan oleh kongres amerika pada 1975, namun baru dapat diimplementasikan pada 1980. Goodman dalam Heward dan Orlansky (1984) menyebutkan bahwa peraturan ini dapat dikatakan sebagai peraturan yang memberikan dampak paling besar dalam sejaran pendidikan.

Peraturan ini juga yang mengatur bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar dalam lingkungan belajar dengan sedikit batasan, atau disebut least restrictive environment (LRE). Lingkungan belajar dengan sedikit batasan memungkinkan anak berkebutuhan khusus untuk dipertemukan dan dekat dengan anak-anak normal pada umumnya di sekolah reguler (iklusi).

Perubahan paradigma masyarakat dalam memandang orang dengan kebutuhan khusus mendorong sekolah untuk memberikan layanan yang total “a continuum of services”. Layanan continuum adalah pilihan-pilihan jangkauan penempatan yang dapat diberikan untuk melayani anak secara tepat. Layanan continuum ini dapat dilihat dalam bentuk piramida, dengan bagian paling bawah merupakan layanan dengan batasan paling sedikit (kelas reguler) dan paling atas adalah yang memiliki batasan paling banyak (fasilitas sekolah khusus). Piramid ini dapat dilihat pada gambar berikut:[3]

  • Level 5. Full-time special class. Siswa menerima program yang direncanakan di bawah arahan dari guru kelas khusus.
  • Level 4. Regular classroom and resource room. Siswa menerima program yang direncanakan di bawah program guru di kelas reguler, sebagai tambahan siswa akan melewatkan separuh waktunya dalam ruangan dengan staf dan perlengkapan khusus.
  • Level 3. Regular classroom with supplementary instruction and services. Siswa menerima program yang direncanakan di bawah arahan guru di kelas reguler; sebagai tambahan siswa akan mendapatkan pembelajaran tambahan atau layanan dari spesialis di sekolah.
  • Level 2. Regular classroom with consultans to teacher. Siswa menerima program yang direncanakan di bawah arahan guru kelas reguler yang didukung oleh konsultan di dalam kelas dari spesialis.
  • Level 1. Regular classroom. Siswa menerima program yang direncanakan di bawah arahan guru kelas reguler tanpa pendampingan.

Anak-anak pada level 1 sampai 4 mendatangi kelas reguler bersama dengan teman-teman yang tidak memiliki kelainan. Dukungan bantuan diberikan oleh guru khusus yang memberikan konsultasi kepada guru kelas reguler. Anak-anak di level 5 membutuhkan penempatan secara full time di kelas spesial, bergabung dengan anak-anak luar biasa sepanjang hari.

Model layanan pendidikan ABK iklusi ini sejalan dengan teori pijakan dari Vygotsky. Prinsip dasar dari teori Vygotsky bahwa anak melakukan proses membangun berbagai pengetahuannya tidak terlepas dari pengaruh sosial dimana anak berada. Vygotsky percaya bahwa proses kognitif anak berkembang optimal ketika di sekolah yaitu saat anak berinteraksi dengan teman dan guru. Oleh karena itu, upaya terbaik agar ABK dapat bertahan hidup dengan kemampuan sendiri di masyarakat adalah dengan dibaurkan dengan kelas regular.

[1] William Heward & Michael Orlansky, Exceptional Children, (Ohio: Charles E. Merril Publishing Company, 1984), h. 4

[2] Op.Cit, Heward & Orlansky, h. 16

[3] Ibid, Heward & Orlansky, h. 48