Oleh:

Ubaidah

Saat ini di tengah masyarakat kita, banyak sekali perdebatatan dan kontroversi terkait dengan hal-hal bersifat etika, seperti pro dan kontra aborsi, sensor film, pornografi, dan banyak lagi. Semua perdebatan tersebut tidak semuanya benar. Muncul pertanyaan kenapa banyak hal yang dijadikan larangan dengan alasan etika?

Di sisi lain, ada area lain yang disebut area ilmiah. Area ilmiah selalu berpegang terhadap fakta yang ada, teori mana yang lebih baik, bukti-bukti yang mendukung, dan banyak lagi. Tapi apakah hal tersebut menunjukan bahwa ilmuwan lebih pintar dengan kelompok yang memperdebatkan isu etika? Ataukah ada hal tersendiri di dalam aspek etika ini yang membuat ketidak setujuan tersebut sulit dielakan? Bagaimanakah hubungan sebenarnya antara etika dengan ilmu?

Tulisan N. Daldjoeni yang berjudul “Hubungan Etika dengan Ilmu” mengupas hubungan antara etika dan ilmu, dimana menurut Daldjoeni, etika lengket (inhaerent) dengan ilmu. Banyak pihak yang berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai dengan pertimbangan yang didasarkan atas penilaian masing-masing yang diwakili oleh ilmu yang bersangkutan.

Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh pandangan banyak pihak yang berpendapat bahwa kedudukan ilmu itu tidak dipengaruhi oleh apapun, banyak pihak yang mengartikan ilmu bersifat transenden sehingga penilaian ilmu terhadap suatu hal/fenomena sifatnya mutlak benar.

Padahal menurut N. Daldjoeni, bebas di situ berarti tak terikat secara mutlak, bebas dapat mengandung dua jenis makna, pertama, kemungkinan untuk memilih keduanya, atau kedua, kemampuan atau hak untuk menentukan subyeknya sendiri. Disitu harus ada penentu dari dalam bukan dari luar.

Maka dalam hal ilmu, jika ilmu dikatakan bebas nilai, ada faktor penentu lain yang dapat menentukan penilaian terhadap ilmu itu sendiri. Faktor yang dapat menentukan benar atau salahnya suatu ilmu, dari sini ilmu lengket dengan etika, karena etika erat dengan penilaian benar atau salah itu sendiri.

Fase empiris rasional

Lebih lanjut, N. Daldjoeni menjelaskan pada masa Aristoteles, pandangan terhadap penilaian ilmu berada pada fase empiris rasional. Pada masa ini, ilmu merupakan unsur yang dapat mengarahkan segala aspek kehidupan. Dimana Aritoteles pernah mengatakan bahwa ilmu itu tak mengabdi kepada fihak lain. Ilmu digulati oleh manusia demi ilmu itu sendiri.

Bahkan, Aristoteles pernah menuturkan “Primum vivere, deinde philosophariyang artinya kira-kira: berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafat. Begitu pentingnya proses berfilsafat sehingga ada pandangan bahwa kegiatan berilmu baru dapat dilakukan setelah yang bersangkutan tak banyak lagi disebutkan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah.

Ilmu dalam masa ini dianggap hal yang untuk mendapatkannya memerlukan ketenangan dan kebijaksanaan yang luar biasa, sehingga ketika seseorang masih disibukan oleh aktifitas mencari nafkah untuk sehari-hari, maka orang tersebut tidak akan memiliki ketenangan dan kebijak sanaan.

Maka menurut faham yunani, bentuk tertiggi dari ilmu adalah kebijaksanaan. Jika dikaji secara mendalam, dalam sebuah kebijaksanaan, ada etika yang berperan penting dalam memberikan pertimbangan benar atau salahnya suatu hal. Bersama itu terlihat suatu sikap etika. Maka pada masa ini terlihat bahwa etika juga memiliki hubungan yang erat dalam sebuah ilmu.

Namun, ilmu pada masa ini tidak berperan dalam mengarahkan apapun. Ilmu hanya dicari dan dicapai, namun belum adanya kepentingan dan tantangan untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu dalam kehidupan. Menurut N. Daldjoeni tugas suatu generasi pada masa ini terbatas kepada mencapai ilmu tersebut, untuk kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya. Belum ada tuntutan supaya sebelum ilmu diteruskan harus terlebih dahulu dikembangkan.

Baru sejak abad ke-17 ilmu giat dikembangkan di eropa; orang juga mencari apa tujuan sebenarnya dari ilmu. Dengan itu fase yang sifatnya empiris rasional mulai bergerak ke fase eksperimental rasional. Dalam masa transisi inilah, ilmu berkembang bukan sekedar tujuan bagi pencapaian seseorang, namun berkembang menjadi suatu sarana untuk mencapai suatu.

Faham pragmatis

Telah dijelaskan bahwa ilmu berkembang dari yang sebelumnya hanya sekedar menjadi tujuan bagi pencapaian seseorang menjadi suatu sarana untuk mencapai sesuatu. Seiring dengan perkembangan waktu, tujuan dari ilmu tersebut juga semakin beraneka ragam. Ilmu dikembangkan sebagai sarana untuk beragam tujuan, mulai dari perkembangan ekonomi, teknologi, taraf hidup, mengumpulkan kekayaan, ataupun meningkatkan kebahagiaan.

