Oleh:

Meilani Hartono

PENDAHULUAN
Berdasarkan data yang ada dalam World Competitiveness Yearbook yang diterbitkan International Institute for Management Development terjadi penurunan peringkat daya saing Indonesia secara global. Pada tahun 1998, Indonesia berada pada peringkat ke-46 dari 47 negara, yang menurun dari peringkat ke-40, pada tahun 1999, dan secara tajam menurun dari peringkat ke-39 pada tahun 1997. Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 1995 menempati peringkat ke-104, dan pada tahun 2000 menempati peringkat ke-109, tahun 2002 peringkat ke-110 dan peringkat ke-112 pada tahun 2003. Peringkat Indonesia pada urutan ke-112 dari 175 negara berada jauh di bawah peringkat Malaysia yang berada pada urutan ke -58. Fakta ini sungguh memilukan hati karena Malaysia yang pada era 50-an memgimport guru dari Indonesia sekarang lebih unggul dari Indonesia. Ironinya, Singapura sebagai negara tetangga Indonesia yang mencontoh konsep pendidikan Indonesia yang diidekan oleh Ki Hajar Dewantoro mampu menempati urutan ke-28 (Susilo, 2007:15). Orang Singapura mungkin akan tertawa saat ditanya oleh orang Indonesia mengapa Singapura bisa maju dalam pendidikan karena orang Indonesia sebagai pencetus konsep yang ditiru oleh orang Singapura bisa terkalahkan.

Rendahnya peringkat daya saing Indonesia di dunia juga tergambar dalam berbagai permasalahan menyangkut struktur dan produktivitas sektor industri dan perdagangan sebagai sektor yang paling erat dengan produkvititas nasional di era persaingan global. Rendahnya peringkat daya saing Indonesia di era persaingan global ini dapat dipandang bahwa pendidikan belum berhasil dalam menghasilkan SDM yang unggul, handal dan berkualitas.

SDM yang unggul, handal dan berkualitas tercipta melalui mutu pendidikan yang diperoleh di sekolah. Pendidikan yang diperoleh melalui sekolah diharapkan mampu menciptakan SDM yang berkualitas, karena sekolah adalah tempat memanusiakan manusia. Dengan kata lain, sekolah merupakan tempat mentransfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang tujuannya menghasilkan manusia yang cerdas, berkualitas, terampil, berbudi luhur, serta menjunjung tinggi ajaran agama.

Berdasarkan pemikiran di atas, sekolah sebagai ujung tombak “penghasil SDM” mengemban tugas yang penting dan sangat strategis. Sehubungan dengan itu, kedudukan kepala sekolah, sebagai orang yang memegang peranan kunci (key position) dalam rangka mencapai tujuan di atas.

Studi keberhasilan kepala sekolah menunjukkan bahwa kepala sekolah adalah sesorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah. Bahkan lebih jauh studi tersebut menyimpulkan bahwa keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah (Isjoni, 2007:64).

Rumusan hasil studi di atas menunjukkan betapa penting peranan kepala sekolah dalam menggerakkan kehidupan sekolah mencapai tujuan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam rumusan tersebut : 1) kepala sekolah berperan sebagai kekutan sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan sekolah, 2) kepala sekolah harus memahami tugas dan fungsi mereka demi keberhasilan sekolah, serta memiliki kepedulian kepada staf dan siswa (Isjoni, 2007:64). Di samping itu, kepala sekolah pun dituntut sebagai agent of change melalui dimensi kepemimpinannya selalu berupaya memotivasi semangat seluruh komponen sekolah demi kemajuan dan peningkatan mutu sekolah (Komariah & Triatna, 2006:5)

PERMASALAHAN
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal dikenal istilah Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian kepala sekolah merupakan Tenaga Kependidikan menurut UU tersebut. Kepala sekolah adalah guru yang melaksanakan pekerjaan tambahan.

