Oleh:

Ferry Doringin

Sejumlah pegiat pendidikan mendiskusikan mengenai upaya untuk membentuk sekolah yang baik. Pada hemat mereka, sekolah yang baik adalah sekolah yang bermutu. Mereka bahkan menegaskan bahwa mutu itu dicapai dengan menerapkan konsep bisnis, yakni Total Quality Management. Ternyata, di sinilah masalahnya, yakni orang bisa tidak sepakat dengan mutu.

                Pada masa penerimaan murid tahun ajaran baru, sudah terpetakan bahwa sekolah bermutu berarti sekolah favorit. Sekolah bermutu dan sudah menjadi favorit ini, biasanya unggul pada aspek kognitifnya, termasuk prestasi ujian nasional. Itu menjadi tiket siswa untuk nantinya bisa masuk ke Perguruan Tinggi terbaik. Orangtua bisa bangga bahwa anak-anak mereka menjadi anak-anak pilihan karena standard mutu yang sudah dipatok itu. Standard mutu itu biasanya nilai rata-rata yang harus tinggi.

Kalau sudah demikian, bagaimana kita menyebut bahwa proses belajar sekolah tersebut itu sangat bermutu karena dia menerima siswa dengan input yang sangat tinggi sehingga dengan upaya kecil saja (ada yang mengatakan: dengan merem saja), siswanya bisa berupaya sendiri untuk memperoleh nilai yang baik. Bandingkan dengan sekolah-sekolah tertentu yang terbebani untuk mendidik siswa dengan kualitas rendah bahkan sangat rendah. Bukankah sekolah-sekolah tersebut yang harus diberi penghargaan, yakni mampu mengubah anak yang biasa-biasa atau bahkan kurang menjadi baik dan bisa lulus.

                Lebih dari itu, bagaimana kita membincangkan mengenai output siswa tersebut yang unggul bukan dalam ranah akademik. Misalnya, apakah sekolah Lalu M. Zohri yang menang lomba lari 100 meter di Finlandia itu bisa dikategorikan bermutu? Kalau tidak bermutu, bagaimana kita memahami bahwa Zohri bisa memiliki mental yang kuat dan motivasi yang tinggi untuk memenangkan kejuaraan dunia?

                Mutu juga bisa berarti unggul dalam sejumlah lomba dan nilai Ujian Nasional. Tidak peduli inputnya, tidak peduli kualitas gurunya, tidak peduli sarana prasarananya, sekolah itu dianggap bermutu dan favorit karena keunggulan akademik yang bisa langsung terlihat kasat mata. Pertanyaan tentang mutu juga terkait dengan guru. Output murid yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk mengenai mutu guru. Namun, bagaimana dengan guru hebat yang mampu mengantar anak-anak slow learner menjadi bisa bersaing meskipun tidak mampu mengangkat mereka pada level yang paling tinggi?

                Terkait dengan sarana prasarana, mutu itu juga bisa dipetakan, tidak peduli apakah uang sekolah di situ tinggi atau rendah, tidak peduli tingkat ekonomi siswanya, tidak peduli dengan support dari pihak lain, termasuk pihak pemerintah yang saat ini sangat memanjakan sekolah negeri dengan alokasi dana besar untuk fasilitas yang fantastik.

                Mutu itu bisa juga dinilai dari karir alumni sekolah tersebut. Ingat, ketika alumni berkumpul, kata-kata yang bisa mereka ajukan: “Si A itu ada dimana? Oh, dia itu sudah menjadi Direktur ya? Wah, dia sudah menjadi orang.” Mutu alumni bisa ditentukan dari tingginya pangkat atau materi yang dimiliki. Namun, bukankah banyak sekali orang-orang biasa tetapi kepedulian dan perhatiannya kepada sesama begitu tinggi sehingga mereka dinilai smart dari aspek kepedulian sosial?

                Mutu di dunia pendidikan ternyata bisa sama tetapi bisa sangat berbeda dengan mutu di dunia industri. Diskusi mutu di dunia pendidikan bisa sama dengan bisnis dalam arti, sangat penting setiap organisasi menetapkan ‘core’ bisnis atau ‘keunggulan’ yang menjadi kekuatan mereka. Dengan demikian, mutu sekolah bisa berbeda-beda, yakni sekolah menekankan mutu ‘akademik’, mutu karakter, mutu olahraga. Bahkan untuk akademik, bisa dibagi bahwa sekolah menekankan  mutu IPA, yang lain kuat dalam mutu IPS, dan seterusnya (lihat konsep unggul Sekolah Penabur).

                Namun, praktek bisnis dan dunia pendidikan bisa berbeda dalam menilai manusia. Bisnis berusaha menciptakan sistem atau mesin sehingga produksinya bisa dibuat dalam jumlah besar dan output atau hasilnya sama. Misalnya, input bahan baku tertentu menghasilkan mobil dengan tipe tertentu. Nantinya, mobil itu disendirikan outputnya, mana yang dianggap berhasil baik, dan mana yang dianggap sebagai produk cacat atau produk apkir.

                Hal itu seharusnya menjadi masalah dalam dunia pendidikan. Mungkinkah memproduksi manusia secara seragam. Bukankah sejak awal, akhir, dan selama-lamanya, orang meyakini mengenai keunikan setiap manusia, keunggulan setiap manusia, dan prospek yang dimiliki manusia. Juga, bukankah proses dalam dunia pendidikan yang mendidik manusia unik itu begitu kompleks? Betapa naif kalau harus jatuh dalam penilaian produk saja.

                Selain itu, konsep produksi dan output yang sudah terstandard, bisa menimbulkan masalah besar, yakni input, bahan mentah, bahan yang masuk harus dalam produk tertentu. Di sinilah terjadi, bahwa anak-anak tertentu tidak akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik dalam arti tidak diterima dengan sekolah dengan sarana, guru, dan kurikulum yang baik, karena standard tinggi yang sudah dipatok sebagai syarat masuk di situ.

Ternyata, mutu itu bisa sangat relatif. TQM menyebut bahwa mutu itu tergantung bagaimana kepuasan pelanggan. Pelanggan itu bisa internal dan bisa juga eksternal. Tantangan besar bagi dunia pendidikan untuk teguh pada prinsip dasar pendidikan untuk merawat manusia dan kemanusiaannya bukan hanya sekedar aspek-aspek tertentu saja. Tertib pada standard integral manusia bisa bertabrakan dengan kepuasan pelanggan; bisa mengancam minat orangtua terhadap sekolah itu; bisa membuat sekolah tidak disebut favorit.

Tantangannya, bagaimana mindset orang, persepsi masyarakat bisa juga dimurnikan terkait dengan mutu yang merujuk pada manusia dan kemanusiaannya.