Oleh:

Ferry Doringin

Edukator terkemuka Abad Pertengahan Ignatius dari Loyola mengungkapkan ujaran terkenal berikut: Bila Anda adalah guru, masuklah melalui pintu siswa dan keluar melalui pintu Anda. Ujaran itu menegaskan mengenai pentingnya membuat koneksi dengan mindset siswa dan sesudah itu kita bisa lebih gampang mengedukasi mereka.

          Kisah berikut berjudul NEGERI KEBODOHAN ((dikutip dari berbagi sumber) makin mempertegas konsep Ignatius dari Loyola di atas: Dalam buku 100 Kisah Bermakna diceritakan mengenai seorang pria yang tersesat dari negerinya ke dunia yang bernama Negeri Kebodohan. Di negeri itu, dia mendapati hampir semua penduduk sedang berlari ketakutan dari ladang tempat mereka mengambil gandum. “Kami melihat monster di ladang itu,” ujar penduduk kepadanya. Setelah meneliti ladang itu, Si Pria mendapati bahwa ternyata si’ monster’ yang ditakutkan hanyalah sebuah semangka yang tumbuh di ladang itu.

Dia berseru dengan lantang kepada penduduk bahwa dia ingin membuktikan kalau monster itu tidak berdaya. Di hadapan sejumlah orang yang ketakutan, dia memetik sebuah semangka besar itu. Namun, bukan simpati yang diterimanya melainkan kemarahan dari penduduk yang segera mengusirnya. “Anda akan membuat pimpinan monster itu marah. Pergi dari sini!”

Beberapa waktu kemudian, seorang pria lain tersesat di negeri tersebut. Ketika mengetahui ketakutan penduduk, dia pun menawarkan diri untuk membunuh si monster. Segera dia memetik, memotong sebuah semangka yang ranum dan segera memakannya.

Melihat gerak-gerik dan kepercayaan diri si pemuda, seluruh penduduk malah gempar dan berbalik takut kepada si pemuda. Sambil menggunakan cangkul dan penggaruk rumput mereka mencoba membunuhnya. “Monster itu dimakannya. Pasti dia lebih berbahaya. Dia akan membunuh kita kalau kita tidak membunuhnya,” ujar mereka sambil mengejarnya. Pemuda itupun lari dengan sangat ketakutan.

Selang beberapa waktu kemudian, seorang pria lain juga tersesat di Negeri Kebodohan. Tetapi dia tidak menawarkan diri untuk membantu orang-orang menghadapi Si  Monster. Ia justru setuju dengan pendapat mereka bahwa monster itu berbahaya. Dia lari berjingkat-jingkat bersama mereka untuk menjauhi si monster.

Sesudah hidup cukup lama dengan mereka, dia pun mengajarkan mereka betapa semangka itu bisa dimanfaatkan. Dalam kurun waktu tertentu, masyarakat sudah mulai memakan dan menjual semangka itu.

***

Mari kita simak cerita di atas. Kisah ini ingin menggambarkan mengenai pentingnya peranan seorang guru.  Bila penduduk dianggap sebagai siswa dan para pendatang adalah guru-guru, maka situasi siswa, paradigm berpikir siswa, sangat menentukan penerimaan dia terhadap materi yang diajarkan oleh guru.

Ada guru yang mendatangkan ketakutan pada diri siswa; ada juga yang mendatangkan rasa jengkel dan penolakan dari siswa; tapi juga, ada tipe guru yang bisa diterima dan menjadi berkat bagi siswa, sehingga guru itu dianggap sangat dibutuhkan, dianggap sebagai faktor utama untuk sukses siswa.

Wright, Horn dan Sanders (1997) melakukan riset terhadap enam puluh ribu siswa. Hasil riset mereka adalah guru merupakan faktor sangat penting yang berpengaruh secara langsung terhadap kualitas belajar siswa.

          Guru mempengaruhi siswa mereka lewat cara mereka mengelola kelas, menjalin komunikasi dan relasi, tetapi juga lewat integritas pribadi mereka. Guru efektif membuat siswa mereka berkembang optimal. Mereka bukan saja mengetahui lebih dulu dan lebih dalam materi pelajaran, tetapi memiliki kemampuan tinggi untuk menyampaikan pengetahuan dengan cara yang mudah dimengerti disertai dengan keahlian untuk memotivasi dan membangkitkan minat siswa.

          Meskipun memiliki pengetahuan tinggi dan ketrampilan untuk menyampaikan materi dan membangkitkan minat siswa, ada hal mendasar lain yang perlu dikuasai guru, yakni motivasi, integritas dan komitmen yang tinggi.

Meskipun menekankan pentingnya peranan guru, dari judulnya, kisah di atas mengungkapkan bahwa bisa saja siswa tidak berkembang karena kebodohannya atau kesalahannya sendiri. Dia memiliki prasangka, paradigma dan pandangan tertentu yang justru menghalangi dia untuk melepaskan diri dari kebodohan, dari kegelapan.

Karena kebodohan siswa / pembelajar, kehadiran guru bukan membantunya tetapi mendatangkan masalah. Maksud baik bukan ditanggapi secara baik melainkan sebaliknya. Pepatah mengatakan: buruk rupa cermin dibelah. Keterbatasan dan ketidakmampuannya ditutupi dengan sikap negatif terhadap guru.

Bentuk-bentuk kebodohan itu, bisa muncul dalam wujud: sikap murid atau pembelajar yang merasa terganggu ketika guru menunjukkan kesalahan mereka atau memberi tugas dan PR untuk menggugah kerajinan mereka atau memberi tes untuk mendorong kerja keras mereka.

Di pihak guru, seorang guru tidak boleh mundur hanya karena sejumlah risiko buruk yang siap menghadang karena tugas guru adalah mengupayakan kebenaran dan bukan pembenaran. Karena itu, guru jangan takut mengungkapkan kebenaran. Tentu saja guru harus pintar menggunakan cara yang bisa diterima murid atau pembelajar yang seringkali tidak menyadari kelemahan dirinya.

Sebaliknya, di pihak pembelajar atau murid, harus ada sikap reflektif dan keinginan kuat untuk belajar dari siapa saja. Bukan guru jelek yang menghalangi siswa untuk maju, melainkan prasangka, paradigm dan pandangan jelek.

Para guru, berusalah untuk masuk melalui mindset siswa dan dari situ kita mengubah dan mengembangkan mereka. Pembelajar, mari tinggalkan sikap bodoh yang menaruh prasangka kepada guru. Pandang guru secara positif dan nikmati proses perkembangan yang indah bersamanya.