Mengingat posisi strategis seorang kepala sekolah, maka pengangkatan kepala sekolah harus melalui suatu proses dan prosedur yang didasarkan atas peraturan yang berlaku. Prosedur pengangkatan memberikan petunjuk tentang sumber dan latar belakang pendidikan, pengalaman, usia, pangkat dan integritas. Sedangkan peraturan menekankan pada persyaratan atau kriteria yang perlu dipenuhi oleh para calon kepala sekolah (Isjoni, 2007:66)

Berdasarkan Permendiknas nomor 13 tahun 2007 tanggal 17 April 2007 tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah, seorang kepala sekolah pada setiap jenjang pendidikan pasti berstatus guru pada jenjang pendidikan tersebut. Guru tersebut setelah berhasil terpilih menjadi kepala sekolah dituntut untuk mengembangkan dimensi kompetensi. Salah satu dari dimensi kompetensi yang harus dikembangkan adalah dimensi kompetensi supervisi, dengan tuntutan kompentensi : 1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, 2) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat, 3) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.

Permasalahan muncul ke permukaan setelah seorang kepala sekolah merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru karena kepala sekolah harus berperan sebagai seorang supervisor. kepala sekolah harus melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat dan menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Pada kenyataannya, tidak ada satu LPTK pun di Indonesia yang membuka jurusan khusus yang menghasilkan kepala sekolah maupun supervisor.

PEMBAHASAN
Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masingmasing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi, maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.

Seperti diketahui, teori perkembangan intelektual atau filsafat belajar Jean Piaget telah dikenal luas di kalangan ilmuwan khususnya ilmuwan pendidikan. Pada dasarnya ada empat konsep dasar Jean Piaget yang dapat diaplikasikan pada pendidikan dalam berbagai bentuk dan bidang studi, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan. Keempat konsep dasar tersebut adalah : 1) Skemata, dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang digunakan individu ketika berinteraksi dengan lingkungan, merupakan struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah karena asimilasi dan akomodasi, 2) Asimilasi, merupakan proses kognitif individu dalam usahanya untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya, terjadi secara kontinyu, berlangsung terus-menerus dalam perkembangan kehidupan intelektual seseorang, 3) Akomodasi, merupakan suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Di sini tampak terjadi perubahan secara kuantitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan secara kualititatif. Dengan perkataan lain, asimilasi bersama-sama akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual, 4) Keseimbangan (Equilibrium), merupakan proses adaptasi terhadap lingkungan dimana individu berusaha untuk mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian bahwa terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan proses akomodasi. (Senduk, 185 : )

Berdasarkan teori perkembangan tersebut diatas, seorang guru yang berhasil terpilih menjadi kepala sekolah dengan skemata yang dimiliknya akan mengalami proses asimiliasi dan akomodasi sampai memperoleh keseimbangan sehingga guru tersebut mencapai struktur mental atau skemata yang stabil sebagai kepala sekolah. Peran barunya sebagai kepala sekolah menuntut perkembangan skematanya.

Berbagai pustaka menunjukkan pentingnya kompetensi profesional kepala sekolah dalam semua jenjang dan jenis pendidikan agar mereka mampu dan dapat melaksanakan fungsinya. Kompetensi atau kemampuan yang mereka miliki itu diharapkan menguatkan atau melandasi peranan dan tanggung jawabnya sebagai administrator, manajer, pemimpin, dan supervisor pendidikan. Kepala sekolah memerlukan kompetensi administrasi manajemen, kepemimpinan, dan supervisi pendidikan, karena peran mereka sehari-hari dalam mengelola dan memimpin sekolah. (Mantja, 2007:3). Sedangkan Sergiovanni (1987) menekankan kompetensi kepala sekolah berdasarkan peran utamanya: statesperson leadership, educational leadership, organizational leadership, administrative leadership, supervisory leadership dan team leadership. Jadi, salah satu peran ganda seorang Kepala sekolah adalah menjadi seorang supervisor.