Ilmu menjadi hal yang konkret yang dapat dihayati. Maka munculah rasa hormat terhadap ilmu yang diterapkan dalam kehidupan karena dirasakan bahwa ilmu membawa hidup menjadi lebih baik. Dari sinilah lahir faham pragtis yang menganggap bahwa ilmu merupakan sarana kemajuan dan kebenaran ilmu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Maka terlihatlah bahwa ilmu tidak bebas nilai, di dalamnya ada aspek efek-efek praktis dari ilmu yang menentukan kebenaran ilmu.

Logos dan ethos

Van Peursen mengemukakan bahwa ilmu beroperasi dalam ruang yang tak terbatas, karena kegiatannya berisi keresahan dari sifat dasar manusia yang selalu berhasrat untuk tahu segalanya. Menurut Van Peursen, keresahan itu keinginan yang tak dapat dipenuhi atau jarak prinsipil ke kebenaran. Maksudnya adalah bahwa keresahan hadir akibat adanya keinginan yang belum terpenuhi, sehingga sebuah ilmu dikatakan benar jika keresahan tersebut terpenuhi. Maka keresahan disebut sebagai jarak prinsipil ke kebenaran.

Martin Heidegger menjelaskan bahwa jika semua manusia memiliki ilmu (logos), bukan berarti manusia hanya dibekali dengan akal. Menurut Martin Heidegger, logos bertalian dengan kata kerja legein yang artinya macam-macam, dari berbicara sampai membaca; kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, menyimak dalam batin, berhenti untuk menyadari.

Menurut N. Daldjoeni, jika logos dihubungkan dengan ethos (etika) yang dapat berarti penghentian, rumah tempat tinggal, endapan sikap, maka logos dapat diartikan sebagai sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang mengutamakan tutup mulut untuk berusaha mendengar, dengan mengorbankan berbicara lebih.

Sehubungan ini karl Jaspers menulis bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu, karena pada usaha mendengarkan tersebut ada etika yang mengatur agar dapat mendengarkan tanda-tanda yang ditunjukan oleh alam dengan benar dan bijak.

Kebenaran keilmuan

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa ilmu bergerak dalam ruang yang tak terbatas yang berisi keresahan. Di sisi lain, diketahui juga bahwa ilmu merupakan usaha untuk mendengarkan jawaban. Maka apa hubungan ruang yang tak terbatas yang berisi keresahan tersebut dengan usaha untuk mendegar? Menurut …. Jika ditelaah kembali, batasan yang sebenarnya ada pada ilmu terletak pada perspektif baru yang memberikan petunjuk bahwa manusia siap untuk mendengarkan. Itu artinya, kebenaran ilmu seharusnya dapat meniadakan pertentangan, seharusnya mampu menghadirkan kesepakatan dalam semua aspek.

Dalam pandangan ini, kebenaran intelektual terletak bukan pada efek ilmu dengan bidang-bidang kehidupan karena ilmu bersifat netral dan kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri, di sini ilmu menjadi steril.

Namun jika ilmu dipandang sebagai sarana, maka kebenaran ilmu bergantung pada efek ilmu, berada pada etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggung jawab ke Tuhan. Di sini terlihan bahwa ilmu dan tanggung jawab merupakan satu kesatuan.

Dijelaskan lebih lanjut oleh N. Daldjoeni bahwa ilmu lengket dengan keberadaan manusia yang teransenden, hal ini dibuktikan dengan keresahan yang merupakan kodrat seorang manusia sebagai makhluk yang transenden. Maka jika keresahan merupakan jarak prinsipil ilmu dari kebenaran, dan keresahan merupakan kodrat manusia sebagai makhluk yang transenden, berarti batasan dari kebenaran tersebut sebenarnya berada di luar jangkauan manusia.

Dalam tulisan tersebut, dapat diketahui bahwa ilmu yang dianggap banyak pihak merupakan hal yang bebas nilai sebenarnya tidak sepenuhnya bebas nilai. Dalam Karena makna sebenarnya dari kebebasan itu adalah bebas untuk memilih ataupun bebas untuk menentukan subyeknya sendiri.

Fakta yang menunjukan bahwa ilmu berkembang menjadi suatu sarana untuk mengatasi keresahan menunjukan bahwa batasan kebenaran ilmu terkait dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang transenden, oleh karena itu kebenaran ilmu berada di luar jangkauan manusia.

Menurut beberapa penulis pengertian etika meliputi segala pertimbangan dari tindakan, kejadian, maupun peristiwa yang ada di dunia. Ketika ada sekelompok orang yang membuat penilaian etika terkait dengan pembunuhan, mereka akan membahas mengenai hal yang baik dan yang buruk dari mengambil nyawa manusia.

Jika kebenaran ilmu terkait dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang transenden, maka pengertian etika tersebut menunjukan hubungan ilmu dan etika. Karena transenden tidak berarti bebas sepenuhnya dari realitas empirik. Realitas empirik dipengaruhi oleh etika tersebut dalam menentukan tindakan dan perbuatan yang dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab secara vertikal. Hal tersebut karena manusia dalam hidupnya sadar akan adanya norma yang bersifat transenden.

Pada dasarnya, manusia menjalani kehidupan ini dengan tujuan atau orientasinya masing-masing, namun sarana untuk mencapai tujuan itu yang berbeda-beda. Jika ilmu merupakan sarana dalam mencapai tujuan, maka di sini pula terlihat peran dari etika. Karena etika pada dasarnya menjawab pertanyaan yang amat fundamental mengenai tujuan hidup: Bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Di situlah peran ilmu sebagai sarana mencapai tujuan hidup yang ditemukan melalui pertimbangan etika.