Oleh: Ferry Doringin

Foto Pak Ferry

Tanggal 14 April 2016, komunitas AnakMuda.net menggagas diskusi di Kampus Anggrek Binus melibatkan 25 peserta dari Universitas Binus (7 dosen), komunitas Anakmuda.net (10 orang) dan lembaga sosial Kalfi dari Filipina (8 orang). Peserta dibagi dalam tiga kelompok, membahas tema Pendidikan, Pariwisata, dan IT. Terinspirasi diskusi di kelompok bahasan pendidikan, kami membuat tulisan terkait peran guru dalam mensukseskan pembelajaran di era digital.

Konstruksi Pengetahuan

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa otak manusia bekerja dengan cara memproses semua informasi yang masuk. Informasi yang baru masuk dikaitkan dengan informasi yang sudah lebih dulu dimiliki, dikaitkan dengan sejumlah pengalaman, dan dari olahan itu, terbentuklah pengetahuan baru.

Berarti, pengetahuan seseorang bersifat personal karena merupakan hasil olahannya sendiri dan terkait dengan konteks dimana dia hidup. Konteks itu bisa berupa teman-temannya, lingkungannya, budayanya, pengalaman hidupnya serta sarana pendukung yang membantunya membuat pemahaman. Karena bersifat personal dan merupakan hasil proses (konstruksi otak) maka pengetahuan baru itu bukan merupakan hasil transferan, bukan hasil fotocopy atau hasil rekaman yang sama persis. Pengetahuan baru itu bukan hasil hafalan dari pengetahuan yang disampaikan guru. Bila dua atau tiga orang menerima informasi yang persis sama, tidak pernah mereka menghasilkan pengetahuan yang sama persis; masing-masing memiliki versinya sendiri karena terkait dengan proses otak yang memiliki pengetahuan awal, dan pra-kondisinya sendiri.

Terkait dengan tema Guru di Era Digital, bisa dikatakan bahwa siswa yang berupaya untuk menciptakan pengetahuan baru dalam proses konstruksi, membutuhkan daya dukung yang kuat untuk bisa berkreasi dengan maksimal. Daya dukung itu adalah lingkungan belajar, media, termasuk media digital, sumber belajar, termasuk sumber-sumber informasi di internet.

Peluang di era digital

Era digital mempermudah sejumlah hal. Pertama, hampir semua orang menggenggam teknologi di tangannya. HP mereka biasanya tersambung dengan internet dan sejumlah aplikasi yang menyertainya. Seorang guru perlu menyadari bahwa siswanya umumnya sangat mahir memainkan teknologi. Bayangkan efeknya bila kita menggunakan teknologi ini, ‘mainan’ mereka hampir sepanjang waktu, sebagai bagian dari pembelajaran mereka. Bayangkan juga betapa membosankan kelas kita ketika siswa yang hidup dalam era teknologi justru dijauhkan dari teknologi itu ketika belajar.

Kedua, begitu banyak software pembelajaran yang bisa mendukung kreativitas dan memonitor perkembangan siswa. Misalnya, dengan google drive begitu mudah guru memulai pelajaran dengan Pre-test dan menutup pelajaran dengan post test. Hanya dengan aplikasi gratis yang gampang didapatkan, guru bisa mengukur daya tangkap siswa. Peluang itu perlu disambut.
Ketiga, betapa banyak materi pembelajaran yang bisa didapatkan gratis di internet. Guru hanya menampilkan link tertentu dan siswa bisa mengunjunginya. Atau, guru menyodorkan tema tertentu dan siswa dengan cepat bisa mengolah tema itu dari begitu banyak sumber di internet. Siswa juga bisa dimanjakan dengan MOOC (Massive Open Online Course) gratis dari lembaga-lembaga ternama. Materi-materi kursus online gratis itu, sangat mudah didapatkan.

Tantangan melek digital

Tantangan guru atau calon guru PGSD kita adalah kesiapan mereka untuk menyesuaikan diri dengan siswa jaman ini yang melek digital.

Isagani Cruz mengutip Prensky yang membagi manusia saat ini atas dua tipe (Philippine Star, 14-11-2014). Pertama, golongan digital natives, yakni mereka yang usianya sekitar 10 – 29 tahun, biasa dikenal sebagai ‘Generasi Y’; konon mereka tidak perlu lagi belajar bagaimana cara menggunakan internet. Website sudah ada dalam tulang mereka. Kedua, golongan digital immigrants, yang berusia 30 tahun ke atas.

Perbedaan mereka bisa dijelaskan seperti ini (Cruz): Bila membeli HP baru, digital natives (Generasi Y) bisa mendownload fitur-fitur dan aplikasi yang bagus hanya dalam hitungan menit; tetapi digital immigrant mungkin sibuk kontak sana-sini baru bisa memaksimalkan HP yang baru itu.

Bila mengikuti sebuah acara, digital natives sudah mulai mengirim foto-foto acara bersamaan dengan mulainya acara itu; tapi digital immigrants masih harus pulang dulu, utak-atik email baru kirim foto-foto. Atau, digital natives pergi ke tujuan tertentu berbekalkan aplikasi penunjuk tempat, misalnya waze dan bisa dengan gampang mengubah arah bila terjadi kemacetan; sedangkan digital immigrants bertahan dalam kemacetan kemudian buka kaca dan tanya bila tidak tahu persis tempat yang dituju. Atau, digital natives dengan gampang memesan gojek atau Uber atau Grab Taxi bila bepergian tanpa mobil pribadi (cara pesan sangat gampang, harganya murah sekali) sedangkan digital immigrants harus mencegat taxi di pinggir jalan, berpanas-panasan di jalan berdebu.

Selain dua klasifikasi dari Prensky di atas (digital natives dan digital immigrants) ada juga klasifikasi lain, misalnya dari Ira Kaufman yang menambahkan digital alien, yakni mereka yang berusia 45 tahun ke atas (Isagani Cruz). Ilustrasinya, bila digital natives sudah bisa menggeser touchscreen ketika masih bayi, maka digital immigrants sudah bisa FB, WA dan telegram, sedangkan digital aliens masih berkutat dengan SMS atau mulai mengenal BBM.

Bila dilihat dari sisi usia, para siswa (dan mahasiswa) adalah generasi Y atau generasi milenial atau digital native; sedangkan guru (atau dosen) biasanya tergolong digital immigrant atau malah digital alien.

Itulah tantangan guru (dan dosen) di era digital. Perlu upaya keras untuk mengikuti jaman dan mengimbangi kemampuan siswa dalam teknologi agar bisa maksimal membantu mereka dalam mengembangkan ilmu.*