Kepala sekolah sebagai supervisor memiliki beban peran dan tanggungjawab memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar di kelas atau di sekolah. Tanggungjawab ini dikenal sebagai tanggungjawab supervisi. Sebagai unsur pimpinan dalam sistem organisasi persekolahan, kepala sekolah berhadapan langsung guru sebagai unsur pelaksana proses belajar-mengajar (Lasut, 1989). Dari konsep supervisi sebagai proses membantu guru guna memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran dan kurikulum (Oliva, 1984) terkandung makna bahwa kepala sekolah adalah supervisor yang membantu guru, secara individual atau kelompok, untuk memperbaiki pengajaran dan kurikulum dan masih ditambah satu bidang supervisor, yaitu aspek pengembangan guru. Sedangkan Neagly dan Evans (1980) lebih menekankan aspek bantuan itu pada pengajaran guru dan pembelajaran murid, di samping perbaikan kurikulum.

Agar kepala sekolah berhasil dalam perbaikan pengajaran, maka kepala sekolah perlu memahami dan menggunakan moel dan teknik yang dianggap tepat dalam melaksanakan supervisi. Tegasnya, peran utama kepala sekolah adalah juga sebagai supervisor pengajaran.

Acheson and Gall (Pidarta, 1992) menyatakan bahwa supervisi klinis adalah proses membina guru untuk memperkecil jurang antara perilaku mengajar nyata dengan perilaku mengajar yang ideal. Sedangkan Sahertian (2000) menyatakan bahwa supervisi klinis adalah memfokuskan kepada upaya untuk menolong guru-guru agar mengerti inovasi dan mengubah performan mereka agar cocok dengan inovasi tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa supervisi klinis adalah suatu model supervisi yang ditujukan untuk memperbaiki KBM dengan melakukan pembinaan-pembinaan sesuai dengan kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh guru. Tujuan supervisi klinis adalah memperbaiki perilaku guru dalam KBM dengan intensif agar peningkatan kualitas pendidikan dapat dicapai. Naegley (1980:198) mensyaratkan suatu kondisi dalam melakukan supervise klinis, yakni : (1) menciptakan hubungan baik antara guru dan supervisor (dalam hal ini kepala sekolah), (2) merencanakan aspek perilaku yang akan diperbaiki pada sub bahasan tertentu, (3) merencanakan strategis observasi, (4) mengobservasi guru mengajar, (5) menganalisis KBM oleh guru dan supervisor (kepala sekolah) secara terpisah, (6) merencanakan pertemuan, guru diberi kesempatan menanggapi cara mengajamya sebelum dibahas secara bersama, dan (7) membuat rencana baru bila aspek perilaku itu belum dapat diperbaiki dan mengulanggi dari langkah awal sampai akhir.

Didalam melaksaanakan supervisi klinis terdapat sejumlah prinsip umum yang harus menjadi landasan kepala sekolah dalam melakukan supervisi, yaitu : 1) hubungan antara kepala sekolah sebagai supervisor dengan guru adalah hubungan kolegial yang sederajat dan bersifat interaktif dari pads direktif sebagai hubungan antara tenaga profesional berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman, sehingga terjalin suatu dialog profesional yang interaktif dalam suatu suasana yang intim dan terbuka, yang fsinya bukan hanya pengarahan atau instruksi dari supervisor saja, 2) pertemuan diskusi antara kepala sekolah sebagai supervisor dan guru adalah demokratis, baik pada perencanaan latihan maupun pada pengkajian balikan dan tindak anjut. Suasana demokratis itu dapat terwujud jika kedua pihak dengan bebas mengemukakan pendapat dan tidak mendominasi pembicaraan, serta memiliki sifat keterbukaan untuk mengkaji semua pendapat yang dikemukakan didalam pertemuan tersebut, dan pada akhirya keputusan ditetapkan atas persetujuan bersama, 3) sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru, serta tetap berada didalam ruang lingkup tingkah laku guru mengajar secara aktual. Dengan prinsip ini guru didorong untuk menganalisis kebutuhan dan aspirasinya didalam usaha mengembangkan dirinya, 4) pengkajian balikan dilakukan berdasarkan data observasi yang cermat yang didasarkan atas kontrak, serta dilaksanakan dengan segera. Dari hasil analisis balikan itulah ditetapkan rencana selanjutnya, 5) mengutamakan prakarsa dan tanggung jawab guru, balk pada tahap perencanaan, pengkajian balikan, bahkan pengambilan keputusan, dan tindak lanjut. Dengan mengalihkan sedini mungkin prakarsa dan tanggung jawab itu ketangan guru diharapkan pada gilirannya kelak guru tetap mengambil prakarsa untuk mengembangkan dirinya.

