Oleh:

Ferry Doringin

Konsep tradisional pendidikan menempatkan sekolah bagaikan biara. Di tempat yang sangat tenang, orang khusuk menimba ilmu tanpa hiruk-pikuk yang mengganggu. Dengan belajar secara focus dan tanpa gangguan, orang akan berkonsentrasi untuk menimba ilmu.

Murid bisa menguasai ilmu dengan cepat karena konsentrasinya tidak terpecah dan iklim disiapkan. Pada konteks tersebut, murid juga tidak akan terkontaminasi dengan karakter jelek lingkungannya. Belajar adalah proses merefleksikan dan menemukan kebenaran dan orang memperkuat karakter moralnya di sana. Ada otoritas kuat yang mengawasi dan mengarahkan bagaimana sebaiknya anak belajar. Jejak-jejak pendidikan seperti ini bisa dilihat dimana sekolah biasanya dibangun di daerah pinggiran. Di negara tertentu, sekolah dan universitas berada di pegunungan, letaknya di ketinggian.

Seiring berjalannya waktu, konsep ini bergeser. Disadari mengenai aspek praktis dan ekonomis dari pendidikan, yakni pendidikan itu bukan berada di menara tinggi yang sulit dijangkau. Pendidikan harus terkait dengan hidup sehari-hari dan harus bisa diterapkan. Orang justru belajar lebih efektif ketika berhadapan dengan liku-liku kehidupan yang tidak mudah. Karena itu, pendidikan yang dulunya berada di menara tinggi atau biara diubah menjadi pendidikan di pasar. Orang berinteraksi, berpraktek, menghadapi dunia nyata dan dari situlah dia mendapatkan konsep tentang apa saja yang harus dikuasai untuk bisa menang dalam pertempuran dunia nyata. Dengan konsep itu, moralitas, nilai, dan juga kebenaran seperti mengalami pergeseran arti, terkait dengan nilai praktis, keuntungan ekonomis dan persaingan di dunia nyata.

            Revolusi industry 1 – 3 mendukung arah pergeseran ini. Penemuan-penemuan penting mendorong orang menetapkan kriteria keberhasilan dengan menempatkan efektivitas biaya, input, kesesuaian proses dan output. Segala sesuatu diukur bagaikan mesin produksi menghasilkan produk tertentu, bagaikan proses menghasilkan mobil. Standard dan prosedur ditetapkan agar mobil bisa dihasilkan secara masal. Begitu juga standard dan prosedur dalam dunia pendidikan ditetapkan agar produk siswa bisa dihasilkan secara masal.

            Dalam perkembangan ini, kepuasan pelanggan menjadi penting. Kurikulum bisa menjadi komoditas dan bisa ada pengendalinya. Kurikulum harus terkait dengan industri tertentu. Peranan guru menjadi berkurang. Mereka bukan menjadi penilai mutlak. Guru seringkali harus menyesuaikan diri dengan lembaga akreditasi tertentu yang membawa kepentingan negara atau lembaga atau dunia industri. Kendali sekolah adalah pasar. Siapa yang bisa menghasilakn produk berkualitas akan diminati. Penting sekali menetapkan standar. Badan pemberi standar menjadi penting karena menentukan apa yang penting untuk dipelajari.

            Lebih dari itu, Pendidikan bukan lagi dikerjakan oleh lembaga sosial. Banyak perusahaan ikut mengelola pendidikan dengan sangat progresif. Ahli bisnis menangani pendidikan dan berusaha menjawab kebutuhan pasar untuk menghasilkan produk yang laku jual dan disukai masyarakat.

Tantangan

            Tantangan yang muncul adalah bagaimana lembaga pendidikan harus dikelola? Pendidikan bukan lembaga bisnis karena memiliki idealisme pengembangan ilmu dan manusia. Pendidikan bekerja dengan etika yang fokusnya adalah manusia dan prosesnya. Fokus ini berbeda dengan lembaga bisnis yang menekankan keuntungan finansial. Stakeholder di dunia pendidikan sangat bervariasi. Hasil di dunia pendidikan juga tidak bisa langsung kelihatan. Sangat ditekankan mengenai beda kualitas jangka pendek dengan jangka panjang.

