Oleh:

Ferry Doringin

“Di ujung cemeti, ada emas.” Ungkapan lama itu seolah-olah membenarkan konsep pendidikan yang menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan. Untuk membentuk mental yang tangguh, tahan banting, dan berdaya tahan, digunakanlah cara kekerasan.
Penulis berpendapat bahwa kekerasan mendapat tempat di dunia pendidikan karena pendidiknya tidak memiliki bekal metode pencapaian tujuan yang baik dan bervariasi. Ketika buntu dan tidak tahu cara lain untuk mencapai tujuan mulia, digunakanlah cara kekerasan. Lebih berbahaya lagi, cara kekeraasan hanya menghasilkan budaya bengis yang tidak ada habis-habisnya. Cegah budaya kekerasan dalam dunia pendidikan dengan budaya nilai.
 
Kekerasan berbuah kematian
Kekerasan senior kepada juniornya di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Cilincing, Jakarta Utara, mendatangkan kematian. Peristiwanya terjadi pada Bulan Januari 2017 ini. Ternyata, kekerasan yang mendatangkan kematian di sekolah ini, bukan pertama kalinya terjadi.  Lebih dari itu, sudah terekspos bahwa telah terjadi sejumlah kekerasan yang mendatangkan korban, entah itu geger otak, cacat tertentu dan akhirnya kematian. Bila mengikuti teori fenomena gunung es, tentu saja, ada begitu banyak peristiwa kekerasan yang tidak sempat terekspos.
Ada seorang pendidik yang sempat memperoleh informasi dari orang dalam yang mengatakan bahwa, ternyata, kekerasan di sekolah itu seperti dianggap biasa. Sangat berbahaya kalau hal itu telah menjadi budaya, yakni senior boleh menindas yang junior. Bila mengamati bahwa hal itu terus saja terjadi, dugaan tersebut rupanya sangat mungkin benar.
Ternyata, kekerasan dalam pendidikan, bukan membantu mencapai tujuan, tetapi membangun budaya kekerasan berantai yang terbangun terus menerus.
 
Metode pendidikan
Pada abad ini, metode pendidikan sudah berkembang sangat pesat. Banyak sekali cara yang bisa digunakan untuk membantu siswa memahami, menangkap konsep, serta mampu mempraktekkan konsep itu. Lebih dari itu, metode-metode yang dikembangkan, umumnya menegaskan mengenai having fun, bagaimana menciptakan kegembiraan dalam belajar. Ketika orang bergembira, daya tangkap, daya kreasi, dan kreativitas akan muncul.
Dengan adanya begitu banyak metode dalam mengajar saat ini, sulit dipercaya bahwa ada lembaga pendidikan yang masih percaya dengan penggunaan kekerasan dalam mencapai sebuah tujuan. Dengan kata lain, hanya pendidik (atau senior) dengan pengetahuan terbatas atau malah tidak memahami teknik-teknik mendidik yang melakukan kekerasan itu.
Dalam kasus STIP, mungkin ada yang berkelit dengan mengatakan bahwa bukankah yang melakukan kekerasan itu adalah siswa dan bukan pengajar. Jawabannya, tentu saja ada yang salah dengan konsep besar pendidikan di sekolah ini, sehingga budaya kekerasan dan bukan budaya positif yang terbangun. Hal itu menjadi tanggung jawab pengajar dan manajemen.
Ada juga pertanyaan lain yang bisa disampaikan bahwa bukankah gaya ini adalah gaya pendidikan militer yang terbukti sukses? Kembali, daya kritis kita digenjot untuk melihat lebih jauh lagi bahwa pendidikan militer jarang sekali menginformasikan mengenai kekerasan yang mendatangkan kematian. Penulis meyakini bahwa pendidikan militer memiliki konsep jelas yang tidak akan membahayakan anggotanya sendiri. Sekali lagi, metode yang tepat dan konsep yang pas begitu dibutuhkan dalam mendidik.
 
Kekerasan diganti budaya nilai
Saat ini, begitu banyak metode pendidikan yang membantu peserta didik untuk sukses dengan cara menggali hal positif, mencontoh hal positif, dan dirangsang oleh hal-hal positif. Bayangkan bila hal-hal positif yang terus didengungkan untuk dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kemendesakan
Kata ‘kemendesakan’ patut disebutkan terkait dengan budaya negatif yang terus dibangun oleh sejumlah Televisi, media sosial, dan bahkan oleh pengalaman-pengalaman nyata di sekitar kita. Bayangkan, seandainya,  kebaikan-kebaikan kecil terus menerus didengungkan. Kata-kata positif yang mendatangkan efek positif terus menerus diteruskan. Hal-hal itulah yang salah satunya akan mengganti budaya kekerasan menjadi budaya positif, budaya penuh nilai.*