Prinsip supervisi klinis tersebut di atas membawa implikasi bagi kedua belah pihak kepala sekolah sebagai supervisor dan guru Implikasi bagi kepala sekolah sebagai supervisor antara lain: 1) yakin akan kemampuan guru untuk mengembangkan dirinya serta menyelesaikan masalah yang dihadapi, 2) memiliki sikap terbuka dan tanggap terhadap setiap pendapat guru, 3) mau dan mampu memperlakukan guru sebagai kolega yang memerlukan bantuannya. Implikasi bagi guru antara lain 1) perubahan sikap bagi guru sebagai seseorang yang mampu mengambil prakarsa untuk menganalisis dan mengembangkan dirinya, 2) bersikap terbuka dan obyektif dalam menganalisis dirinya

Di samping itu, kepala sekolah harus memperhatikan teknik supervisi yang dipakai. Teknik supervisi merupakan cara yang dilakukan kepala sekolah sebagai supervisor dalam melakukan supervisi. Secara garis besar, teknik supervisi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik individual dan teknik kelompok. Yang dimaksudkan dengan teknik individual adalah bila supervisi ditujukan secara individual pada seorang guru, sedangkan teknik kelompok merupakan supervisi yang dilakukan pada sekelompok guru. Neagley (Made Pidarta, 1992) menyatakan sebelum melakukan supervisi terlebih dahulu harus ada hubungan yang akrab antara Kepala sekolah sebagai supervisor dengan guru yang akan disupervisi. Pada kenyataannya, yang sering dilakukan di sekolah-sekolah adalah supervisi dengan teknik individual.

Dalam pelaksanaan supervisi dengan teknik individual , supervisi dilakukan kepala sekolah melalui observasi kelas yaitu kunjungan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai supervisor untuk mengamati seorang guru yang sedang mengajar. Tujuannya agar mendapatkan data tentang sesuatu yang tarjadi dalam proses belajar mengajar, sebagai dasar kepala sekolah melakukan pembinaan terhadap guru. Hal yang perlu diperhatikan selama proses observasi kelas adalah suasana kelas, kesesuaian metode dengan materi pelajaran, penguasaan materi pelajaran, cara memotivasi siswa, perkembangan siswa dalam bentuk kognitif, afektif dan psikomotor serta aspek-aspek lain yang terkait dengan proses pembelajaran.

Dalam teknik observasi kelas, kepala sekolah sebagai supervisor: 1) mengamati keseluruhan proses belajar mengajar dalam sate pertemuan kelas, 2) mengamati aktivitas belajar mengajar secara keseluruhan, 3) tidak berpartisipasi dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya kepala sekolah dapat melakukan diskusi dengan guru tersebut setelah kegiatan belajar mengajar selesai, kemudian kepala sekolah dapat memberikan saran-saran yang diperlukan.