            Bila trend ini tidak diperhatikan, bisa saja, pendidikan itu jatuh pada target jangka pendek, menekankan hasil dan bukan proses, menekankan tampilan fisik dan melupakan focus pada kurikulum, standar proses, dan standar isi. Bila sampai pada tahap ini, banyak kekacauan yang dilihat seolah-olah benar, misalnya:

  • Murid diterima dengan tes yang sangat ketat. Kalau begitu, murid yang dipandang kurang harus diapakan?
  • Sekolah menerima murid dengan nilai rata-rata sangat tinggi dan sekolah itu dipandang terbaik karena murid-muridnya berprestasi. Padahal, guru merem saja, murid tetap bisa berprestasi karena cara belajarnya sudah terpola dan kemampuannya sudah sangat tinggi. Bagaimana dengan sekolah yang menerima murid apa adanya dan gurunya bekerja sangat keras sehingga siswanya bisa berprestasi? Mengapa bukan sekolah seperti ini yang dihargai sangat tinggi?
  • Penghargaan murid yang berprestasi di bidang akademik lebih tinggi dari murid yang berprestasi di bidang lainnya.
  • Pandangan tentang sekolah yang baik juga bergeser, seolah-olah sekolah yang mahal dengan kurikulum impor dan memiliki program Bahasa Inggris dengan native dan fasilitas mentereng adalah sekolah plus dibandingkan yang lain.

Absurditas seperti itu bagaikan menggerus nilai-nilai utama pendidikan. Sekolah berusaha memproduksi siswa bagaikan memproduksi mobil atau melatih binatang-binatang dalam sirkus. Pokoknya, bila metode yang baik dilakukan, maka produk masal bisa dihadirkan. Keunikan anak kurang disentuh dan anak kurang didorong untuk berkembang sesuai dengan bakatnya. Hal ini bertentangan dengan nilai pendidikan yang mengandalkan proses dan perubahan perilaku, bukan hanya sekedar ketrampilan. Padahal, penting sekali untuk menegaskan pendidikan dengan filosofinya, dengan spiritualitasnya.

Tantangan lain, kadang, guru harus mengalah pada permintaan pasar atau permintaan konsumen (siswa). Hal ini sah-sah saja bila idealisme, nilai, dan proses dalam dunia pendidikan tidak dilupakan.

Belajar dari dunia bisnis

            Meskipun sejumlah mawas diri dilakukan, pembenahan dalam dunia pendidikan juga dipandang sangat penting. Betapa pentingnya dunia pendidikan belajar dari dunia bisnis. Hal-hal berikut bisa menjadi poin pembelajaran dunia pendidikan:

  1. Dunia bisnis selalu tanggap dan responsif. Dunia bisnis yang tanggap dan responsif berbeda dengan dunia pendidikan yang cenderung konservatif, sulit berubah dan selalu kelihatan ketinggalan kereta. Padahal, penting sekali bahwa sekolah itu berubah dari dalam kalua tidak mau diubah dari luar.
  2. Dunia bisnis penuh terobosan dan berani ambil risiko. Dunia bisnis dengan jiwa wirausaha selalu kreatif, jeli melihat peluang, membuat terobosan dan berani ambil risiko. Bandingkan dunia pendidikan yang sering tidak memiliki jiwa wirausaha, daya kreasi, dan inovasi untuk melihat peluang dan membuat terobosan
  3. Profesionalisme SDM. Dunia bisnis menekankan disiplin, promosi, demosi untuk meningkatkan kualitas kerja. Bandingkan dengan dunia Pendidikan yang menggunakan perasaan dengan alasan cintakasih dalam membina karyawan
  4. Dunia bisnis dikelola dengan sangat profesional, dengan terobosan dan risiko. Bandingkan dengan dunia pendidikan yang dikelola oleh akademisi dan bukan organisator handal. Daya juang lemah dan keberanian akan resiko kurang.

Sangat penting bahwa sekolah bisa belajar dari lembaga bisnis sehingga bisa hadir secara kontekstual dan menjawab tantangan jaman.