KONSEP KURIKULUM REKONSTRUKTIVISTIK SOSIAL DAN PEMBANGUNAN INDONESIA
KONSEP KURIKULUM REKONSTRUKTIVISTIK SOSIAL DAN PEMBANGUNAN INDONESIA
Ubaidah
Indonesia saat ini berada di peringkat ke-3 dunia setelah Republik Rakyat China dan India untuk jumlah penduduk terbanyak. Dengan kekayaan sumber daya manusia dan alam yang begitu banyak, faktanya Indonesia masih jauh tertinggal dalam hal pertumbuhan ekonomi dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, maupun Thailand.
Pendidikan tinggi dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia memiliki peranan penting dalam mengembangkan masyarakat, seperti termuat dalam Tri Darma Perguruan tinggi yang menyebutkan peran perguruan tinggi untuk; menghasilkan lulusan yang berkualitas secara intelektual dan profesional; menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan ikut serta dalam memecahkan masalah nasional masyarakat bangsanya maupun masalah kemanusiaan.
Kontras dengan kecendrungan tersebut, sudah bukan rahasia lagi jika banyak lulusan sarjana yang kurang mampu bersaing dunia usaha dan industri sehingga angka sarjana yang menganggur tidaklah sedikit. Banyak perusahaan yang mengakui bahwa kualifikasi sarjana masih banyak yang jauh dari kebutuhan masyarakat. Mempertimbangkan faktor kebutuhan masyarakat tersebut, maka idealnya suatu program di universitas juga dirancang agar dapat menciptakan lulusan yang mampu bersaing dan berkontribusi dalam pembangunan masyarakat.
Selaras dengan tujuan tersebut, hadirlah Teori Rekonstruktivistik Sosial yang memandang pendidikan sebagai sarana dalam mengubah dan mengembangkan masyarakat. Tujuan utama dari kurikulum rekonstruktivistik sosial adalah untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi beragam masalah di masyarakat. Aspek-aspek tersebut sangat penting untuk dimiliki oleh lulusan pendidikan tinggi, mengingat salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah agar lulusan dapat berperan aktif dalam pemecahan masalah masyarakat.
Rekonstruktivistik sosial hadir di kurikulum Amerika pada 1920 dan 1930-an. Harold Rugg memikirkan mengenai nilai yang harusnya ada di sekolah. Rugg ingin siswa menggunakan pengetahuan yang dipelajarinya dari ilmu sosial dan estetika untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah sosial saat itu. Rugg dan temannya George Counts, mulai membuat sesuatu yang baru dan mempertimbangkan masyarakat.[1]
McNeil (1996), mendefinisikan rekonstruktivistik sosial sebagai model kurikulum yang berfokus pada gubungan antara kurikulum dan pengembangan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat.[2]
Berdasarkan definisi tersebut, terlihat komponen utama dalam pembelajaran berlandaskan teori rekonstruksi sosial ini, yaitu adanya keterlibatan dari kondisi masyarakat terhadap penentuan konten pembelajaran.
Menurut Breithorde dan Swiniarski (1999), rekonstruktivistik sosial sangat lekat dengan teori belajar konstruktivistik. Keduanya sama-sama menganggap pembelajaran sebagai proses merangsang siswa dalam mengembangkan pengetahuannya sendiri dan pendidikan mampu mempengaruhi perubahan masyarakat. Pembeda diantara keduanya adalah jika konstruktivistik berfokus pada bagaimana siswa belajar dengan gaya dan kebutuhan masing-masing untuk perkembangan intelektual dan personal masing-masing individu. Sedangkan rekonstruktivistik sosial fokus pada membangun siswa untuk bersama-sama membangun masyarakat dengan memfasilitasi siswa untuk berpartisipasi dalam pengembangan komunitas dan masyarakat. [3]
Dijelaskan lebih lanjut oleh McNeil (1996) bahwa dalam rekonstruktivistik sosial, sebuah kesempatan belajar harus mengandung 3 syarat; 1) harus nyata, 2) harus memuat suatu tindakan, dan 3) harus mengajarkan suatu nilai. [4]
McNeil (1996) menjelaskan karakteristik dari kurikulum rekonstruktivistik sosial ini dari aspek tujuan, peran guru, organisasi, dan evaluasi. [5]
- Tujuan: tujuan utama dari kurikulum rekonstruktivistik sosial adalah untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi banyak masalah yang dihadapi manusia, misalnya kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, metode, kebutuhan; mengevaluasi hubungan antara pendidikan dan hubungan manusia; dan identifikasi strategi untuk menimbulkan perubahan.
- Peran Guru: Guru harus memiliki wawasan yang luas terhadap tujuan nasional, dunia, dan lokal yang ada. Peran guru ditekankan dalam menjalin kerja sama antara komunitas dan sumber daya yang ada.
- Organisasi: aktivitas pembelajaran yang dikelola meliputi pertanyaan yang mengaitkan proses pembelajaran dengan kondisi masyarakat. Biasanya tahapan belajarnya meliputi (1) identifikasi isu yang paling banyak masalahnya; (2) menjelaskan realita di masyarakat, termasuk hal-hal yang menjadi akar masalah tersebut; (3) mengaitkan isu tersebut ke pembelajaran dan masyarakat yang lebih luas; (4) menghubungkan analisa sosial ke dalam pandangan siswa terhadap kondisi ideal yang seharusnya terjadi; (5) mengambil tindakan nyata sesuai dengan pandangan siswa terhadap kondisi ideal yang seharusnya ada.
- Evaluasi: proses evaluasi meliputi kemampuan siswa dalam mengartikulasi isu, merumuskan solusi, mengembangkan pandangan terhadap kondisi ideal, dan keinginan untuk bertindak sesuai kondisi ideal tersebut. Rekonstruktivistik sosial juga mengevaluasi mengevaluasi efek pembelajaran terhadap komunitas di sekitarnya.
Dari beragam konsep kurikulum yang ada, konsep kurikulum Rekonstruktivistik Sosial merupakan salah satu konsep kurikulum yang sangat tepat untuk diimplementasikan dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Karena konsep kurikulum ini menekankan pada perencanaan pembelajaran untuk memiliki kontribusi nyata terhadap perkembangan masyarakan dan lingkungan sekitar.
Melihat potensi dari konsep kurikulum rekonstruktivistik sosial, maka bukan tidak mungkin ke depan dikembangkan kurikulum pendidikan tinggi dengan berlandaskan pada konsep teori rekonstruktivistik sosial ini. Dengan lulusan pendidikan tinggi yang dapat memiliki kontribusi nyata dalam membangun masyarakat Indonesia menuju masyarakat madani, maka masalah-masalah di masyarakat diharapkan mampu dituntaskan satu per satu.
[1] John McNeil, Curriculum: A Comprehensive Introduction, (1996, New York: HarperCollins College Publisher), h.h. 33-34
[2] Ibid, John McNeil, h. 33
[3] M. Breithorde & L. Swiniarski, “Constructivism and Reconstructionism: Educating teachers for world citizenship” dalam Australian Journal of Teacher Education, Vol 24(1), 1999, diakses secara online dalam situs htp://dx.doi.org/10.14221/ajte.1999v24n1.1
[4] Ibid, John McNeil, h. 36
[5] Ibid, John McNeil, hh. 36-38
Comments :