Saran-saran biasanya dilakukan dalam suatu pertemuan formal. Pertemuan ini sengaja diadakan pada waktu tertentu, yang dihadiri oleh guru dengan kepala sekolah selaku supervisor dan biasanya merupakan tindak lanjut dari observasi kelas. Pertemuan formal ini bertujuan untuk perbaikan proses belajar mengajar dan agar guru mendapatkan konsep tentang dirinya secara lebih jelas serta meningkatkan kapasitas untuk belajar sendiri. Sebelum pertemuan dilakukan perlu diadakan persiapan dengan baik, yaitu data yang akan dibahas diklasifikasi dan diatur secara sistematis, logis. Agar pertemuan itu berlangsung dengan lancar dan memberi hasil yang memadai, kepala sekolah sebagai supervisor yang dalam hal ini bertindak sebagai pemimpin pertemuan hendaknya : 1) bersikap bersahabat., 2) mendengar pembicaraan secara serius dan hati-hati, 3) berusaha meningkatkan partisipasi semua peserta, 4) memberi saran-saran, 5) mencatat rencana dan saran-saran, 6) berusaha agar sebab-sebab permasalahan ditemukan secara jelas, 7) membuat ringkasan tentang ide-ide, kesimpulan, dan keputusan yang dibuat bersama.

Menganalisis hasil supervisi merupakan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menetapkan langkah pembinaan yang lebih tepat. Apakah pelaksanaan supervisi telah sesuai dengan program, apakah telah efektif, adakah hambatannya. Menganalisis hasil supervisi dapat dilakukan secara kuantitatif atau dengan cara kualitatif. Menggunakan cara kuantitatif apabila data yang terkumpul berwujud angka-angka hasil perhitungan dan menggunakan analisis kualitatif apabila data yang terkumpul berwujud kata-kata. Menganalisis kuantitatif misalnya dengan menghitung modus, median, mean, standart deviasi, perhitungan prosen, analisis korelasi, regresi, analisis varians. Sedangkan analisis kulitatif misalnya analisis kasus.

Hasil supervisi yang telah direkam di dalam instrumen yang disiapkan (boleh juga catatan tambahan), dikelompokkan sesuai dengan aspek-aspek yang disepakati pada tahap pra-observasi. Sebagai ilustrasi, tahap observasi yang direkam antara lain yang berhubungan dengan keterampilan guru mengajar, sikap di depan kelas, penjelasan konsep, pencapaian tujuan, pemanfaatan media belajar, dan tahap post observasi yang meliputi balikan dari basil pengamatan dan sebagainya, sesuai dengan kesepakatan antara kepala sekolah dengan guru.

Pengelompokkan aspek-aspek yang dimulai dalam pelaksanaan observasi, berguna untuk mengetahui aspek-aspek yang sudah berhasil, atau yang masih memerlukan perbaikan. Hal ini dapat juga mengetahui apakah kegiatan observasi kelas dilakukan secara efektif (sesuai dengan target) atau tidak.

Untuk lebih memperjelas kriteria keberhasilan pelaksanaan supervisi (kesesuaian program, efektivitas pelaksanaan program, dan kualitas pelaksanaan program), perlu dilakukan tabulasi dari basil pelaksanaan supervisi, yang berisi aspek-aspek yang diobservasi sesuai dengan instrumen.

Pada tahap sebelum observasi terdapat beberapa aspek yang direncanakan untuk perbaikan dalam observasi kelas. Aspek-aspek ini sangat bervariasi, tergantung pada hasil kesepakatan yang dibuat oleh kepala sekolah dengan guru. Sebagai contoh Aspek-aspek yang dihasilkan melalui kesepakatan adalah konsep yang akan dibahas dikelas, tujuan yang akan dicapai dalam proses belajar mengajar, langkah-langkah penyajian yang akan dilakukan, pemanfaatan media belajar, proses interaksi guru dengan murid.

Setelah aspek-aspek yang akan diamati dalam observasi diinventarisasi, untuk melangkah kepada tahap observasi kelas (pelaksanaan observasi), harus disiapkan instrumen yang sesuai dengan jenis aspek – aspek tersebut.

