Oleh:

Ferry Doringin

Saya pernah merasakan kejutan yang indah, ketika dua anakku yang bersekolah di SD tidak lagi diberikan PR. Situasi ini berbanding terbalik dari situasi sebelumnya.
Saya merasa sangat bahagia karena tidak harus ikut mengerjakan PR anak saya (terlalu sering saya ikut mengerjakan PR anak karena PR terlalu sulit). Namun, kebahagiaan saya berkurang ketika ada orangtua yang menggugat mengenai kebijakan sekolah tanpa PR ini. Argumen mereka: Guru tidak membantu anak untuk belajar di rumah karena tidak lagi memberi PR.
Kalau begitu, manakah yang lebih baik: memberi atau tidak memberi PR? Bila PR diberikan dan terlalu sulit, orangtua diberi beban tambahan; bila PR tidak diberikan, guru dianggap tidak mengkondisikan anak untuk belajar.
Bila kita bingung menjawab pertanyaan itu, mari kita melihat tujuan utama pemberian PR: membantu siswa / pembelajar mengalami bekerja dengan caranya sendiri. Siswa akan mengatur waktunya sendiri, membuat pola kerja, mencari alat bantu sendiri, memecahkan masalah sendiri.
Tujuan mulia itu bisa saja berbalik menjadi malapetaka untuk siswa. Bisa saja, PR menjadi ajang siswa untuk terlatih dan kemudian terbiasa berbohong. Dia bisa membohongi guru ketika hanya menyalin pekerjaan teman. Dia juga bisa berbohong ketika mengatakan bahwa bukunya hilang atau tertinggal di rumah ketika ditanya hasil PRnya. Dia membohongi guru ketika PR itu bukan dikerjakan oleh dirinya tetapi oleh orang tua.
Pada situasi intervensi orangtua sedemikian, PR justru menjauhkan anak untuk mandiri. Beberapa pengalaman berikut disampaikan oleh orangtua: Para orangtua biasanya menjadi pengambil inisiatif untuk menanyakan kepada anak mereka apakah ada PR atau tidak. Para orangtua mendampingi anak bahkan membuatkan PR untuk dia. Kalau seperti ini, kapan anak bisa mandiri?
Kalau orangtua merasa tidak mampu atau tidak memiliki waktu untuk membantu anaknya, dia mendatangkan guru les. Jadi, PR yang seharusnya mendorong kemandirian anak, menjadi ajang legitimasi bahwa ‘anak itu tidak mampu sendiri. Dia tergantung pada orangtua atau guru les’.
Guru memiliki andil dalam situasi ini bila dia memberi PR yang dia tahu tidak akan mampu dikerjakan oleh kebanyakan anak. Jadi, seolah-olah sudah di-setting bahwa PR itu akan dikerjakan oleh orangtua atau guru les.
Bila orangtua sadar bahwa PR merupakan ajang anak belajar mandiri, orangtua harus berperan terbatas. Dia tidak boleh berperan secara langsung. Preciosa Soliven dalam sebuah kolomnya di Philippine Star mengatakan bahwa bantuan terbaik adalah menciptakan lingkungan belajar. Rancanglah tempat belajar yang nyaman; kalau perlu dekor ruang belajar; lengkapi tempat belajar anak dengan buku-buku referensi, kamus dan ensiklopedi.
Apa yang harus dilakukan guru bila anak lalai membuat PR? Menurut Soliven, sebaiknya guru tidak mengajukan pertanyaan: mengapa ini mengapa itu? Secara naluriah, anak akan mencari alasan pemaaf bila pertanyaan seperti itu diajukan. Bahkan, dia berdusta untuk membela diri. Sebaiknya, guru meminta anak menulis apa yang lalai dilakukan dan kapan kelalaian itu dipenuhi.
Soliven mengatakan bahwa sikap berikutnya adalah memahami perasaan anak. Ketika anak gagal membuat PR, hindari untuk mengungkit kesalahannya dulu (selalu kamu tidak membuat PR, sudah berulang-ulang hal ini terjadi). Cari cara untuk bersimpati dengannya dan tumbuhkan kebanggaannya. Tekankan bahwa guru memahami situasinya dan akan bangga padanya bila dia bisa mengatasi kekurangannya ini.
Sikap yang sama perlu ditunjukkan oleh orangtua. Cobalah terbiasa memahami perasaan anak. Ketika PR nya mendapat nilai kurang atau tes nya dihargai rendah, bersimpati lah padanya. Membantu anak lebih berguna daripada mengkotbahi dia. Hindari untuk mengatakan: “Ini gara-gara keseringan ber-facebook; sudah dibilang berhenti main games. Inilah buahnya kalau bersikap malas.”
Memahami perasaan anak adalah salah satu kunci pendidikan yang benar. Memahami anak berbanding lurus dengan memberi waktu kepada anak. Jangan pernah kekurangan waktu untuk mereka. Jangan tergesa-gesa ketika mereka membutuhkan bantuan. Jangan pernah menciptakan situasi dimana anak merasa tidak diselami dan diterima perasaannya. Apa pun bantuan orangtua atau guru, tanpa didahului oleh pemahaman terhadap perasaan anak bahwa dia diterima dan diselami, maka hasilnya tidak akan maksimal.
Terkait dengan PR, sangat penting agar semua pihak sadar mengenai tujuan utama PR. Bila tujuan utamanya adalah memperdalam ilmu dan melatih kemandirian, peranan orangtua dan guru les harus diminimalisir. Juga, guru perlu bijak memberi PR yang memang mendorong kemandirian, dan bukan menjadi beban yang sulit dipikul.
Sebaliknya, bila sekolah menempuh kebijakan tanpa PR, bukan berarti, kepedulian orangtua terhadap pendidikan anak selesai. Seolah-olah pendidikan anak adalah urusan guru. Tetaplah memberikan kepedulian, tanpa mengurangi kemandirian anak.*