Pada tahap pelaksanaan observasi (observasi kelas) ada beberapa aspek/komponen yang harus dianalisis. Proses observasi kelas, dimaksudkan untuk mengamati dan mengevaluasi pelaksanaan proses belajar mengajar, yang ditekankan kepada aspek-aspek yang telah disepakati pada saat tahap sebelum observasi. Penekanan pada observasi kelas in adalah upaya perbaikan proses belajar mengajar. Didalam pengamatan (observasi) ini, penilaian terhadap proses belajar mengajar, berdasarkan instrumen yang dikembangkan untuk supervisi akademik, informasi-informasi yang diperoleh dalam observasi kelas, adalah kejelasan tentang konsep yang disajikan, tingkat keberhasilan pencapaian tujuan, keberhasilan penyajian, sesuai langkah-langkah yang disepakati, pemanfaatan alat Bantu mengajar-belajar, efektifitas proses interaksi guru-murid.

Analisis berdasarkan hasil penilaian instrumen yang digunakan pada saat observasi kelas, akan menggambarkan tingkat keberhasilan usaha guru memperbaiki perilaku mengajarnya. Pada tahap sesudah observasi,dimaksudkan memperoleh informasi balikan tentang kesan-kesan penampilan pada saat guru menjelaskan konsep, mengidentifikasi keterampilan mengajar yang baik, mengidentifikasikan keterampilan mengajar yang masih kurang, dan perlu ditingkatkan, diskusi tentang gagasan-gagasan altematif kegiatan mengajar dan belajar untuk memperbaiki keterampilan mengajar yang dianggap kurang (sesuai dengan keterangan dan perasaan guru), penjelasan mengenai hasil observasi (menurut supervisor), saran-saran perbaikan.

KESIMPULAN
Hal-hal yang dikemukakan di atas memberikan gambaran bahwa prosedur yang berlaku dalam hubungannya dengan usaha rekrutmen dan seleksi untuk jabatan kepala sekolah harus sepenuhnya dikaitkan dengan persyaratan-persyaratan profesional akademis. Kompetensi administrasi/manajemen pendidikan, kepemimpinan pendidikan dan supervisi pendidikan yang dilengkapi dengan keterampilan konseptual, manusiawi, dan teknis harus dibuktikan dengan sertifikasi atau akta kekepalasekolahan. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan penentuan jabatan kepala sekolah.

Kemampuan berperan sebagai supervisor yang melakukan supervisi pengajaran harus dimiliki setiap kepala sekolah. Hal ini perlu diprioritaskan mengingat dengan adanya supervisi pengajaran, guru dapat merasakan kehadiran kepala sekolah sebagai supervisor merupakan mitra yang membantu meningkatakan kemampuan profesionalnya.

DAFTAR RUJUKAN
Indrafachrudi, Soekarto. 2006. Bagaimana Memimpin Sekolah yang Efektif. Bogor : Ghalia Indonesia.

Isjoni. 2007. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Komariah, Aan & Triatna, Cepi. 2006. Visonary Leadership Menuju Sekolah Efektif.. Jakarta: Bumi Aksara.

Lasut, Gustaaf S. 1989. Pengaruh Penerapan Analisis Interaksi terhadap Orientasi dan Perilaku Supervisi Penilik Sekolah Dasar. (Disertasi). Malang: FPS IKIP Malang.

Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan : Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang : Elang Mas.

Neagly, Ross L. dan Evans, N. Dean. 1980. Handbook for Effective Supervision of Instruction. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.

Oliva, Peter F. 1984. Supervision for Today’s Schools. Second Edition. New York: Longman Inc.

Pidarta, Made. 1992. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta : Bumi Perkasa.

Susilo, M.Joko. 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Sahertian, Piet A. 2000. Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Senduk, A.G. 1985. Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget. Bandung. FPS IKIP Bandung.

Sergiovani, Thomas J. 1987. The Principalship, A Reflective Practice Perspective. Boston, London, Sydney, Toronto: Ally and Bacon, Inc